Degradasi Sebuah Peci Hitam

Ia berdiri dengan tegap dan mantap. Orasinya meledak-ledak, mampu membangkitkan semangat rakyat Indonesia dan jiwa kepemimpinannya pun luar biasa. Tak salah jika ia secara aklamasi dipilih menjadi presiden pertama Indonesia, ia lah Soekarno. Tongkat, kaca mata dan sepatu hitam menjadi aksesorisnya. Namun, ada satu benda yang selalu menjadi ciri khasnya: peci hitam.

Peci hitam memang telah menjadi benda yang istimewa bagi pendahulu kita.  Jauh sebelum Soekarno memakainya, Peci sudah jamak dipakai pada pesantren-pesantren di Giri (Yunos,2007). Peci hitam menjadi populer setelah Soekarno memakainya dalam setiap acara kenegaraan. Ia memakai Peci hitam lengkap dengan setelan jas dengan tujuan menampilkan identitas bangsa sendiri namun tetap mempunyai visi internasional. Peci hitam juga dipakai karena mencitrakan dirinya sebagai seseorang yang islami meskipun ia berasal dari kalangan nasionalis.

Peci hitam masih tetap menjadi istimewa kini.  Ia masih sering ditemukan ketika shalat-shalat jamaah berlangsung di masjid. Ia juga sering dipakai dalam lomba-lomba terkait dengan Islam. Peci hitam masih tetap membungkus seseorang dalam pakaian “islami”. Benda ini juga sekaligus menjadi pakaian “nasional” resmi kenegaraan Indonesia. Semua menteri laki-laki, meskipun ia non-muslim, diharuskan memakai peci hitam dalam setiap agenda resmi kenegaraannya. Banggalah orang-orang yang memakai peci hitam, karena ia adalah sosok islami sekaligus nasionalis. Kita, warga muslim Indonesia, juga harus bangga karena Indonesia sudah dictrakan memiliki tradisi Islam yang kuat.

Sayangnya, tanpa disadari peci hitam telah mengalami degradasi. Peci hitam memang membuat manusia terlihat lebih islami, namun peci hitam juga yang dipakai sebagian dari manusia ketika mereka dengan beraninya melanggar perintah shalat, bermain judi di kampung-kampung,hingga mengadu ayam hingga meninggal demi mendapat beberapa lembar uang kertas. Atau, peci hitam memang dipakai agar para politikus terlihat lebih nasionalis padahal mereka melakukan korupsi, tentunya dengan peci hitam, untuk membuat orang-orang miskin yang dengan terpaksa mengemis juga dengan peci hitam. Mereka memakai peci hitam hanya di kepalanya saja, tetapi tidak di hatinya. Mereka, mungkin juga kita, telah menodai ketinggian Islam dan keluhuran Indonesia dengan degradasi peci hitam ini.

Peci hitam sebuah benda sederhana namun bisa menjadi sebuah indikator di mana letak Islam dan nasionalisme pada hati semua elemen warga Indonesia. Sejujurnya, kini saya malu jika saya memakai peci hitam. Bukan karena perbuatan orang lain yang telah membuat peci hitam terdegradasi, saya hanya malu karena belum bisa membuat peci hitam meresap ke hati-hati mereka.

 

Oleh: Agung Supriyadi, Jakarta
Kepala Bidang Keummatan SALAM UI 2012
Mahasiswa Berprestasi II FKM UI 2012
Facebook Twitter – Blog