Syiah Imamiyah mengatakan bahwa pengangkatan Imam hanya bisa dilakukan dengan berdasarkan nash atau pemilihan dari umat. Akan tetapi karena didorong oleh tendensi mereka untuk membatasi khalifah hanya pada diri Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, mereka mengkritik prinsip pemilihan. Mereka mengatakan bahwa wajib bagi Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai bentuk al-lufth (taufik) dari-Nya untuk menunjuk seorang Imam berdasarkan sebuah nash yang jelas dan eksplisit di dalam ayat-ayatNya, dan keharusan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak lain hanya menyampaikan apa yang diturunkan kepada beliau dan beliau memang telah menyampaikannya. Karenanya, beliau menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu adalah khalifah setelah beliau.[1]
Mereka secara panjang lebar memperkuat pandangan mereka itu dengan sejumlah bukti, dalil naqli, aqli, dan historis.[2] Di sini, kami akan menyebutkan sebagian dari dalil-dalil itu secara global berikut sanggahan Ahlus Sunnah terhadap dalil-dalil tersebut.
Dalil dari Al Quran
Mereka berdalil dengan ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan tentang kewajiban untuk berkomitmen kepada perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya seperti ayat,
[arabtext] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ [/arabtext]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Hujurat:1)
[arabtext] وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ[/arabtext]
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (Al Qashash: 68)
[arabtext]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا[/arabtext]
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Karena itu, manusia tidak memiliki pilihan di hadapan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Taala sebagai nabi atau Imam maka wajib menaatinya. Karena imamah adalah salah satu fungsi dan tugas keagamaan yang urusannya dipasrahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjadi otoritas prerogatif-Nya, berarti imamah termasuk sesuatu yang ditetapkan oleh Allah Subahanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dengan nash.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa ayat-ayat tersebut tidak menyangkut urusan imamah, tetapi ayat-ayat tersebut memberikan pengetian larangan melakukan ijtihad (fiqih-red) dengan pendapat pribadi yang menyangkut hukum syara’ yang sudah ada nash-nya di dalam Al Quran dan As Sunnah.
Begitu juga mereka berdalil dengan sejumlah ayat Al Quran yang menurut persepsi mereka memberikan pengertian yang menyatakan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib seperti ayat,
[arabtext]قُلْ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى[/arabtext]
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.’”(Asy Syura: 23)[3]
Kerabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah keluarga beliau, yaitu Ali bin Abi Thalib, Fathimah, dan kedua putra mereka Radhiyallahu ‘Anhumma.[4] Akan tetapi, para ulama yang tsiqah (terpercaya, kredibel) menjelaskan bahwa ayat ini turun sebelum Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fathimah Radhiyallahu ‘Anhumma.
Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili
___________
[1] Syiah Zaidiyah, Muktazilah Baghdad, dan selainnya mengingkari dan menolak adanya suatu nash dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah khalifah menggantikan beliau meskipun mereka memang lebih menggunggulkan Ali bin Abi Thalib dibandingkan selainnya.
[2] Lihat Dr Ahmad Mahmud Shubhi, Nazhariyatul Imamah Iada Asy Syi’ah Al Itsna’ Asyariyah, halaman 79 dan seterusnya.
[3] Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quran Al Azhim, ketika menafsirkan ayat ini mengatakan: Yakni katakanlah wahai Muhammad kepada orang-orang Musyrik dari kalangan kaum Quraisy, “Aku tidak meminta dari kalian atas seruan dan nasihat yang aku berikan ini, apa-apa yang tidak akan kalian berikan. Melainkan aku meminta agar kalian menghentikan tindakan buruk kalian terhadapku dan membiarkanku menyampaikan risalah Rabb-ku. Jika kalian tidak bersedia menolongku, maka janganlah kalian menyakitiku karena antara aku dengan kalian masih terdapat hubungan kekerabatan.”
Ketika Said bin Jubair mengatakan bahwa maksudnya adalah kerabat di antara keluarga Muhammad saja, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Kamu tergesa-gesa (dalam berpendapat). Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak ada satu kalanganpun yang ada pada kaum Quraisy, melainkan beliau memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka.” Lalu Ibnu Abbas berkata, “Maknanya, melainkan hendaknya kalian menghubungkan kekerabatan yang ada antara aku dengan kalian.” (redaksi Fimadani.com)
[4] Lihat Dr Ahmad Mahmud Shubhi, Nazhariyatul Imamah Iada Asy Syi’ah Al Itsna’ Asyariyah, halaman 79 dan seterusnya.