Diam, Anak Tangga Surga yang Terlupakan

Dewasa ini, saat arus informasi telah dibuka lebar-lebar palangnya, berita bisa diakses dengan sebegitu mudah dan sebegitu murahnya, maka ada satu adab dan akhlak yang justru semakin sulit kita temukan dan menjadi barang yang sangat mahal. Barang yang langka dan mulai punah itu adalah diam.

Di era ini, setiap orang seolah dituntut untuk berlomba-lomba menjadi yang tercepat dalam merespon suatu informasi dan berita. Seandainya dia mempunyai ilmu dan tahu duduk perkaranya, maka hal itu merupakan kewajaran dan kebaikan. Tetapi lihat saja di kolom komentar, jauh lebih banyak yang ‘sok tahu’ dari pada yang benar-benar tahu. Lebih banyak yang ‘asal bunyi’ dari pada yang perkataannya benar-benar pantas untuk didengarkan. Seolah-olah mereka khawatir tidak kebagian pertamax, keduax, atau takut dianggap tidak eksis jika tidak memunculkan namanya di thread-thread yang sedang memanas dan menghangat pada halaman-halaman pertama. Tidak heran, baru beberapa menit suatu berita ‘menarik’ diturunkan, maka ratusan komen langsung bermunculan, lebih cepat ribuan kali daripada tumbuhnya jamur di musim penghujan.

Sebagai seorang muslim kita harus berhati-hati menghadapi fenomena ini. Keterbukaan informasi dan cepatnya berita tersebar dalam satu sisi adalah kebaikan, namun di sisi lain dia adalah mata pisau tajam yang mengancam. Karena tuntutan real time, sering kali menjadikan para informan dan juga kita tergesa-gesa dalam menyampaikan berita sehingga kita tidak memberikan waktu yang cukup untuk menggali fakta yang sebenarnya dan mencari tahu lebih lanjut duduk perkaranya. Sungguh hal ini bukanlah permasalahan yang sepele. Kondisi ini adalah bencana yang sangat besar, karena kesempatan kita untuk dapat meraih surgalah yang dipertaruhkan.

Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat” (HR. Bukhari, Muslim)

Kebermanfaatan perkataan yang terucap dari lisan kita (dimana tulisan juga tercakup dalam makna ini) menjadi tolak ukur keselamatan kita di akhirat nanti. Tapi tentu saja, kebermanfaatan ini tidak bisa diukur dengan parameter kepentingan dan keuntungan pribadi/kelompok tetapi parameternya adalah kepentingan umat dan masyarakat secara luas. Dari hadist itu bisa disimpulkan bahwa kebenaran perkataan tidak menjadi satu-satunya ‘rukun’ untuk melegalisasi suatu perkataan itu pantas diucapkan dan disebarkan ke publik. Suatu fakta yang akan memberikan dampak negatif maka lebih baik tetap disimpan. Lah apalagi jika sesuatu itu masih berupa dugaan/prasangka, maka para pewarta harus jauh lebih berhati-hati dalam memilih kalimat penyampaian agar hal yang berupa praduga tadi tidak dianggap sebagai fakta oleh para pembacanya. Sehingga fenomena lanjutan yang ditimbulkan adalah maraknya ghibah, fitnah, caci maki, adu domba, dan perkataan dusta, yang ancaman azabnya jauh lebih berat lagi.

“Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.  Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An-Nuur: 14-15)

Ayat tersebut turun berkaitan dengan haditsul ifky yang menimpa Ummul Mukminin ‘Aisyah. Ayat tersebut sangatlah penting untuk kita pegang kuat-kuat pada zaman kita ini, di mana kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapat telah lazim digunakan secara menyimpang oleh banyak kaum muslimin, dengan meninggalkan adab dan akhlaq yang telah diatur oleh Allah melalui Rasul-Nya. Banyak sekali ayat maupun hadist selain ayat di atas yang mewanti-wanti agar kita berhati-hati terhadap perkataan kita karena kedahsyatan bahayanya.

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. Al-Ahzab : 58)

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Israa : 36)

“Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah), serta menyia-nyiakan harta” (HR. Muslim)

Lalu amal apa yang dapat menjadi obat bagi penyakit ini? Salah satu obat termanjurnya adalah dengan diam. Diam merupakan anak tangga penyelamat menuju surga dan ridha-Nya. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam penjelasan tentang hadist tiga perkara yang diriwayatkan oleh Muslim di atas, Imam Nawawi berkomentar, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits tersebut adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara”.

Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.

Diam adalah tradisi para ulama shalafush shalih. Karena dengan diam dapat lebih menjaga kebeningan hati dan menunjukkan kedalaman ilmu. Kita pasti sudah sangat familiar dengan istilah ‘tawaquf’ dalam khasanah keilmuan islam.  Ada tawaquf dalam penentuan jarh wa ta’dil periwayat hadist, ada tawaquf dalam ta’arud al adillah suatu nash atau hadist, dan masih banyak tawaquf-tawaquf di bidang-bidang keilmuan yang lain. Hal itu dilakukan karena dengan tawaquf (membiarkan, berhenti, menunda) maka akan lebih membawa keselamatan. Karena ilmu tidak bisa didapat dengan praduga. Ilmu harus dengan pembuktian dan dalil yang kuat. Begitu pula dengan berpendapat. Lebih baik kita diam, dari pada mengatakan sesuatu yang tidak membawa kebaikan apalagi jika perkataan kita hanya berdasarkan pada pendapat pribadi yang jauh dari sifat kehati-hatian dan keadilan dalam melakukan penilaian.

Jika ada suatu konten berita yang menimbulkan pro-kontra apalagi jika yang dipertaruhkan adalah nama baik seseorang, maka jangan cepat berkomentar. Pikirkan dulu matang-matang, apakah Anda benar-benar tahu duduk perkaranya? Apakah komentar Anda akan berdampak baik bagi umat? Apakah Anda mengenal dengan baik oknum yang diberitakan? Jika yang akan Anda katakan hanya berdasar pendapat pribadi yang jauh dari kebenaran, maka lebih baik diamlah karena dalam diam itulah terletak surga. Hal ini berlaku untuk siapa saja, baik oknum yang diberitakan itu kawan maupun lawan Anda. Jika dia kawan maka jangan semerta-merta membela dengan membabi buta. Jika dia lawan jangan juga langsung menghakimi dan menghujat tanpa adab. Bersikap adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan diamlah, karena pada kondisi tanpa pengetahuan diam lebih dekat pada keadilan.

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah : 8)

Allahu a’lam bish-shawwab.

Oleh: Shabra Shatila