Seorang hamba tidak berhak mendapat sebutan “Orang yang bertaubat” kecuali setelah dia membebaskan diri dari perkara-perkara yang harus dimintakan ampunan, yang jenisnya ada dua belas, seperti yang disebutkan di dalam Kitab Allah, yang semuanya merupakan jenis-jenis perkara yang diharamkan, yaitu: Kufur, syirik, nifaq, fusuk, kedurhakaan, dosa, pelanggaran, kekejian, kemungkaran, aniaya, mengeluarkan perkataan terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu dan mengikuti selain jalan orang-orang Mukmin.
Dua belas jenis ini merupakan poros dari berbagai macam perkara yang diharamkan Allah. Pada diri seseorang ada beberapa perkara dari jenis-jenis ini, dalam jumlah yang lebih banyak atau lebih sedikit, atau hanya ada satu saja, dan bisa jadi dia mengetahuinya atau bisa jadi dia tidak mengetahuinya. Sementara at-taubatun-nashuh ialah membebaskan diri dari perkara-perkara ini, melindungi diri dan wawas diri agar tidak terseret kepadanya. Tapi yang bisa membebaskan diri darinya ialah orang yang mengetahuinya. Saya perlu menguraikan masing-masing jenis dan cabangcabangnya, agar ada kejelasan batasan dan hakikatnya.
Uraian ini termasuk uraian yang paling banyak manfaatnya dari keseluruhan kandungan buku ini, dan setiap hamba sangat membutuhkannya.
Kufur
Kufur ada dua macam: Kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar mengakibatkan kekekalan di dalam neraka, sedangkan kufur kecil layak mendapatkan ancaman siksa dan tidak mengakibatkan kekekalan di dalam neraka, seperti yang disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu mencela nasab, meratapi orang yang meninggal dunia, menyetubuhi istri pada duburnya, mendatangi dukun dan peramal, yang semuanya disebut dengan istilah kufur, atau seperti firman Allah, “Dan, barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka merekalah orang-orang yang kufur.” (Al Maidah:44).
Menurut Ibnu Abbas dan Thawus, “Ini merupakan kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Tapi siapa yang melakukannya layak mendapat sebutan kufur, tidak seperti kufur kepada Allah dan hari akhirat.”
Atha’ menyebutnya kufur tidak seperti kufuryang semestinya, zhalim tidak seperti zhalim yang semestinya, fusuk tidak seperti fusuk yang semestinya.
Ada yang mena’wili ayat ini sebagai berikut: “Tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, karena mengingkarinya.” Ada pula yang mena’wilinya sebagai berikut: “Tidak memutuskan perkara menurut semua ketetapan yang diturunkan Allah.” Ada pula yang mena’wilinya sebagai berikut: “Memutuskan perkara secara sengaja dan bukan karena tidak tahu dan bukan kesalahan ta’wil, menurut ketetapan yang bertentangan dengan nash.” Ada pula yang menganggapnya sebagai kufur yang mengeluarkan pelakunya dari agama.
Pendapat yang benar, memutuskan perkara tidak menurut apa yang diturunkan Allah bisa berarti dua jenis kufur, kecil dan besar, tergantung dari keadaan pelakunya. Siapa yang meyakini keharusan memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, namun dia menyimpang darinya karena durhaka, sementara dia juga mengakui bahwa dia layak mendapat hukuman, maka ini disebut kufur kecil. Jika dia yakin bahwa itu merupakan hukum Allah, namun dia yakin bahwa penerapannya tidak wajib dan boleh memilih yang lain, maka ini disebut kufur besar.
Kufur besar ada lima macam: Takdzib, istikbar, i’radh, syakk, nifaq.
- Kufur takdzib ialah keyakinan terhadap kedustaan para rasul. Tapi yang termasuk jenis ini jarang terjadi di kalangan orang-orang kafir.
- Kufur istikbar atau iba’ ialah seperti kufurnya Iblis. Dia tidak mengingkari adanya perintah Allah, namun dia tidak patuh karena rasa takabur di dalam dirinya. Yang termasuk jenis ini adalah kufurnya orang yang mengakui kebenaran para rasul, namun dia tidak mau mengikutinya karena rasa takabur. Ini adalah kufurnya musuh-musuh para rasul, seperti kufurnya Fir’aun dan para pengikutnya dan kufurnya Abu Thalib.
- Kufur i’radh artinya berpaling dari Rasul dengan pendengaran atau hatinya, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan, tidak menolong dan tidak pula me-musuhinya serta tidak peduli terhadap apa yang dibawanya, seperti kata seseorang dari Bani Abdi Yalail kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Demi Allah, aku akan mengatakan satu kalimat kepadamu, jika engkau benar, maka engkau lebih mulia untuk kutolak, dan jika engkau dusta, maka engkau lebih hina daripada aku harus berbicara denganmu.”
- Kufur syakk artinya tidak pernah memiliki kemantapan hati untuk membenarkan atau mendustakan rasul, tapi selalu ada keragu-raguan dalam dirinya. Keragu-raguan ini akan terus membayang jika dia tidak mau melihat bukti-bukti kebenaran Rasululullah, tidak mau mendengar dan tidak mau mem-perhatikannya. Padahal kejelasan bukti ini seperti kejelasan matahari pada siang hari.
- Kufur nifaq artinya memperlihatkan iman dengan lisannya, namun memendam pendustaan di dalam hatinya. Ini merupakan nifaq yang paling besar, dan di bagian mendatang akan diuraikan macam-macamnya.