Ketika ibunya tengah sakit keras dan harus buang hajat di pembaringan, Dhana tidak tega menggunakan pispot karena menurutnya benda itu terlalu keras dan nanti bisa menyakiti tulang ibunya. Sebagai gantinya, ia menengadahkan kedua tangannya dengan beralaskan tisu untuk menampungnya.
***
Ia membuat beberapa orang yang bergaul dengannya merasa iri. Sebagian berkomentar, lelaki muda itu telah dekat dengan pintu surga. Beberapa yang lain berpendapat, sungguh beruntung ia merawat ibunda tercinta dengan kualitas maksimal. Namun, Dhana Widyatmika (33 tahun), putra pertama dari Ibu Sundari (59 tahun) itu hanya berucap, apa yang ia lakukan biasa-biasa saja.
“Saya tidak pernah merasa ini sesuatu yang hebat. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Ini kewajiban. Saya yakin semua anak juga akan melakukan hal yang sama,” ucapnya.
Ditemui di sela-sela rutinitasnya menjaga dan menemani sang ibu yang dua kali dalam seminggu harus cuci darah, Dhana mengisahkan, selama tiga belas tahun ini, ibu menjadi prioritas utama dalam hidupnya.
Ujian Bertubi-tubi
Semua berawal ketika bulan Februari 1995, Ibu Sundari divonis gagal ginjal
“Ibu batuk-batuk, mual. Saya pikir sakit biasa. Waktu dibawa ke rumah sakit, kadar ureumnya di atas 300, padahal orang normal harus di bawah 40. Artinya racun dalam darah sudah menumpuk. Jadi harus langsung cuci darah. Saat itu, kadar hemoglobin (Hb) Ibu hanya 3,4 sehingga harus transfusi darah, padahal ketika itu bulan puasa, persediaan darah di PMI sangat terbatas sehingga harus mencari donor darahnya,” terang Dhana yang ketika itu masih duduk di tingkat dua sebuah sekolah tinggi di Jakarta.
Sesungguhnya rasa duka kehilangan almarhum ayah dua tahun sebelumnya masih membekas di hati Dhana. Baginya, kepergian ayah menghadap Sang Maha Kuasa bagaikan kiamat kecil. “Saya tidak menyangka. Bapak masih gagah, karir sedang posisi menanjak, dan saya baru masuk kuliah,” kenangnya.
Masih segar dalam ingatannya, hari ketika ayahnya wafat. Dhana tengah sibuk mencari kaos kaki warna-warni di jatinegara sebagai salah satu syarat mengikuti ospek di kampusnya. “Waktu pulang saya lihat orang ramai, ternyata Bapak meninggal. Sangat mendadak. Saya tidak siap, tapi harus siap. Sebenarnya juga tidak tabah. Apalagi dua tahun kemudian Ibu menderita sakit berat. Kalau bicara mental jatuh, ini jatuh yang kedua. Kok belum selesai musibah yang saya alami dua tahun belakangn ini,” tuturnya.
Kepergian ayah menjadikan sulung dari dua bersaudara yang baru saja lepas SMA itu berubah menjadi kepala keluarga. Tak heran jika dialah yang pertama diberitahu dokter tentang keharusan ibunya untuk cuci darah. Sebuah kabar yang tentu tidak mudah didengar. “Awalnya Ibu tidak tahu. Ibu pikir hanya sekali cuci darah, setelah itu sembuh. Dokter panggil saya, katanya ini harus rutin cuci darah. Saya kepala keluarga dan memang harus menanggung semuanya,” kenangnya.
Dhana sendiri, meski sangat sedih mendengar kondisi kesehatan ibunya, namun saat itu ia merasa optimis, penyakit Ibu akan sembuh dan keadaan akan membaik kembali. “Shock, tapi tidak berpikir bahwa ini tidak bisa sembuh. Saat itu saya tidak menyadari. Dokter juga tidak bilang secara gamblang kalau tidak bisa sembuh. Tahun pertama belum merasa bahwa ini akan menjadi rutinitas. Saya anggap nanti akan ada akhir untuk sembuh,” ujarnya.
Keyakinan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya menyemangati Dhana dan ibunya untuk tak henti-hentinya mencari penyembuhan, baik medis maupun obat alternatif. Sejak 1995 hingga 2004, boleh dibilang semua pengobatan alternatif yang pernah dilihat di televisi pernah dicoba, namun hingga sekarang, ibunda Dhana tetap harus cuci darah.
