Dalam tulisan “Popularitas versus Infrastruktur Kekuasaan” yang ditulis sebelum Pemilu kemarin, saya menulis bahwa apakah seorang kandidat memiliki kapabilitas untuk merealisasikan janjinya atau tidak sangat tergantung pada “infrastruktur kekuasaan” yang dimilikinya.
Popularitas boleh jadi akan memenangkan seorang kandidat pada hari pemilihan, namun apakah dia akan bisa mengoperasikan kekuasaan secara efektif atau tidak, itu tergantung pada infrastruktur kekuasaan yang dikuasainya.
Faktor infrastruktur kekuasaan inilah yang menjadi determinan apakah seorang aktor politik akan jadi ‘decision maker’ atau bukan di dapur kekuasaan yang dilibatinya.
Dari sejumlah keputusan penting yang sudah dirilis pemerintahan baru, mulai dari komposisi kabinet yang menyingkirkan cukup banyak tokoh yang sebelumnya telah digaransi oleh Presiden, kebijakan menaikkan harga BBM, pemilihan para mitra dagang untuk sejumlah ‘action plan’, serta terakhir adalah penunjukkan Jaksa Agung, kita bisa sama-sama menguji bahwa yang jadi ‘decision maker’ memang memiliki korelasi yang kuat dengan infrastruktur kekuasaan yang dimiliki.
Secara formal, Presiden kita memang adalah pemegang mandat kuasa, namun kekuasaan punya logika operasionalnya sendiri. Berhadapan dengan para pemilik infrastruktur kekuasaan, tanpa kepemilikan infrastruktur kekuasaan yang sepadan, Presiden tak akan punya posisi tawar kuat. Jangankan di luar lingkungan partainya, di dalam partainya sendiripun ia bukan ‘decision maker’.
Berhadapan dengan kenyataan pahit itu, apakah dengan begitu artinya Presiden harus membangun infrastruktur kekuasaan sendiri?!
Persis di situlah kekhawatiran saya. Tanpa modal infrastruktur kekuasaan yang memadai, Presiden akan berhadapan dengan dua dilema yang sama-sama tidak produktif, yaitu antara (1) baru mulai membangun infrastruktur kekuasaan, atau (2) mengoperasikan sebuah kekuasaan yang tidak efektif, karena harus menghadapi rongrongan dari para pemilik infrastruktur kekuasaan yang ada di dalam pemerintahannya.
Keduanya sama-sama membuat pemerintah tak memiliki kapabilitas yang cukup untuk menunaikan janji-janji kampanyenya.
Kalau kita tarik ke belakang, dilema itu sebenarnya mengantarkan satu pesan tegas: tidak ada yang instan dalam politik. Kekuasaan harus dibangun secara sengaja dan sistematis. Sudah bukan zamannya lagi ngalap wahyu keprabon di tikungan.
Paling tidak, satu hal kini semakin jelas. Kita kini sama-sama tahu siapa yang menjadi pemilik lahan, pemilik benih, atau pemilik modal, serta siapa yang sekadar jadi penyakap. Dan, seperti kata pepatah: siapa menyemai, memanen.
Bukan begitu, Pemirsa?
Tarli Nugroho