Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mulai menyambut Allah dengan mengajak manusia untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan berhala. Tetapi dakwah Nabi ini dilakukan secara rahasia untuk menghindari tindakkan buruk orang-orang Quraisy yang fanatik terhadap kemusyrikan dan paganismenya. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menampakkan dakwah di majelis-majelis umum orang-orang Quraisy, dan tidak melakukan dakwah kecuali kepada orang yang memiliki hubungan kerabat atau kenal baik sebelumnya.
Orang-orang yang pertama kali masuk Islam ialah Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu ‘Anhu, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah mantan budak Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan anak angkatnya, Abu Bakar bin Abi Qufahah, Ustman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan lainnya.
Mereka ini bertemu dengan Nabi secara rahasia. Apabila salah seorang di antara mereka ingin melaksanakan salah satu ibadah, ia pergi ke lorong-lorong Mekkah seraya bersembunyi dari pandangan orang-orang Quraisy.
Ketika orang-orang yang menganut Islam lebih dari tiga puluh lelaki dan wanita, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memilih rumah salah seorang dari mereka, yaitu rumah Al Arqam bin Abi Al Arqam, sebagai tempat pertemuan untuk mengadakan pembinaan dan pengajaran. Dakwah pada tahapan ini menghasilkan sekitar empat puluh lelaki dan wanita telah menganut Islam.
Kebanyakan mereka adalah orang-orang fakir, kaum budak dan orang-orang Quraisy yang tidak memiliki kedudukan.
Beberapa Ibrah
1. Sebab Sirriyah pada permulaan dakwah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Tidak diragukan lagi, bahwa kerahasiaan dakwah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selama tahun-tahunpertama ini bukan karena kekhawatiran Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap dirinya. Sebab, ketika beliau dibebani dakwah dan diturunkan kepadanya firman Allah: “Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berikanlah peringatan, “beliau sadar, bahwa dirinya adalah utusan Allah kepada manusia. Karena itu beliau yakin bahwa Allah yang mengutus dan membebaninya dengan tugas dakwah ini mampu melindungi dan menjaganya dari gangguan manusia. Kalau Allah memerintahkan agar melakukan dakwah secara terang-terangan sejak hari pertama, niscaya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan mengulurkan sedetikpun, sekalipun harus menghadapi resiko kematian.
Tetapi Allah memberikan ilham kepadanya, dari ilham kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah semacam wahyu kepadanya, agar memulai dakwah pada tahapan awal dengan rahasia dan tersembunyi, dan agar tidak menyampaikan keculai kepada orang yang telah diyakini akan menerimanya. Ini dimaksudkan sebagai pelajaran dan bimbingan bagi para da’i sesudahnya agar melakukan perencanaan secara cermat dan mempersiapkan sarana-sarana yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan dakwah. Tetapi hal ini tidak boleh mengurangi rasa tawakal kepada Allah semata, dan tidak boleh dianggap sebagai faktor-faktor yang paling menentukan. Sebab hal ini akan merusak prinsip keimanan kepada Allah, di samping bertentangan dengan tabiat dakwah kepada Islam.
Dari sini diketahui bahwa uslub dakwah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pada tahapan ini merupakan Siyasah syari’ah (kebijaksanaan) darinya sebagai imam, bukan termasuk tugas-tugas tablighnya dari Allah sebagai seorang Nabi.
Berdasarkan hal itu, maka para pimpinan dakwah Islamiyah pada setiap masa boleh menggunakan keluwesan dalam cara berdakwah, dari segi Sirriyah dan Jariyah atau kelemahlembutan dan kekuatan, sesuai dengan tuntutan keadaan dan situasi masa di mana mereka hidup. Yakni keluwesan yang ditentukan oleh syari’at Islam berdasarkan kepada realitas Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sesuai dengan empat tahapan yang telah disebutkan, selama tetap mempertimbangkan kemashlahatan kaum Muslimin dan dakwah Islamiyah pada setiap kebijaksanaan yang diambilnya.
Oleh karena itu Jumhur Fuqaha sepakat jika jumlah kaum Muslim sedikit atau lemahposisinya, sehingga diduga keras mereka akan dibunuh oleh para musuhnya tanpa kesalahanvapapun bila para musuh itu telah bersepakat akan membunuh mereka, maka dalam keadaan seperti ini harus didahulukan kemashlahatan menjaga atau menyelamatkan jiwa, karena kemashlahatan menjaga agama dalam kasus seperti ini belum dapat dipastikan.