Di awal mendengar vonis gagal ginjal, Ibu Sundari sempat mengalami masa-masa penolakan dan kesedihan. Penanganan cepat serta perawatan medis yang sangat memadai memang mampu mengembalikan kondisi fisiknya, kecuali ginjal. Namun keharusan cuci darah sangat menguras ketabahannya. Alhasil, di tahun pertama sejak ibunya sakit, Dhana lebih banyak mengerahkan segenap daya dan usaha untuk membantu mengangkat moril Sang Ibu.
“Secara fisik ibu agak bagus, tapi mentalnya down sekali. Setiap habis cuci darah, pulang, balik lagi ke rumah sakit. Lebih karena psikis. Kadang ada rasa tidak enak di badan, sampai di rumah sakit diperiksa dokter tidak ada apa-apa. Obatnya cuma istirahat. Ibu juga sering bertanya, kapan tidak cuci darah lagi,” tuturnya.
Selain stress karena sudah berusaha berbagai cara tapi tidak juga sembuh, proses cuci darah juga mengandung bagian yang cukup sakit dan menakutkan. “Ada saatnya Ibu merasa, ngapain hidup bergnatung mesin terus. Kalau besok mau dicuci sudah stress, memikirkan akan ditusuk jarum. Sampai sekarang pun Ibu masih selalu kesakitan waktu ditusuk. Saya sangat sedih melihatnya. Melihat orang yang saya cintai ,menderita, itu menjadi penderitaan juga bagi saya. Tapi saya berusaha bertahan. Kalau saya down, bagaimana dengan Ibu.”
Konsentrasi Merawat Ibunda
Sadar kondisi ibunya sangat labil, Dhana memutuskan konsentrasi sepenuhnya untuk menemani Ibu menjalani berbagai proses pengobatan. Tiap hari, sepulang kuliah, Dhana langsung ke rumah sakit. Menghabiskan malam di lantai di bawah tempat tidur ibunya menjadi bagian pola kehidupan Dhana. Menurutnya, posisi di bawah tempat tidur membuatnya cepat mengetahui kalau ada apa-apa. Pagi-pagi biasanya ia pulang sebentar sekadar berganti baju dan membersihkan badan, lalu kuliah. “Saya punya kos, tapi tidak pernah saya tinggali karena kondisi ibu sangat tidak stabil. Selama kuliah tidak sempat bersosialisasi dengan teman-teman karena waktunya tidak memungkinkan. Saya lebih banyak ke Ibu. Saya hanya meninggalkan Ibu ketika kuliah,” tuturnya.
Pilihan untuk mendahulukan Ibu di atas semua urusan lainnya, secara logika, sebenarnya tidak selalu mudah bagi Dhana, yang kebetulan kuliah di sekolah yang lumayan ketat dalam kedisiplinan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara – Red. Fimadani). Ketika kondisi ibunya sedang sangat menurun, Dhana memilih tidka kuliah agar bisa menemani ibunya. Keputusan itu, bukan hanya melewatkan kesempatan mendengar materi kuliah langsung dari dosen, tapi juga membuatnya kesulitan mencapai batas absen yang diijinkan.
“Kuliah tidak masuk, saya tidak peduli. Saya lebih baik drop out daripada harus meninggalkan ibu saya. Itu yang saya yakini. Boleh dibilang saya tidak pernah belajar meski saat ujian. Bukan karena sombong, tapi memang tidak sempat. Saya sadar risikonya dan juga siap menanggungnya. Tidak pernah ada konflik batin ketika memutuskan itu. Prioritas saya untuk Ibu. Saya tidak pernah sedikitpun khawatir, bagaimana masa depan saya, bagaiman alau tidak lulus atau drop out. Terserah deh, hidup saya mau dibawa kemana. Saya ikut saja. Saya hanya berpikir bagaimana Ibu bisa nyaman, bisa tertolong dari kondisi ini,” jelasnya.
Dhana bersyukur karena ia sama sekali tidak ragu dan yakin menjalani keputusan mengesampingkan kuliah untuk merawat ibunya. Ia merasa, Allah yang membuat hatinya mantap. Selain itu ia berusaha melaksanakan pesan Ayah agar dia menjadi lelaki yang mampu bertnaggungjawab. Dhana mengenang, ketika ia memijit ayahnya, beliau berpesan, “Jika nanti ada sesuatu yang buruk menimpa keluarga, kaulah yang harus menggantikan tugas Bapak, dan kamu harus siap.”
