Mulanya, manusia hanyalah Adam. Sebab Allah menciptakannya sendirian. Lalu Ia ajari Adam, Ia berikan ilmu dari sisi-Nya. Dengan itu, jadilah Adam banyak tahu. Dan dengan itu, para malaikat mendapatkan jawaban mengapa Allah hendak menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi-Nya.
Kekhawatiran malaikat yang diabadikan Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 30, tidaklah sepenuhnya salah. Pengalaman empiris yang terjadi di bumi sebelum Adam memang demikian: perusakan dan pertumpahan darah. Dua potensi negatif yang juga ada pada diri manusia. Namun Allah telah melengkapi kehidupan makhluk kali ini dengan sistem penjagaan terpadu bernama dakwah.
Jika dakwah didefinisikan sebagai dakwatun nas ilallah (mengajak manusia kepada Allah), sesungguhnya dari Allah-lah dakwah bermula. Dia yang mengajari Adam, Dia yang memperkenalkan dirinya kepada Adam. Kelak, Adam meneruskan dakwah ini kepada anak-anaknya. Anak-anak Adam meneruskan pada generasi sesudahnya. Demikian seterusnya.
Dengan demikian, khalifah fil ardh hanyalah manusia yang terlibat dalam dakwah. Sebab hanya dengan dakwah, dua aksi destruktif yang dikhawatirkan malaikat –perusakan dan pertumpahan darah- bisa dicegah. Dengan dakwah, potensi akal yang mampu dengan cepat menguasai ilmu menjadi terarah. Sayyid Quthb memang tidak menjelaskan lebih lanjut apa maksud “kekuatan tersembunyi yang dapat merealisasikan kehendak Ilahiyah” saat ia menguraikan ayat dipilihnya manusia sebagai khalifah. Tapi kini kita tahu, dakwah adalah kekuatan besar untuk menjaga manusia tetap berada di atas rel yang benar; menjadi khalifah yang merealisasikan kehendak Ilahiyah.
Mereka yang memilih jalan dakwah, berarti memilih setia pada tugas dari-Nya. Mereka yang setia pada tugas dari-Nya, berarti memposisikan untuk menerima upah dari-Nya. “Kami tidak mengharap imbalan,” kata Hasan Al-Banna, “Tidak juga pujian. Apalagi sekedar ucapan terima kasih.”