Diharamkan menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu dan berbicara tentang makna-maknanya bagi siapa yang bukan ahlinya. Banyak hadits berkenaan dengan perkara tersebut dan ijmak berlaku atasnya.
Sedangkan penafsirannya oleh ulama, itu sesuatu yang diharuskan dan baik. Dan ijmak telah menetapkan atas hal itu. Maka siapa yang ahli menafsirkan dan mempunyai alat-alat untuk mengetahui maknanya dan benar sangkaannya terhadap apa yang dimaksud, dia pun bisa menafsirkannya jika dapat diketahui dengan ijtihad. Seperti makna-makna dan hukum-hukum yang terang ataupun yang samar, tentang keumuman dan kekhususan serta i’rab dan lainnya.
Kalau tidak dapat diketahui maknanya dengan ijtihad seperti perkaraperkara yang jalannya adalah menukil dan menafsirkan lafaz-lafaz bahasa, maka tidak bisa berbicara berkenaang dengannya. Kecuali dengan nukilan yang sahih oleh ahlinya yang dapat diambil kira. Sementara orang yang bukan ahlinya karena tidak mempunyai alat-alatnya, maka haramlah atasnya menafsirkan maknanya. Bagaimanapun dia bisa menukil tafsirnya dari ahlinya yang layak.
Kemudian, orang-orang yang menafsirkan dengan pendapat mereka tanpa dalil yang sahih ada beberapa golongan.
- Di antara mereka ada yang berhujah dengan ayat untuk membenarkan madzhabnya dan menguatkan pikirannya, meskipun tidak benar sangkaannya bahwa itulah yang dimaksud dengan ayat itu. Dia hanya ingin mengalahkan lawannya.
- Ada yang ingin menyeru kepada kebaikan dan berhujah dengan suatu ayat tanpa mengetahui petunjuk atas apa yang dikatakannya.
- Bahkan ada yang menafsirkan lafaz-lafaz Arabnya tanpa memahami makna-makna dari ahlinya, padahal hal itu tidak bisa diambil kecuali dengan mendengar dari ahli bahasa Arab dan ahli tafsir, seperti penjelasan makna. Lafaz dan i’rabnya, hadzaf, ringkasan, idhmaar, hakekat dan majaz, keumuman dan kekhususan, ijmaal dan bayan, pendahuluan dan pengakhiran dan sebagainya dari hal-hal yang berbeda dengan zahirnya.
Disamping itu tidak cukup mengetahui bahasa Arab saja, tetapi mesti menmgetahui apa yang dikatakan oleh ahli tafsir berkenaan dengannya. Kadang-kadang mereka bersepakat untuk meninggalkan zahirnya atau mendatangkan kekususannya atau yang idhmaar dan sebagainya dari sesuatu yang berbeda dengan zahirnya.
Apabila lafaznya mempunyai beberapa makna, kemudian dia mengetahui di suatu tempat bahwa yang dimaksud adalah salah satu makna dari beberapa makna yang dimaksudnya. Kemudian dia menafsirkan dengan apa yang datang kepadanya, maka ini semua adalah tafsir menurut pendapatnya (tafsir bir ra’yi) dan hukumnya haram.
Wallahua’lam.
Imam An Nawawi