“Saya pikir itu pembicaraan biasa. Saat Bapak meninggal, saya jadi ingat sekali pesan itu. Ketika Ibu sakit, saya semakin yakin, ini yang dimaksud Bapak. Mungkin pesan itu yang membantu saya untuk prioritas ke Ibu. Hanya Ibu, tidak ada hal lain yang saya pikirkan. Saya tahu, saya juga punya kehidupan sendiri yang harus saya tata, tapi saya yakin, saya tidak salah meninggalkan masa depan dan meilih Ibu. Itu keputusan dan komitmen saya. Biarlah masa depan tidak jelas, yang penting saya puas bisa mengabdikan diri pada orang tua,” ucapnya.
Usaha mencari kesembuhan fisik serta menjaga mental ibunya gar terus emangat menjalani pengobatan dilakukan Dhana tanpa henti. “Saya tidak pernah putus asa. Saya menikmati saja. Bahkan saya banyak belajar dari semua ini. Saya coba resapi. Pelajaran yang palin besar itu kesabaran. Kondisi ini membuat saya harus banyak mengalah, bersabar, dan menerima. Ini pasti ada maksudnya, ada hikmahnya,” ujarnya.
Pertolongan Allah itu Indah
Di tengah berbagai usaha yang menguras tenaga, waktu, dan tentu juga uang, Dhana justru kian merasakan betapa banyak kemudahan tak terduga. “Banyak hal aneh yang saya rasa kayaknya tidak mungkin kalau saya balik lagi, kondisi itu akan terjadi lagi,” kenangnya.
Dhana yang sering bolos kuliah, akhirnya harus menerima risiko tidak diperbolehkan mengikuti ujian oleh dosen yang kebetulan dikenal sangat disiplin dan tidak gemar menerima alasan apapun dari mahasiswa yang sering tidak hadir kuliah. “Saya mengahdap dosen itu, saya belum ngomong apa-apa, dia bilang, ya sudah ikut ujian saja. Banyak pertolongan di luar dugaan. Masalah obat juga. Ibu sangat membutuhkan obat, tapi kebetulan stock habis. Cari kemana-mana tidak ada, padahal ibu sangat membutuhkan dan harus cepat. Saya kirim kabar ke banyak kenalan, tidak lama ada yang memberitahu ada obat. gampang sekali,” tuturnya.
Selain itu, Dhana yang memutuskan tidak peduli masa depan asalkan ibunya bisa mendapatkan perawatan, obat dan segala yang terbaik, akhirnya bukan hanya mampu menyelesaikan sekolahnya hingga Pasca Sarjana, namun juga dalam kondisi yang sangat baik di pekerjaan maupun bisnis keluarga yang dikelolanya. “Saya merasa, ternyata ada yang menjaa saya. Kuliah bisa selesai tepat waktu, usaha membesar, dan banyak hal lainnya. Semua kemudahan itu, saya pikir justru tidak bisa saya dapatkan kalau kondisi saya normal-normal saja. Buat orang lain mungkin biasa saja, tapi bagi saya tidak. Ini Allah yang kasih,” ujarnya.
Semua kenyataan itu, ditambah dengan keyakinan pada ajaran agama yang memang memerintahkan agar setiap anak berbakti pada ibunya kian menguatkan Dhana untuk terus memegang komitmennya, mendahulukan kepentingan Ibu di atas semua urusan lainnya, termasuk memberi pengertian istri, kalau ada apa-apa antara Ibu dan istri, maka dia akan mendahulukan ibunya. “Saya sangat bersyukur diberikan pendamping seorang istri yang sangat mengerti dan memahami keadaan saya. Saya juga kadang-kadang bersenang-senang dan pergi ke mall, tapi pikiran terus terkoneksi dengan Ibu. Ketika sedang nonton, Ibu telepeon, saya bilang sedang di luar dan sebentar lagi pulang. Dan saya memang langsung pulang,” ucapnya.
Urusan Dunia pun Dipermudah
Soal bisnis, sudah biasa bagi Dhana untuk menjadwal ulang atau bahkan membatalkan pertemuan apapun, bila bersamaan dengan jadwal cuci darah ibunya. “Saya tidak peduli kehilangan kesempatan. Malah saya pikir itu lebih bagus. Daripada saya paksakan nanti malah kepikiran,” ujarnya.
Lagi-lagi kemudahan tak terduga juga kembali dirasakan Dhana ketika ia menunda sebuah pertemuan yang diprediksi akan mengalirkan keuntungan finansial dalam jumlah lumayan. Penundaan itu membuat rekan bisnisnya merasa heran dan mendesak ingin tahu penyebabnya. Dhana yang sebenarnya tidak gemar menceritakan kondisi keluarga akhirnya menjelaskan kalau hari itu dia harus mengantar ibunya cuci darah. Tak diduga, rekan bisnis itu malah sangat bersimpati dan hal itu mempermudah hubungan bisnis mereka karena dia merasa orang yang pedulidengan ibunya berarti juga orang yang bisa dipercaya.
