Pake baju apa ya hari ini? Begitu kira-kira yang terlintas otomatis di pikiran kita setiap hari. Lintasan pertanyaan seperti itu mungkin bukan hanya bagi mereka yang mementingkan penampilan saja, bagi yang sembrono sekalipun. Perbedaannya hanya pada pilihan yang dibuat. Yang dandy akan selalu tampil rapi, matching, dengan padu padan yang pas dan sempurna. Sedang yang lain mungkin tidak terlalu peduli.
Pakaian, sedikit banyak akan menggambarkan identitas pemakainya. Seperti apa seseorang akan nampak tercermin dari pakaian yang melekat di tubuhnya meski tidak mewakili keseluruhan. Namun itulah yang akan dinilai pertama kali oleh orang yang melihat. Terlebih lagi untuk seorang muslimah. Memilih baju tentu bukan sekedar yang disuka. Ada norma kepantasan mutlak yang dituntunkan, langsung dari langit.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita..” (QS. An-Nuur : 31).
Saat ini memang tak lagi seperti era tahun 80-an atau awal 90-an. Dimana berkerudung menjadi sebuah perjuangan yang sangat berat. Ditentang, dipersulit, didiskriminasi. Jaman sudah berubah, sekarang telah ada begitu banyak kemudahan. Tak perlu lagi khawatir ancaman guru untuk tidak memasang foto berkerudung di ijazah. Tak perlu khawatir tidak lolos wawancara kerja karena berjilbab. Alhamdulillah, semua serba mudah. Bahkan berjilbab pun tidak lagi menjadi ancaman penghalang untuk berpenampilan modis. Ada banyak pilihan model, warna, dan gaya, sehingga muslimah tidak perlu takut terlihat jadul dan ngga gaul. Namun, amat disayangkan, segala kemudahan itu tidak kemudian dibarengi dengan penanaman pemahaman yang benar. Jilbab yang fitrahnya sebagai penutup aurat, malahan diselewengkan hanya sekedar sebagai ‘alat’ pemercantik diri. Berapa banyak saudari kita yang berjilbab namun penampilannya masih tak kalah seksi dengan para penyanyi dangdut? MasyaAllah.. Atas nama mode, ukuran syar’i telah dipangkas dan dimodifikasi. Sehingga muslimah sekarang cenderung bukan berjilbab, namun sekedar ‘menutup kepala’.
Dalam hal ini, saya tidak dapat menyalahkan, meskipun juga tidak membenarkan. Saat ini godaan untuk tidak berjilbab begitu luar biasa. Pun bahkan hanya untuk berkerudung yang sekedarnya. Perang pemikiran yang dilakukan musuh-musuh Islam sudah demikian hebatnya. Banyak sekali cara yang dilakukan oleh pihak yang sangat tidak ingin Islam menjadi jalan hidup umatnya. Proses cuci otak itu berlangsung demikian terstruktur dan halus. Hingga sebagian besar muslimah termasuk yang ada di negeri ini, bahkan tidak sadar bahwa berjilbab itu adalah suatu kewajiban syariat. Sebagaimana wajibnya shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan kewajiban-kewajiban lain yang melekat dalam Islam. Karena Islam itu integral. Menyeluruh. Syamil wa mutakamil.
“Hai orang-orang yang beriman! masuklah ke dalam islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syetan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah : 208)
Bagi beberapa orang, pilihan untuk berjilbab mungkin sesuatu yang mudah, karena bisa jadi sudah dibiasakan dan dipahamkan oleh orang tua sejak kecil. Namun bagi sebagian lainnya, untuk memutuskan berjilbab dibutuhkan keberanian dan perjuangan yang berat. Ada begitu banyak pertimbangan, terlebih pandangan bahwa merasa dirinya belum baik, sehingga belum pantas berjilbab. Satu pemahaman yang sengaja dihembuskan agar kita ragu-ragu. Agar kita menunda untuk berjilbab. Padahal sungguh, setiap muslimah itu memang sudah sepantasnya berjilbab. Karena berjilbab itu adalah bentuk penghormatan yang diberikan Allah kepada kita. Yang tidak diberikan kepada wanita manapun selain kita. Ya, hanya kita. Karena kita makhluk spesial.
