Di Sisi Awan Aku Menunggui Hujan

Teringat serangkaian kisah yang menghampir di selasar pikiran. Satu–satu, kadang bertindih, berebut diungkap dengan ujung pena. Saat burung–burung Sriti mengantar hujan menyambangi muka bumi. Ada ceria, ada hati yang berduka. Ada tawa, ada mulut yang mencibir resah. Namun, yang pasti ada rahmat Tuhan yang sedang tercurah.

Suatu kali dalam sebuah perjalanan, ada hujan mengetuk-ngetuk atap kendaraan yang kutumpangi, mengusap-usap kaca mobilnya, lalu bertemu riang dengan titik-titik lainnya di tanah. Sekitaran perlahan memburam, hawa mendingin melawan polusi yang memanaskan dari segala kendaraan. Seseorang menceracau pada hujan.

“Aduh, mengapa hujan siang-siang seperti ini? Merepotkan saja!”

Orang tersebut nampak kesal. Ada dongkol yang memenuhi rongga dada. Egonya tidak rela jika hujan membersamainya memetik nafkah.

Padahal hujan hanyalah rahmat. Yang hanya sebagian mata yang jeli saja yang mampu melihatnya demikian. Selebihnya hujan sering terlihat semacam cara Tuhan menyusahkan umat manusia.

Mungkin jemuran menjadi begitu malas mentransfer kandungan airnya kala hujan menderas, kala udara meninggikan humiditas. Kita lantas mencela hujan yang tempias.

Mungkin sepatu kinclong semula, semacam gorengan yang dicocol ke sambal petis kemudian. Kotor oleh lumpur dari tanah yang dihajar air dari langit. Kita lalu bangkit memusuhi hujan dengat sengit.

Pohon tumbang, banjir bandang, air menenggelamkan ladang, penyakit tak luput datang. Hati yang mati hanya akan menyalahkan hujan, yang sesungguhnya hanya sepasukan langit yang ingin mengembalikan air yang telah menjenuh di angkasa. Karenanya, ada perimbangan yang nyata dalam sebuah siklus air di dunia. Dan bukankah ini hanyalah keadilan Yang Kuasa?

Mari sedikit memicingkan mata. Pada dedaunan yang bersepuh hijau setelah hujan berkali-kali membasuhnya. Pada tanah yang menutup setelah sebelumnya kerontang merengkah. Pada katak yang menyenandungkan puja puji setelah nyanyian hujan yang merintik. Pada penjual kacang yang ramai pembeli, yang tanpa hujan jualannya sering tak terbeli. Pada pemerintah yang bangga dengan rapat-rapatnya – oh, hasilnya masih belum mampu mewadahi dan mengelola air dariNya.

Terserak celah-celah untuk mengintip hakikat hujan. Ia adalah tantangan bagi manusia untuk mengukur sejauh mana kecanggihan kemanusiaannya, kecerdikan akalnya, dan kelapangan hatinya. Maka hujan adalah sebentuk cara yang mungkin tidak biasa untuk mengasah kualitas kehidupan seorang insan. Tinggal, dimana mata hati kita memandanginya dengan seksama tanpa bosan.

Maka selalulah membersamakan pikiran kebaikan pada hujan yang merintik di perjalanan para musafir. Maka akan terasalah rahmat dalam butir-butir dari gumpalan-gumpalan awan yang digembalakan angin. Hingga pada sebuah noktah, kita mengatakan “apa yang datang dari Tuhan adalah selalu yang terbaik bagi kita”.

Di sisi awan, aku menunggui hujan. Sebab, disinilah pelangi akan jatuh di sekujur badan.

Di sisi awan, aku, kamu menunggui hujan. Sebab, disini dada akan meluas lebih lapang.

Pun, seandainya duka mendera, maka tak akan ada yang tahu bahwa dalam gerimis, ada air mata kita yang tertumpah.

Oleh : Chifrul El Hamasah, Sidoarjo
Facebook