Keseriusan Dhana menyesuaikan aktifitasnya dengan kondisi Ibu tidak berarti ia tidak smepat kemana-mana. Ke luar kota, bahkan ke lar negeri juga masih dilakukannya meski dengan berbagai persiapan ekstra. Jauh hari sebelum keberangkatan, ia berusaha maksimal agar kondisi Ibu dalam keadaan prima selama hari-hari kepergiaannya. “Kalau kondisi tidak bagus, saya tidak jadi pergi. Saya siapkan kandidat. tante saya datangkan seminggu sebelum berangkat. Saya training dulu. ketika ibu sudah merasa nyaman, baru saya tinggal,” turutnya.
Menampung Berak Ibunda dengan Kedua Tangan
Bagaimana supaya ibunya lebih nyaman, lebih bisa menikmati hidup, dan berkurang rasa sakitnya terus menjadi pusat pemikiran Dhana. Ketika ibunya tengah sakit keras dan harus buang hajat di pembaringan, Dhana tidak tega menggunakan pispot karena menurutnya benda itu terlalu keras dan nanti bisa menyakiti tulang ibunya. Sebagai gantinya, ia menengadahkan kedua tangannya dengan beralaskan tisu untuk menampungnya. “Saya biasa lihat kotoran Ibu. Dari baunya segala macam, saya bisa tahu apa makanan yang dimakannya. Warnanya kalau begini gimana, kalau ada darahnya berarti ambeien ibu sedang sedang kumat. Jadi, sekaligus memantau. Saya bilang ke pembantu, nggak apa-apa kamu jijik, itu memang bukan pekerjaan kamu, biar saya saja,” ujarnya.
Dhana menambahkan, selain agar ibunya nyaman, ia rela melakukan itu karena ia terpikir betapa dulu waktu masih kecil, ibunya juga sering melakukan hal serupa, bahkan mungkin lebih. “Ingatan dulu ibu juga melakukan ini sangat memotivasi saya. Ibu saya, melakukan lebih dibanding yang sekarang saya lakukan. kasih ibu itu luar biasa,” tuturnya.
Demi Kebahagiaan Ibunda
Ia juga mendukung sepenuhnya, dan menyediakan sarana maksimal, ketika Ibunya berniat kuliah di sebuah universitas islam untuk memperdalam agama. Bukan hanya menyediakan mobil dan sopir untuk antar jemput, namun ia juga kerap menemani ibunya terutama bila kesehatannya sedang menurun, tapi sang ibu tetap ingin kuliah.
Ketika kondisinya kian menurun, dan kemudian Ibu yang terbiasa aktif fan enerjik itu tidak bisa berjalan lagi, Dhana menelepon teman-teman kuliah ibunya agar mereka memindahkan kuliah ke rumahnya. Sejak itu, tiap hari Senin, ibu dan teman-temannya mengadakan pengajian di kediaman keluarganya di bilangan Jatiwaringin, Jakarta Timur.
“Ketika akhirnya bisa berjalan, Ibu drop lagi. Saya bilang, Ibu cuma tidak bisa jalan. Tapi yang lain tidak sakit. Tapi memang perlu waktu. Ada tindakan lain juga. Saya lebih intens bersama ibu. Saya pulang cepat. Saya tanya mau makan apa. Kalau ibu ingin sesuatu, secepatnya saya usahakan terpenuhi. Itu akhirnya bisa menaikkan mental lagi,” ujarnya.
Dhana mengakui, boleh dibilang ia over protective terhadap ibundanya. Saking inginnya sang ibu tetap nyaman dalam perjalanan, ia memilih membawa ibunya dengan ambulans untuk pulang pergi cuci darah meski sesungguhnya masih bisa duduk. Lagi-lagi dengan harapan ibunya akan lebih nyaman dan berkurang rasa sakitnya.
Ia sendiri yang menggendong Ibu dari ambulans ke tempat tidur dan sebaliknya. Ia juga dengan teliti menyiapkan sprei dan bantal sendiri untuk ibunya selama berada di ruang cuci darah yang berlangsung sekitar lima jam. Selama wawancara dengan Tarbawi pun, berkali-kali sempat terputus karena Dhana sibuk menggaruk dan mengusap bagian mana pun dari tubuh ibunya yang gatal, yang karena dalam posisi berbaring agak susah dilakukan sendiri oleh Ibu Sundari. Semuanya ia lakukan dengan lembut dan wajah cerah.