Salah satu lingkungan yang dapat mendukung proses berjilbab adalah kampus. Pada beberapa kampus, dakwah bisa begitu berkembang dengan mudah. Di lingkungan kampus yang cenderung homogen, sosialisasi untuk berpakaian syar’i dilakukan terus-menerus. Baik melalui kajian-kajian ataupun melalui pendekatan personal. Sehingga peningkatan pemahaman sekaligus keistiqomahan itu tidak terlalu sulit untuk dipertahankan para aktivis dakwah di dalamnya akan selalu siap untuk saling mendukung dan mengingatkan. Satu hal kecil, seperti lupa memakai kaos kaki setelah wudhu akan segera membuat rekan-rekan seperjuangan mengernyitkan keningnya sehingga yang terlupa segera tersadar. Namun selepas dari kampus, ketiadaan rekan dan partner dalam kebaikan bisa jadi sangat berperan untuk menggoyahkan keistiqomahan. Sehingga terkadang tidak lagi dianggap sebagai hal yang aneh ketika kemantapan untuk berpakaian syar’i menjadi timbul tenggelam. Bahkan kemudian padam.
Sebenarnya urusan pakaian ini tidak lagi layak untuk diperbincangkan bagi mereka yang telah mengerti dan telah diberi pemahaman ilmu syar’i yang mencukupi. Allah sudah begitu jelas memberikan batasan, bagian mana yang harus ditutup, bagian mana yang boleh diperlihatkan. Semua sudah jelas. Namun, tidak dapat dihindari masih ada beberapa rekan kita yang dulu terlihat begitu anggun dengan jilbab yang berkibar-kibar kemudian melepaskan satu-persatu atribut kemuslimahannya. Mengecilkan ukuran jilbabnya sampai batas tidak syar’i dan kembali pada penampilan yang sama seperti sebelum paham tentang batasan menutup aurat.
Memang ada yang berpendapat, meskipun jilbabnya kecil asal tetap syar’i tidak apa-apa, toh dalam berda’wah kita memang harus berbaur, agar tidak dipandang fanatik dan akhirnya menjauhkan kita dari objek da’wah. Baiklah, ketika niatnya dan kondisinya seperti itu, semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan baginya dan usahanya dalam berdakwah. Namun bagi yang kemudian hanya (asal) tetap berkerudung, waduh!! Dengan tidak menanggalkan prasangka baik, saya pikir tindakan tersebut tidak serta-merta dapat dimaklumi. Bagi mereka yang baru berhijab, mungkin tidak apa-apa, karena pemahamannya belum utuh dan perbaikan serta peningkatan itu akan terus berlanjut, Insya Allah. Namun untuk para aktivis da’wah, rasanya kok menyedihkan. Dimana ghirah yang dulu senantiasa meletup, dimana janji-janjinya untuk senantiasa setia memegang agama?
Masa-masa dakwah di kampus idealnya dapat membekali seluruh aktivis dan kadernya minimal untuk dapat bertahan ketika terpaksa sendiri di dunia luar. Atau lebih jauh membuat mereka mampu, tidak hanya untuk bertahan tapi juga mewarnai lingkungan sekitarnya. Ibaratnya seperti tanaman, di kampus adalah waktu dimana benih ditanam ke dalam polly bag, ditempatkan di bawah tempat teduh, diberi air dan pupuk dengan takaran yang sesuai. Cukup untuk membuatnya dapat ditanam di tanah yang sebenarnya, tumbuh membesar, berbuah atau kalau tidak berbuah setidaknya membuat tempatnya tumbuh menjadi teduh dan sejuk.
Saya tidak sedang menghakimi. Tidak, sekali-kali tidak. Saya hanya sedang bertanya-tanya, apa yang salah? Dimana yang salah? Kefuturan saudari seperjuangan tetap saja menggores luka di hati. Meskipun sudah merupakan sunatullah, ketika ada yang datang dan pasti ada yang pergi.
Yah, pastinya ukuran jilbab dan cara berpakaian tidak dapat digunakan untuk mengukur kadar keimanan seseorang, tidak dapat menunjukkan kedudukan mereka di sisi Allah. Bisa jadi Allah menganugerahkan kebaikan yang besar untuk mereka, bahkan sangat mungkin jiwa mereka lebih mulia daripada akhwat yang jilbabnya melambai-lambai saking besarnya. Namun sembari tidak berhenti berdoa dan berharap mereka akan kembali, saya hanya dapat menyerahkan pilihan tersebut ke tangan mereka. Karena bagaimanapun inginnya saya, diri mereka tetaplah milik mereka. Sedang hati mereka ada dalam genggaman-Nya. Maka hanya doa tulus yang bisa saya panjatkan, agar Ia berkenan mengembalikan hidayah yang pernah bersemayam indah dalam dada saudari saya semuanya. Kita memang punya hak memilih Saudariku, namun kita pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas pilihan-pilihan itu kelak di hadapan-Nya
‘Maka Dia mengilhamkan kepada jiwa (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams : 8-10)
Tri Susio R, Jakarta