Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” (Al-An’aam: 61)
Kematian, masa depan yang kadang kita abaikan. Padahal ia pasti datangnya sebagaimana janji-Nya yang tidak mungkin diingkari. Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan kematian, itulah sebuah hukum alam sunnatullah bagi setiap makhluk yang telah terlahir di dunia.
Kita lebih sibuk memikirkan karir, pekerjaan, dan jabatan apa yang nanti akan kita peroleh dan duduki. Lebih sibuk memikirkan mobil apa yang akan kita kendarai walaupun sebenarnya menyetir pun kita belum bisa. Lebih sibuk memikirkan rumah yang akan kita tempati bersama dengan istri dan anak-anak, yang di dalamnya kita akan makan bersama berbagi cerita dan menikmati hidup yang hanya sekali ini. Namun betapa banyak yang menemui ajalnya sebelum impian-impian itu dia wujudkan, tanpa sempat memiliki mobil dan rumah idamannya.
Setiap tahun kita akan menyaksikan bagaimana para siswa di negeri ini ‘diteror’ dengan yang namanya UN. Ada yang menggambarkan UN bagaikan pertarungan hidup dan mati bagi seorang siswa, yang lain mengatakan UN adalah pertaruhan masa depan, jika gagal melewatinya maka siap-siap bernasib suram. Suara-suara seram itu semakin nyaring terdengar pada hari-hari menjelang dilaksanakannya UN, membuat perasaan para siswa semakin tidak karuan sekalipun sudah digelonggongi berbagai macam bimbel, kursus dari sekolah ataupun les privat. Memang tidak semua siswa keadaannya seperti itu, namun sebagain besar mengalami hal itu.
Perasaan tegang kian bertambah, berkali dan belipat setelah mendengar pelaksaan Ujian Nasional akan dimajukan tanggalnya. Khawatir dengan persiapan yang kian mepet sementara materi yang harus dikuasa dirasa masih bejibun. Para guru pun demikian tak kalah resah menyaksikan kegelisahan anak didiknya, akankah mereka akan dapat sukses lulus melewati UN ini.
Beberapa bulan lagi, 2 bulan lagi, 1 Bulan , 3 minggu lagi dan ternyata waktu pelaksanaanya semakin dekat, semakin giat pulalah persiapan yang dilakukan teman-temanku. Namun tanpa disangka, datanglah kabar dan satu lagi tanda kemahakuasaan-Nya terlihat dihadapan kami, kembali Dia tepai janji-Nya.
Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (al-Jumu’ah: 62)
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, salah seorang teman kami meninggal dunia di tengah perjuangannya menuntut ilmu. Aku pun tersadar bahwasanya ada yang lebih dekat dari apa UN yang selama ini begitu meresahkan teman-temanku, yang menjadikan mereka memporsir banyak tenaganya untuk menghadapinya. Akan tetapi, kita kadang, bukan kadang tapi sering sekali lalai mempersiapkan diri menghadapi peristiwa yang sangat dekat dengan kita, yang tak bertanggal dan tak berbulan yang pasti kita ketahui seperti jadwal pelaksanaan ujian. Ia tak akan disegerakan atau pun ditunda waktunya, ia akan dating menemui kita semua tepat pada waktunya. “Tiap-tiap umat itu mempunyai ajalnya, dan apabila telah tiba ajalnya, tidak akan diakhirkan walau sesat dan tidak pula disegerakan.”
Tentu kita tidak meragukan kematian itu sendiri, bahkan seorang yang katanya tidak bertuhan sekalipun tidak akan bisa menyangkal akan kebenaran datangnya kematian ini. Hanya saja acap kali kita berusaha untuk menghindarinya dan melupakannya dari kehidupan kita. Sebagian kita bahkan kadang agak tendesius ketika berbicara tentang kematian, dia berujar ‘gw masih muda malas bahas gituan.’ Padahal membahasnya tidak akan mengurangi usia kita, begitu juga sebaliknya mengacuhkannya pun tak akan menambah jatah yang telah diberikan Pencipta kepada seorang hamba.
