Kontroversi seputar poligami, tentang mau tidaknya, atau sudah patut belum atasnya memang semata-mata kemudian menjadi upaya masing-masing orang dalam beribadah menuju kepada-Nya. Pada intinya, poligami itu sah. Dan keabsahan itu sudah jelas diizinkan oleh syariah. Kemudian, dengan pelaksanaannya yang sangat dekat dengan perasaan, utamanya dari kaum wanita, hal ini sangat rawan menimbulkan kontroversi. Bisa jadi, di satu sisi, suatu keluarga memerlukannya, di sisi lain, akan ada keluarga yang berantakan jika melakukannya. Maka, pada intinya, bukanlah suatu pola pikir yang tepat dalam berkesimpulan tentang poligami jika hanya melihat kenyataan terang atas para pelakunya. Pola pikir kita hanya dibatasi pada hukum asal poligami yakni boleh dan dapat berubah hukumnya sama halnya dengan pernikahan.
Yang patut disayangkan, ketika pemeluk Islam mencaci para lelaki yang memilih poligami dengan tuduhan bahwa keputusan itu hanya dilandasi kebutuhan seksual saja. Atau pula, ketika poligami dianggap sepenuhnya merugikan kaum wanita. Seolah, mereka lebih paham makhluk daripada yang menciptakan makhluk itu sendiri. Kemudian, musuh Islam dapat dengan mudah memecah belah umat dengan isu tersebut. Namun saya yakin, umat Islam akan makin kritis dan tidak mudah terpancing.
Hanya saja memang, momen untuk memutuskan hendak berpoligami atau tidak itulah yang perlu difikirkan dalam-dalam dan harus senantiasa meminta petunjuk kepada Allah SWT. Jika ikhlas karena Allah, onak dan duripun terasa bunga bermekaran.
Salah satu kisah tentang keluarga poligami saya dapatkan beberapa waktu ini, ketika pindah tempat mukim. Mungkin, dan semoga saja kisah ini bisa mengimbangi pemikiran bahwa poligami tak sepenuhnya merugikan wanita dan hanya kedok bagi para lelaki untuk memuaskan hasratnya. Meskipun demikian, fenomena poligami juga seringkali tidak lepas dari kekurangpahaman pelakunya terhadap syariat sehingga kemudian mendzalimi pelakunya.
Teman saya yang satu ini adalah seorang muallaf berkelahiran 1980. Setelah masuk Islam, guru mengajinya memberikan nama yang indah padanya. Fauziyah. Dia akhirnya memutuskan untuk bersedia dipoligami atas permintaan seorang wanita pendamping hidup sang calon suami. Setelah akad, dia akan menjadi istri kedua. Keteguhan hatinya untuk memeluk agama baru ini berbuah ketaatan dan kepercayaan atas syariat. Perangainya sangat halus namun juga tegas, santun, dan percaya diri. Dengan begitu, dia sungguh manis di mataku meskipun berat badannya agak berlebih. Nama aslinya Lindo Br Ginting, kini menikah dengan salah seorang buya di kota kecil ini. Recot Nekson nama buya itu, namun lebih familiar dipanggil buya Syaifuddin.
Tak diragukan lagi komitmen buya dalam menegakkan dakwah menuju kepada Allah. Perangai tubuhnya kecil, tampak lebih tua dari usianya. Hal itu sangat bertentangan dengan tipikal orang asli daerah sini yang senantiasa tampak muda lebih muda dari usianya. Penampilan yang cenderung cerah, bahkan beberapa dari mereka memiliki tipikal wajah kaukasus dengan pipi tirus dan hidung mancung. Mungkin, karena tanggungjawab berat yang dipikulnya sebagai penggerak dakwah di kota ini menjadikan keriput wajahnya menuntut menunjukkan diri. Keikhlasan beliau terasa demikian dekat dengan kami atas setiap keputusan dan tingkah lakunya. Penilaian ini mungkinlah subyektif, tapi inilah yang saya tangkap sejauh ini.
Istri pertama buya, yang juga memilihkan istri kedua untuknya kini mendapat amanah sebagai wakil rakyat di DPRD. Kesibukannyapun meningkat. Dia memiliki perangai yang tegas dan berapi-api. Kedua insan ini tampaknya memahami bahwa poligami sangat tepat untuk mereka dengan beberapa alasan yang ujungnya adalah memperoleh ridlo Allah. Dengan demikian, sang istri pertama melirik mualaf tadi. Tentu itu bukan sembarang lirikan, dan tentu pula didasari keyakinan akan kesiapan akidah dari sang mualaf. Kini mereka telah memutuskan. Siapa bilang tidak berat? Mungkin pula itu yang dirasakan mereka. Namun, niat yang lebih tinggi untuk mendapat ridho Allah atas masing-masing pelaku menjadi motivasi tersendiri.
Sang istri kedua lebih berperan dalam menangani masalah rumah tangga karena istri kedua adalah seorang ibu rumah tangga tamatan sekolah perawat. Seringpula ia membantu di klinik kesehatan yang didirikan Buya. Buya bekerja di Dinas Kesehatan Kota sekaligus pendiri sebuah klinik kesehatan yang juga disokong dana pemerintah. Istri kedua seringpula datang ke rumah istri pertama, menjaga anak-anak mereka yang masih SD dan balita sedang dia sendiri belum mendapat momongan. Istri pertama seringkali pergi dinas luar untuk menyelesaikan agenda-agenda legislatif. Kedua istri ini saling melengkapi dalam mendukung dakwah. Dalam hal ini, dengan amanah dakwah besar yang dipikul Buya, mereka akhirnya memutuskan demikian, dan permasalahan tentu saja tidak sesederhana itu, tentang istri pertama yang demikian dan istri kedua sebagai back up. Permasalahan lebih kepada seberapa perlu dua sayang itu dimiliki dan seberapa luas kepakan sayap itu harus dibentangkan. Ingat pula tentang kata-kata Hasan Al Banna bahwa kewajiban kita lebih banyak daripada waktu yang tersedia untuk kita dalam menyelesaikannya. Di sinilah diperlukan strategi, distribusi amanah dakwah, dan kemantapan manajemen pelakunya.
Dan sekali lagi, keputusan untuk memilih adalah hal yang paling sulit, dengan segala konsekuensinya, dengan segala kesadarmantapan hati dan fikir maka minta petunjuk kepada-Nya menjadi sesuatu yang sangat vital. Sevital kebersihan jiwa dalam memutuskannya.