Rasulullah mengumpulkan para sahabatnya, kala itu pasukan kafir dari Makkah telah sampai di utara Madinah, dekat bukit Uhud. Dalam musyawarah kali itu Rasulullah akan membahas strategi menghadapi pasukan Makkah yang semakin dekat untuk menuntut balas kekalahan mereka dalam perang Badr.
Syura pun dimulai, Rasulullah mengutarakan mimpinya tentang lembu-lembu yang disembelih, mata pedang beliau yang rompal, serta tangan beliau yang dimasukkan ke dalam kokohnya baju besi. Lembu-lembu ditakwili dengan banyaknya sahabat yang akan gugur, pedang yang rompal ditakwili dengan beberapa ahli keluarga beliau yang akan terkena musibah, dan baju besi ditakwilkan sebagai Kota Madinah.
Dengan mimpi itu, beliau mengusulkan untuk bertahan saja di Madinah untuk menghadapi pasukan Makkah. Usul beliau ini didukung oleh Abdullah bin Ubay, seorang pentolan munafik di Madinah. Namun tidak demikian dengan sebagian besar sahabat. Mereka justru ingin tetap berangkat ke medan peperangan. Terlebih lagi para sahabat yang tidak ikut peperangan sebelumnya di sumur Badr, mereka begitu iri terhadap ahlul Badr, hingga terpompa semangat mereka ketika mendengar semakin mendekatnya jalan syahid mereka.
Maka syura pun memutuskan, bahwa kaum muslimin akan berangkat berperang, menyongsong syahid di Uhud. Berangkatnya pasukan muslimin ditingkahi dengan membelotnya Ibnu Ubay, si munafik. Dengan provokasinya dan mimpi Rasulullah sebagai alasan, Ibnu Ubay berhasil menarik banyak pasukan dari barisan kaum muslimin untuk kabur dari peperangan. “Kita tidak tahu, atas dasar apa kita memerangi diri kita sendiri,” begitu dalih mereka.
Dengan 700 pasukan yang tersisa, Rasulullah dan para sahabat menyongsong peperangan Uhud. Dan seperti kita tahu bersama, perang Uhud menyisakan kekalahan bagi kaum muslimin. Tujuh puluh sahabat gugur sebagai syuhada dan Rasulullah terluka parah, serta keadaan pasukan yang benar-benar habis-habisan. Kekalahan Badr telah terbalaskan bagi kaum Quraisy.
Di bulan yang sama seperti peristiwa Uhud, Syawal tahun ini, umat muslim Indonesia mengawalinya dengan berbeda. Ada beberapa versi jatuhnya 1 Syawal 1432 Hijriyah, namun yang paling menyedot perhatian adalah yang ditetapkan pada 30 dan 31 Agustus 2011. Umat muslim Indonesia yang sepertinya telah terbiasa menghadapi perbedaan penentuan Syawal dan Ramadhan kali ini sedikit heboh. Umat Islam yang telah siap berlebaran pada keesokan hari, harus menunda takbiran dan berlebaran lusanya. Maka sahur dengan opor ayam pun terjadi di meja makan banyak keluarga muslim kali itu.
Syuro telah dilakukan, keputusan telah diambil, lebaran dengan dua versi pun dijalankan, suasana suka cita berhari raya tetap mewarnai. Pun demikian masih saja ada yang belum juga terbiasa dengan perbedaan, hari raya pun memicu pertengkaran. Sedikit keributan, namun selebihnya tenang dan bergembira.
Di tengah suasana gembira, ada berita. Katanya Menteri Agama meminta maaf kalau lebarannya salah. Ada juga yang bilang Idul Fitri yang salah diputuskan, membuat pemerintah Saudi harus membayar diyat. Ada juga duta besar yang mengaku ditertawakan diplomat lainnya sebab Idul Fitri versi pemerintah Indonesia nyeleneh.
Umat yang sedang dalam suasana gembira berhari raya pun turut menyebarkan berita. Tentu saja yang disebarkan berita yang sesuai dengan versi Idul Fitrinya masing-masing.
Tanggal 1 syawal yang berbeda pun membawa dendam hingga berhari-hari dalam adu argumentasi. Siapa yang benar Idul Fitrinya, siapa yang tak shahih lebarannya.
Adu argumentasi berkembang menjadi adu bukti, agar lebih shahih argumentasinya. Maka ada yang siap membuktikan kebenaran 1 Syawal dengan bulan purnama. 1 Syawal harus dihitung mundur dari saat purnama muncul, sebab purnama pasti akan muncul di pertengahan bulan.
Pentingkah? Ketika keputusan telah diambil dan dijalankan? Mengetahui pihak yang mana yang benar dan mana yang salah. Jika satu pihak kali ini salah, tidak mungkinkah jika pihak yang ternyata salah, justru esoknya benar atau sebaliknya? Lalu jika ternyata kemarin kita salah berlebaran, lalu apa yang bisa kita lakukan?
Secara ilmiah, mungkin penting untuk menentukan salah-benar. Namun pembuktian ilmiah juga harusnya dilakukan dalam sebuah forum ilmiah, dengan orang-orang yang memiliki kefahaman yang baik. Tak selayaknya penentuan salah-benar lantas disebarluaskan kepada khalayak dengan ilmu yang pas-pasan bahkan kurang atau mungkin malah tanpa ilmu, apalagi jika informasi yang dipaparkan hanya sepotong-sepotong. Yang terjadi adalah pendapat liar yang saling bertentangan, ujung-ujungnya meresahkan. Ibarat dua kelompok suporter sepak bola yang mengklaim tim kesayangan mereka yang terhebat, fakta kemenangan dalam pertandingan pun tak akan mampu merubah fanatisme mereka. Sia-sia saja!
Ada lagi cerita dari perang Badar, Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabatnya mengenai tindakan yang akan ditetapkan untuk para tawanan. Umar bin Khathab pun memberikan pendapatnya, ia menyarankan agar para tawanan itu dibunuh. Sedangkan Abu Bakar Ash-Shidiq lebih memilih untuk membebaskan tawanan dengan tebusan. Rasulullah SAW kemudian memutuskan untuk mengikuti pendapat Abu Bakar Ash-Shidiq.
Namun tak lama kemudian turun ayat,
“Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Anfal : 57)
Abu Bakar Ash-Shidiq yang mendengar ayat tersebut langsung menangis dan berkata, “Kalau sekiranya turun azab Allah SWT dari langit maka tidak akan ada yang selamat kecuali Umar bin Khathab RA.” Rasulullah dan Abu Bakar pun bertangisan. Umar yang datang melihat mereka berdua menangispun akhirnya ikut menangis bersama mereka, tanpa mengungkit kebenaran pendapatnya ataupun menyalahkan Abu Bakr dan Rasulullah. Indah bukan?
Dan ternyata benarnya Abdullah bin ubay pun tak pernah merubah posisinya, sebagai munafik sejati..