Ada lagi yang bergumam, ‘gw masih pingin mewujudkan mimpi-mimpi gw, lu ngga usah deh ngomongin kematian yang bakal bikin gw ciut.’ Mungkin mereka yang berkata seperti ini lupa bahwa betapa banyak kematian yang mendahului dan memutus berbagai cita seseorang sebagaimana cerita di atas. Yang mesti kita sadari mengingat kematian bukanlah untuk menjadikan cita kita rendah dan pendek, sebaliknya dengan mengingat kematian seharusnya cita dan impian kita akan tinggi menjulang sampai kepada kehidupan akhirat, tidak sebatas kehidupan dunia yang sementara ini.
Saya mempunyai teman. Dulu dia adalah seorang yang sering lalai shalat,dan beribadah. Suatu ketika, dia membaca artikel berjudul Hikmah Kematian yang ditulis oleh Harun Yahya. Awalnya dia hanya iseng karena tertarik dengan si judul. Setelah membaca artikel itu, dia kemudian bertekad untuk bangkit merajut visi dan mimpi indah dengan bertaubat setelah berbulan terserang galau akut. Dia merasa kematian sangat dekat dengannya, sedang dia adalah orang yang lalai. Dan karena itu, dia pun semakin rajin untuk beribadah berusaha mendapat ridloNya.
Siapa yang rela hidupnya yang hanya sekali akan disiakan? Siapa yang rela kehidupan abadi di akhirat hanya untuk menemani syetan?
Dari Imran bin Khayyath berkata, “Kami menjenguk Ibrahim An-Nakha’I rahimahullah sdangkan saat itu dia tengah menangis, lalu kami bertanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Imran?” Beliau menjawab,”Aku sedang menanti kedatangan malaikat maut, namun aku tidak tahu apakah dia akan memberi kabar gembira dengan surga atau neraka?.” (Ensiklopedi Hikmah, 170)
Maka kematian merupakan bagian penting dalam perencanaan masa depan yang akan kita bangun. Merancang seni kematian sama pentingnya dengan melakoni peran di panggung kehidupan dunia, bahkan mungkin lebih penting karena kematian adalah gerbang menuju kehidupan akhirat yang abadi. Kita hanya dapat merancang sedang otoritas perealisasiannya adalah hak Allah, tentu dengan tetap mengharap dengan amat sangat disaat waktunya tiba kita dapat menghadap kepada-Nya dengan membawa iman dan takwa di dada, dimatikan secara husnul khatimah dan dikarunia syahid sebagai seni kematian tertinggi.
Mengingat kematian seharusnya akan membuat kita bergerak melangkahkan kaki ke jalan yang diridhai-Nya, jalan yang menuntut pengorbanan segala yang kita miliki sebelum tubuh kaku tak dapat lagi melakukan apa-apa. Memikirkan kematian akan mengingatkan kita pada usia, bahwasanya umur bukanlah ukuran dekatnya ajal, yang tua tak selalu mendahului yang muda, pun demikian tak jarang yang muda pulang lebih awal dari yang renta.
Kematian tak kenal ganteng atau cantik maupun jelek. Misal Puteri Diana, walau cantik dan masih muda, tetap saja meninggal. Dan kemarin-kemarin baru saja saya mendapatkan sebuah tulisan, kalau keadaan kita saat meninggal adalah kebiasaan kita di dunia. Misal, si A suka mendengarkan musik, pas meninggal pun seperti itu. Si B suka melantuntkan ayat suci Al Qur’an, pas meninggal pun seperti itu. Seperti Almarhum Pak Wamen kemarin, beliau dikenal biasa naik gunung, dan meninggal pas naik gunung.
“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan (yaitu kematian)” [HR Ibnu Majah, no. 4.258; Tirmidzi; Nasai; Ahmad].
“Barangsiapa yang menjadikan kematian dalam pikirannya, maka ia tak peduli dengan kesemitan dan keluasan dunia.” (Syamith bin ‘Ajalan)
“Kapan aku mati?”, “Bekal apa yang telah kupersiapkan?”, “Bagaimana agar aku selalu siap menghadapi kematian yang ternyata dekat?”
Persiapkanlah mulai dari sekarang. . Karena tidak ada seorang pun yang bisa menjamin kita akan tetap hidup satu jam ke depan, besok, lusa ataupun setelah membaca tulisan ini!
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (al-Fajr: 27-28)
wallaahu a’lam bis shawwab
Oleh: @riyanjaya
Mahasiswa STEI Tazkia