Kesyukuran dan Kesabaran
Kini sudah tiga belas tahun Dhana mengarungi hari-hari yang sepenuhnya ia persembahkan untuk Ibunya. Ia mengungkapkan dari seluruh kejadian yang ia alami, satu-satunya yang membuatnya stress dan sedih adalah ketika menyaksikan ibunya kesakitan. “Saya tidak tega melihat ibu sakit. Kalau bisa saya gantikan sakitnya, saya akan gantikan,” ujarnya.
Dhana mengakui, ia selalu meyakinkan dirinya sendiri, bahwa kondisi ibunya tidak menurun, dan karena itu , ia berharap Tuhan belum akan memanggil ibunya. “Secara fisik ya, dulu bisa berjalan sekarang tidak. Saya punya keyakinan, itu hanya masalah tulang saja. Tapi oragn-organnya selain ginjal baik. Saya selalu minta cek keseluruhan sebulan sekali,” ucapnya.
Menghabiskan belasan tahun mengabdi pada Ibu bukan berarti Dhana telah puas membahagiakan perempuan yang melahirkannya itu. Ia merasa masih ada keinginan Ibu yang belum bisa dipenuhinya, yaitu mendapatkan cucu dari Dhana yang telah menikah namun belum dikaruniai momongan.
Di mata Dhana, Ibu yang kini kerap digendongnya untuk dipindahkan dari tempat tidur ke tempat tidur yang lain tetap sosok yang luar biasa yang dicintai sekaligus dikaguminya. ia selalu teringat, ketika ayahnya wafat, ibunya begitu tabah, bahkan sempat mencoba berbisnis serta melakukan berbagai hal untuk melindungi masa depan kedua putranya, sebelum akhirnya jatuh sakit.
Selain tegar dan penuh cinta kepada kedua putranya, Dhana juga mengagumi kataatan Ibunya menjalankan ibadah. Meski sambil berbaring, ibunya tidak pernah putus shalat, bahkan mampu membaca Al Quran setiap hari. “Ibu punya energi untuk melakukan ibadah yang saya tidak miliki. Itu yang saya kagumi karena saya belum memiliki ketaatan seperti yang dimiliki Ibu. Itu mempengaruhi saya untuk dekat sama Allah. Saya seperti ini karena doa beliau,” tuturnya.
Dhana yakin, ia menjadi seperti sekarang ini, dimudahkan dalam banyak urusan kerja maupun lainnya, semua berkat da dari ibunya. “Saya merasa doanya itu luar biasa melindungi saya. Ridha Ibu itu nomor satu. Meski dalam kondisi sakit, berkah dari ridha Ibu tidak berubah. Misalnya sama Ibu sedang tidak enak, tegang, saya tidak berangkat ke kantor atau meninggalkan Ibu sebelum masalah clear. Ibu harus tertawa dulu atau tenang. paling tidak sudah bisa memaafkan saya, baru bisa enak berangkat kerja,” tandasnya.
Namun ia mengakui, bertambahnya usia memang ada hal-hal yang dia lakukan untuk melindungi ibunya. Bila dulu semasa kecil atau remaja dia sering menceritakan segala kesulitan pada Ibu, kini dia memilih untuk menyeleksi ketika hendak menceritakan masalahnya. “Kalau saya sednag ada masalah, paling saya bilang, doain ya, Bu. Saya hanya cerita detail untuk hal yang menyenangkan,” turutnya.
Berulangkali Dhana menyatakan rasa syukur karena ketika ibunya jatuh sakit belasan tahun sailam, ia menetapkan prinsip untuk menempatkan Ibu sebagai prioritas dalam hidupnya. “Say bersyukur karena telah mengambil langkah yang tepat. Kalau saya pilih masa depan, masa depan belum tentu dapat dan saya kehilangan sesuatu yang harusnya saya lakukan. Saya bersyukur, sangat bersyukur dengan kondisi seperti ini. Orang lain mungkin bilang kasihan, tapi saya bersyukur,” ujarnya.
Bagi Dhana, berlelah-lelah, dalam suka dan duka merawat Ibu, akhirnya membuahkan banyak pelajaran tentang kehidupan. Kesabaran, penerimaan, semua itu begitu dalam maknanya bagi Dhana. kesabaran pula lah, salah satu pelajaran berharga yang diakuinya turut memperbaiki kualitas dunia batinnya yang membuat nya merasa telah menjalani hidup penuh arti. Perjalanan hidup yang tak sekadar mengikuti proses biologis, namun juga menjadi perjalanan menuju pemahaman hakikat hidup dan juga hakikat mati.
disalin dari Majalah Tarbawi Edisi 164 Th.8/Ramadhan 1428 H/21 September 2007 M