Al ’Izz bin Abdus Salam menyatakan keharaman melakukan jihad (perang) dalam kondisi seperti ini:
“Apabila tidak terjadi kerugian, maka wajib mengalah (tidak melakukan perlawanan), karena (perlawanan dalam situasi seperti ini) akan mengakibatkan hilangnya nyawa, di samping menyenangkan orang-orang kafir yang menghinakan para pemeluk agama Islam. Perlawanan seperti ini menjadi mafsadah (kerugian) semata, tidak mengandung maslahat.”
Saya berkata: “Mendahulukan kemaslahatan jiwa di sini hanya dari sepi lahiriyah saja. Akan tetapi pada hakekatnya juga merupakan kemaslahatan agama. Sebab kemaslahatan agama (dalam situasi seperti ini) memerlukan keselamatan nyawa kaum Muslimin agar mereka dapat melakukan jihad pada medan-medan lain yang masih terbuka. Jika tidak, maka kehancuran mereka dianggap sebagai ancaman terhadap agama itu sendiri, dan pemberian peluang kepada orang-orang kafir untuk menerobos jalan yang selama ini tertutup.
Singkatnya, wajib mengadakan perdamaian atau merahasiakan dakwah apabila tindakan menampakkan dakwah atau perang itu akan membahayakan dakwah Islamiyah. Sebaliknya tidak boleh merahasiakan dakwah apabila bisa dilakukan dengan cara terang-terangan dan akan memberikan faidah. Tidak boleh mengadakan perdamaian dengan orangorang yang dzalim dan memusuhi dakwah, apabila telah cukup memiliki kekuatan dan pertahanan. Juga tidak boleh berhenti memerangi orang-orang kafir di negeri mereka, apabila telah cukup memiliki kekuatan dan sarana untuk melakukannya.”
2. Orang-orang yang Pertama Masuk Islam dan Hikmahnya.
Sirah menjelaskan kepada kita bahwa orang-orang yang masuk Islam para marhalah (tahapan) ini kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang fakir, lemah dan kaum budak. Apa hikmah dari kenyataan ini? Apa rahasia tegakknya Daulah Islamiyah di atas pilar-pilar yang terbentuk dari orang-orang seperti mereka ini?
Jawabannya, bahwa fenomena ini merupakan hasil alamiah dari dakwah para Nabi pada tahapannya yang pertama. Tidakkah Anda perhatikan bagaimana kaum Nuh mengejeknya karena orang-orang yang mengikutinya hanyalah orang-orang kecil mereka?
“Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja….” (QS Hud: 27)
Tidakkah Anda perhatikan bagaimana Fir’aun dan para pendukungnya memandang rendah para pengikut Musa ‘Alaihis Salam sebagai orang-orang yang tertindas sampai Allah menyebutkan mereka setelah menceritakan kehancuran Fir’aun dan para pendukungnya?
“Dan kami pusakakan kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah kami beri berkah padanya.” (QS Al A’raf: 37)
Tidakkah Anda perhatikan bagaimana kelompok elite kaum Tsamud menolak nabi Shaleh, dan hanya orang-orang tertindas di antara mereka yang mau beriman kepadanya, hingga Allah mengatakan tentang mereka di dalam firman-Nya:
“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka, “Tahukah kamu, bahwa Shalih diutus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya?” Mereka menjawab,”Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shalih diutus untuk menyampaikannya.” Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak percaya kepada yang kamu imani itu.” (QS Al A’raf: 75-76)
Sesungguhnya hakekat agama yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul Allah ialah menolak kekuasaan dan pemerintahan manusia, dan kembali kepada kekuasaan dan pemerintahan Allah semata. Hakekat ini terutama sekali bertentangan dengan “ketuhanan” orang-orang yang mengaku sebagai “tuhan”. Dan kedaulatan orang-orang yang mengaku berdaulat. Dan terutama sekali, sesuai dengan keadaan orang-orang yang tertindas dan diperbudak. Sehingga reaksi penolakan terhadap ajakan untuk berserah diri kepada Allah semata datang terutama dari orang-orang yang mengaku berdaulat tersebut. Sementara orang-orang yang tertindas menyambut dengan baik.
