Dialog Akal dan Nafsu dengan Allah

Jauh sebelum diciptakannya nabi Adam as, Allah telah menciptakan akal dan nafsu. Setelah akal dan nafsu diciptakan, mereka dipanggil untuk menghadap Allah, terjadilah dialog diantara mereka

Allah : Wahai akal siapakah kamu dan siapakah aku?
Akal : aku adalah ciptaanmu, makhlukmu. Engkau adalah penciptaku, Rabb sekalian alam

Tiba giliran nafsu ditanya dengan pertanyaan yang sama seperti akal

Allah : Wahai nafsu siapakah kamu dan siapakah aku?
Nafsu : Aku adalah aku, kamu adalah kamu

Disebabkan jawaban nafsu tersebut, nafsu kemudian dimasukkan ke dalam neraka selama 100 hari. Setelah 100 hari. Ditanya kembali oleh Allah dengan pertanyaan yang sama.

Allah : Wahai nafsu siapakah kamu dan siapakah aku?
Nafsu : Aku adalah aku dan engkau adalah engkau

Dijawab dengan jawaban yang sama sehingga nafsu kembali dimasukkan ke dalam neraka selama 100 hari lagi. Setelah berlalu 100 hari ditanya kembali.

Allah : Wahai nafsu siapakah kamu dan siapakah aku?
Nafus : Aku adalah aku dan kamu adalah kamu

Tak jera juga rupanya nafsu menjawab dengan jawaban yang sama. Kini, nafsu dimasukkan kembali ke dalam neraka selama 100 hari tetapi neraka yang berbeda dari sebelumnya yakni neraka lapar.

Selang waktu berlalu selama 100 hari. Tiba waktu ditanya kembali nafsu oleh Allah.

Allah : Wahai nafsu siapakah kamu dan siapakah aku?
Nafsu : Aku adalah ciptaanmu, Engkau adalah penciptaku

Akhirnya, nafsu mengakui juga bahwa dia adalah ciptaan-Nya walaupun sebelumnya harus mengikuti ego yang kuat tak mau mengakui keberadaan Sang Pencipta. Tetapi, setelah dimasukkan ke dalam neraka lapar, nafsu tersadar dan mengakui bahwa dia adalah ciptaan Allah dan Allah adalan peciptanya.

Begitulah wataknya nafsu sejak diciptakan, memiliki ego yang tinggi dengan keakuan yang tinggi pula sehingga berani menentang apa yang dikatakan oleh Allah. Sama halnya, seperti yang terjadi disekitar kita. Orang-orang yang menuruti hawa nafsunya tentu dia akan melanggar apapun yang telah dilarang oleh Allah untuknya. Sedangkan orang-orang yang bisa mengendalikan nafsu dan akalnya berfungsi secara sehat, dia akan mematuhi segala perintah dan menjauhi semua larangan dari Allah.

Puasa merupakan salah satu cara untuk menjinakkan nafsu yang begitu besar ego dan keakuan akan dirinya tanpa mengenal Sang Pencipta. Puasa inilah yang akan menjadi sarana bagi manusia untuk semakin mendekati diri dan meningkatkan amal ibadah yang ditujukan kepada Allah.

Lewat puasa, manusia diajarkan untuk mampu mengontrol dan mengendalikan nafsu. Tak boleh makan, tak boleh minum, berhubungan suami isteri dan larangan lainnya sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari.

Dengan berpuasa secara tidak langsung manusia telah masukkan nafsu ke dalam neraka lapar sebab tak ada satu pun makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh manusia ketika sedang menjalankan ibadah puasa.

Hasil akhir yang diharapkan pun sama seperti kejadian yang dialami nafsu pasca awal diciptakan agar sang diri yang memiliki nafsu tersebut mau mengakui akan beradaan Sang Pencipta dan senantiasa menyembah-Nya.

Jika diibaratkan hewan, nafsu adalah hewan yang sangat liar. Maka, dari itu manusia diminta untuk memberikan ‘tali kekang’ agar nafsu di dalam dirinya tidak liar kesana-kemari dan manusia pun bisa mengendalikannya.

Di dalam tafsir Al-Azhar mahakarya dari Buya Hamka pada surah Al-Fajr, dijelaskan bahwa nafsu terbagi menjadi tiga tingkatan yakni Nafsul Ammarah, nafsu yang selalu mendorong agar berbuat sesuatu diluar petimbangan akal yang tenang. Manusia banyak yang terjerumus ke dalam lembah kesesatan akibat mengikut nafsu yang satu ini.

Setelah mengikuti Nafsul Ammarah timbullah rasa penyesalan diri. Inilah yang disebut dengan Nafsul Lawwamah. Kita lebih mengenalnya di dalam keseharian dengan istilah tekanan batin atau merasa berdosa.

Dari pengalaman dua tingkatan nafsu tersebut yakni Nafsul Ammarah dan Nafsul Lawwamah, maka manusia mampu mencapai tingkatan Nafsul Muthmainnah yakni jiwa yang mencapai tenang dan tentram akibat digambleng terlebih dahulu oleh penderitaan dan pengalaman.

Jiwa yang telah melalui banyak jalan berliku sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki sebab yakin setelah pendakian pasti ada penurunan. Setelah itu, tidak gembira melonjak kembali ketika penurunan sebab setelah penurunan pasti ada pendakian kembali. Itulah yang disebut jiwa yang telah mencapai iman disebabkan oleh kematangan disaat ditimpa berbagai percobaan.

Jiwa inilah yang akan menjadi dua sayap dalam kehidupan manusia yakni syukur ketika mendapatkan kenikmatan dari Allah dan bersabar ketika memperoleh cobaan dari-Nya.

Semoga dengan berpuasa, kita dapat menjadikan akal sebagai imam nafsu agar mudah mengendalikan dan mengontrol nafsu tetap berada di jalan Allah dengan melaksanakan berbagai kebaikan dan amal ibadah di dalam aktivitas sehari-hari.

Bukan sebaliknya, nafsu yang menjadi imam akal. Maka, hidup manusia akan tanpa arah dan tak jelas jika hanya mengimami nafsu yang pada hakikatnya banyak menjerumuskan manusia ke lembah kenistaan dan semakin menjauhkan manusia kepada Sang Kholiq.