Disiplin, Benarkah Hanya untuk Anak?

Kata disiplin berasal dari bahasa Latin, discipulus, yang berarti “pembelajar”. Jadi disiplin itu sebenarnya difokuskan pada pengajaran. Bagi orang tua kebanyakan, seorang anak adalah murid dari para orang tuanya, sehingga mereka dibiasakan untuk dapat mematuhi apa yang disampaikan oleh orang tua.

Pada masa kini, rata-rata orang tua menerapkan hukuman sebagai metode untuk mendisiplinkan anak mereka. Terdapat berbagai macam hukuman yang diberikan orang tua kepada anak. Ada hukuman yang dapat memberikan dampak positif, namun ada juga yang dapat memberikan dampak negatif. Tidak semua hukuman patut dan dapat digunakan dalam mendidik anak.

Sebenarnya hukuman dan disiplin adalah dua hal yang berbeda. Hukuman biasanya diterapkan melalui cara ‘memaksa’ secara emosional atau bahkan ada yang sampai menggunakan kekerasan. Hukuman mungkin bisa diterapkan saat ini untuk meniadakan perilaku anak yang kurang baik atau tidak diinginkan, tapi hukuman tidak menjamin bahwa perilaku tersebut tidak akan muncul di kemudian hari.

Sementara disiplin seperti definisinya adalah suatu pengajaran, anak diajarkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Pada pelaksanaannya biarkan anak memilih sendiri apa yang menjadi pilihannya dalam bertindak agar ia pun ‘belajar’ mengenai akibat dari perbuatannya sendiri.

Dalam menerapkan kedisiplinan pada anak, ada banyak hal yang harusnya dilakukan orang tua yang bersifat positif. Melatih anak disiplin berarti menjaga komunikasi yang baik dan sehat dengan anak, memantau perkembangan anak dari waktu ke waktu, dan mungkin bisa membuat semacam ‘peraturan kecil’ mengenai batasan perilaku anak. Misalnya, kita berkata pada anak “kamu harus sopan”, tanpa kita menjelaskan seperti apa yang dimaksud dengan sopan tersebut dan apa batasannya suatu perilaku dikatakan sopan dan tidak sopan.

Ketika orang tua menetapkan ‘peraturan kecil’ yang ditetapkan pada anak pun harus disesuaikan dengan kemampuan anak. Terkadang orang tua tidak adil dalam menerapkan peraturan. Misalnya, ketika sakit tidak boleh makan-makanan yang dilarang oleh dokter. Ketika anak sakit demam, maka orang tua akan melarang mereka makan ice cream. Lalu, pada saat bersamaan orang tua pun sedang sakit batuk namun orang tuanya makan gorengan. Anak mungkin ada yang langsung merespon “Ayah kan lagi batuk, kenapa makan gorengan? Kan ngga boleh?”. Kebanyakan orang tua akan menanggapi dengan alasan yang membuat anak akhirnya menerima bahwa hal tersebut tidak salah. Ketika anak melanggar hal tersebut maka orang tua akan menilai bahwa perilaku tersebut salah, tapi ketika orang tua yang melanggarnya, mereka memiliki beragam alasan yang menurut mereka masuk akal dan mau tidak mau anak harus menerima bahwa orang tuanya tidak salah. Anak seolah dipaksa untuk mengerti dan memahami orang tuanya tanpa mempertimbangkan kemampuan anak itu sendiri.

Contoh lainnya, anak dilarang menonton televisi hingga larut malam. Tetapi orang tuanya justru mencontohkan hal tersbut. Maka anak akan bertanya-tanya dalam benaknya, kenapa orang tua boleh sementara ia tidak. Di dalam rumah, anak belajar dari orang tuanya. Mereka akan melihat hubungan sebab akibat yang muncul, misalnya ketika mereka salah mereka akan dihukum dengan dimarahi. Secara tidak langsung, hal tersebut akan diterjemahkan oleh anak dalam pikirannya sendiri. Jika tidak ada penjelasan dari orang tua, maka jangan heran atau kaget jika suatu hari nanti anak akan marah ketika ia menganggap sesuatu salah atau tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Kalau ada penerapan disiplin pada anak-anak, mungkin dibutuhkan pula penerapan disiplin pada orang tua.

Oleh: Eka Hertika Rizky, Bandung
FacebookTwitterBlog