Jumat lalu, 31 maret, seusai tilawah dan menemukan satu ayat yang menarik, aku menuliskan status ini:
Harta & anak memang berharga, tapi kadang bisa menjadi batu ujian & fitnah jika kita tak waspada. Pada harta kita seharian mengejarnya, pada anak kita banyak berharap akan hari depannya, tapi tetap amal shalih yg kontinyu itu jauh lbh utama & lebih pantas sebagai tumpuan harapan.
Al-maalu wal banuuna zinatul hayaatiddun-ya. Selengkapnya, ayat tersebut artinya begini:
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
Sehari kemudian, sabtu siang, aku menulis status lagi, masih berkaitan dengan harta. Tentang galaunya rasa hatiku sendiri.
Tertatih menggapai kebaikan, saat syaratnya adalah mampu memberikan apa yg kucintai. Selama ini, aku baru belajar berbuat baik. Rabbi, mampukan.
Lantana lul birro hatta tunfiquu mimma tuhibbun
Itu adalah bunyi awal juz 4 atau surat Ali Imran 92.
Ajaib! Tadi malam, Allah langsung memberikan kesempatan padaku untuk ‘berlatih’. Tentang harta.
Ya. Beberapa waktu lalu dengan yakin kami ingin melepas rumah seluas 140m2 di tengah ibukota pada seseorang yang kami harapkan dapat memetik manfaat optimal dari rumah itu. Seorang anak muda yang kini sudah memiliki keluarga kecil sendiri. Tapi dia memiliki ibu yang sudah janda, dan rumah itu dekat sekali dengan rumah ibunya. Oleh karena dia merasa belum terlalu mampu membeli dengan harga sewajarnya, kami lepas dengan harga sangat miring, hanya 75% dari NJOP. Itupun dibayar dengan tunai berjangka 2 tahun.
Lalu, godaan itu datang.
Pertama, saat mengambil slip PBB tahun ini. Ternyata NJOP dari rumah tersebut meningkat drastis, sehingga kalau dihitung2, harga yang akan kami lepas itu hanya 66% dari NJOP.
“Wajar gak sih, Mas, rumah dijual dengan harga di bawah NJOP?”, tanyaku
“Nggak sih, biasanya ya lebih tinggi dari NJOP. Kepepetnya ya sama dengan NJOP.” Jawabnya.
Hmm, hmm, harus ikhlas…, harus ikhlas… suara batinku memotivasi diri.
Lalu, godaan itu datang lagi.
Tiba-tiba tadi malam, ada tetangga (di rumah lama) menelpon, “Bu, rumahnya jadi dijual gak? Ini ada yang berminat, Dia mau bayar cash, dengan harga bagus banget, seperti yang dulu Ibu tawarkan. Kan saya dengar2 yang mau beli via ibu, bayarnya gak cash ya?”
Aku memang sempat nitip rumah itu untuk dijualkan dengan harga 107% atau di atas sedikit dari NJOP tahun lalu.
Terbayang keuntungan berlipat ratusan juta, cash pula.
Terbayang kami akan segera punya uang cukup banyak, tak perlu repot-repot pinjam dari bank untuk renovasi rumah yang sekarang.
Tapi, itulah godaan.
Kembali terngiang pada 2 status yang sempat terpasang. Subhanallah, rupanya doaku langsung didengar Allah. Aku langsung dilatih-Nya, untuk belajar berbuat kebaikan.
Sempat aku berkomunikasi dengan anak muda calon pembeli yang memang sudah cukup akrab itu (karena mantan tetangga jaman dia sekolah dulu). Dia sendiri, karena hatinya juga peka, tidak memaksakan untuk diteruskan, jika memang kami akan membatalkan pembelian dari mereka. Meskipun sudah ada pembicaraan cukup serius. Meskipun dia sendiri bahkan sudah menyetor uang cukup banyak. Dia malah berkata, “Nanti kubicarakan sama istriku ya mbak. Aku juga ndak enak sama Mas dan Mbak kalau ada yang nawar lebih tinggi. Siapa tau rejeki Mas dan Mbak di harga yang lebih tinggi itu. Kan kita juga gak boleh menghambat rezeki seseorang mbak, itu kata istriku. Meski jujur aku dan istri berharap sekali dapat memiliki rumah itu”.
“Lho kok jadi gini, dek? Kalau kami sendiri mikirnya ya rumah itu akan optimal manfaatnya jika kamu yg beli. Kamu bisa nemenin ibu di hari tuanya. Kita gak kepikiran untuk mbatalin penjualan rumah itu ke kamu lho, apalagi kalau kamu keberatan”.
Dia masih berkata, “Mungkin ini rejeki mbak dan Mas, kan saya juga tak boleh menghalangi rejeki itu. Mungkin belum jodoh saya memiliki rumah itu”.
Lalu kuceritakan dia tentang status di FB. Akhirnya kutulis padanya, lebih dengan maksud untuk membulatkan tekadku: harta dan anak itu perhiasan dunia, tapi amal sholeh tetap lebih utama untuk dijadikan bekal dan sebaik pengharapan.
Kami pun sama-sama terharu setelahnya.
Dan dia membalas:
Terima kasih atas insight-nya mbak. Salam untuk keluarga. Terutama untuk mas, yang sudah kuanggap sebagai orang yang sangat baik dan bijak. Cuma bisa mendoakan semoga langkah ke depan dari mbak dan mas sekeluarga dipermudah dan dilancarkan Allah, semoga mbak dan mas sekeluarga diberikan rizki yang tak pernah putus di tengah jalan ya Allah, Amiin.
Terngiang pepatah jawa, sugih tanpa bandha, kaya tanpa harta. Bukan berarti tidak punya harta sama sekali, tapi tak ada jaminan kebahagiaan dan keberkahan dengan menumpuk harta, atau mencari keuntungan sebesar-besarnya dari harta. Karena kebahagiaan dan keberkahan tidak lagi bicara soal angka nominal perolehan harta, tapi lebih pada campur tangannya Allah yang langsung menyejukkan hati kita.
Jika kita tak pandai menyikapi soal harta, bisa jadi justru hartalah yang akan mengganjal langkah kita untuk menjejakkan kaki ke surga. Hartalah yang akan memberangus diri kita sendiri dengan panasnya api neraka. naudzubillah.
Allahumma, terima kasih ya Allah, Kau berikan aku kesempatan untuk latihan (lagi) menyikapi harta sebagai amanah ini.