Hakekat ini nampak dengan jelas dalam dialog yang berlangsung antara Rustum, komandan tentara Persia pada perang Al Qadisiyah, dan Rabi’ bin Amir, seorang prajurit biasa di jajaran tentara Sa’d bin Abi Waqqash. Rustum berkata kepadanya: “Apa yang mendorongkalian memerangi kami dan masuk ke negeri kami?” Rabi’ bin Amir berkata: “Kami datang untuk mengeluarkan siapa saja dari penyembahan manusia kepada penyembahan Allah semata.”
Kemudian melihat barisan manusia di kanan dan kiri Rustum tunduk dan ruku’ kepada Rustum, Rubi’ berkata dengan penuh keheranan,”Selama ini kami mendengar tentang kalian hal-hal yang mengagumkan, tetapi aku tidak melihat kaum yng lebih bodoh dari kalian. Kami kaum Muslimin tidak saling memperbudak antara satu dengan lainnya. Aku mengira bahwa kalian semua sederajat sebagaimana kami. Akan tetapi lebih baik dari apa yang kalian perbuat jika kalian jelaskan kepadaku bahwa sebagian kalian menjadi tuhan bagi sebagian yang lain.”
Mendengar ucapan Rubi’ ini orang-orang yang tertindas antara mereka salingberpandangan seraya berguman, “Demi Allah, orang Arab ini benar.” Tetapi bagi para pemimpn, ucapan Rubi’ ini ibarat geledek yang menyambut mereka, sehingga slah seorang di antara mereka berkata: “Dia telah melemparkan ucapan yang senantiasa dirindukan oleh para budak kami.”
Tetapi ini tidak berarti bahwa keislaman orang-orang yang tertindas itu tidak bersumber dari keimanan, bahkan bersumber dari kesadaran dan keinginan untuk bebas dari penindasan dan kekuasaan para tiran. Sebab baik para tokoh Quraisy maupun kaum tertindasnya sam-sama berkewajiban mengimani Allah semata, dan membenarkan apa yang dibawa oleh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak seorang pun dari mereka kecuali mengetahui kejujuran Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kebenaran apa yang disampaikan dari Rabb-Nya. Kaum elite dan para tokoh tidak tunduk dan mengikuti Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam karena dihalangi oleh faktor gengsi kepemimpina mereka. Contoh yang paling nyata adalah pamannya, Abu Thalib. Sedangkan kaum tertindas dan lemah dengan mudah mau menerimannya dan mengikuti Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena mereka tidak dihalangi oleh sesuatu apapun.
Di samping bahwa keimanan kepada Uluhiyah Allah akan menumbuhkan rasa izzah (wibawa) pada diri seseorang, dan menghapuskan rasa gentar kepada kekuatan selain dari kekuatan-Nya.
Perasaan yang merupakan buah keimanan kepada Allah ini, pada waktu yang sama, memberikan kekuatan baru dan menjadikan pemiliknya merasakan kebahagiaan. Dari sini kita dapat mengetahui besarnya kebohongan yang dibuat oleh para musuh Islam di masa sekarang. Ketika mereka mengatakan dakwah yang dilakukan oleh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam hanyalah berasal dari inspirasi lingkungan Arab tempat ia hidup. Dengan kata lain, dakwah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya mencerminkan gerakan pemikiran Arab di masa itu.
Seandainya demikian, hasil dakwah selama tiga tahun tersebut tidak hanya berjumlah empat puluh orang lelaki dan wanita. Dan kebanyakan mereka adalah kaum fakir, tertindas dan budak. Bahkan ada yang berasal dari negeri asing, yaitu Shuhaub Ar Rumi dan Bilal Al Habasyi.
Pada pembahasan mendatang akan Anda ketahui bahwa lingkungan Arab itu sendirilah yang justru memaksa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk melakukan hijrah dari negerinya dan memaksa pengikutnya berpencar-pencar, bahkan pergi hijrah ke Habasyiah. Ini semua karena kebencian lingkungan tersebut terhadap dakwah yang mereka tuduh sebagai nasionalis Arab.