”Kongres Pemoeda-Pemoeda Indonesia” memasuki tahun yang ke- 86. Hasil rapat ini diberi judul ”Poetoesan Congress Pemoeda-pemoeda Indonesia,” yang di kemudian hari ”diganti” judulnya menjadi ”Soempah Pemoeda” oleh Muhammad Yamin. Bila mengacu pada dokumen asli, pemuda Indonesia tidak pernah bersumpah pada tahun 1928 silam. Rapat yang digagas selama dua hari (27 – 28 Oktober 1928) oleh Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) saat Kongres pemuda II di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, hanya menghasilkan suatu ”putusan”. Lantas, bagaimana perubahan judul sekaligus isi putusan menjadi Sumpah Pemuda?
Menurut Peneliti Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis), Universitas Negeri Medan (Unimed), Erond Damanik, menerangkan bahwa telah terjadi rekayasa sejarah terhadap peristiwa yang hingga kini dikenal sebagai ”Sumpah Pemuda”. Perubahan kata ”Putusan Kongres” menjadi ”Sumpah Pemuda,” berawal dari dari Kongres Bahasa Indonesia Kedua yang diadakan di Medan pada 28 Oktober 1954. Erond menuturkan bahwa Yamin berperan penting dalam pembelokan kata Putusan Kongres. Dengan lihai ia merumuskan skenario baru terhadap judul beserta isi Putusan Kongres Pemuda-pemuda Indonesia.
Sejarawan JJ Rizal mengungkapkan bahwa Sumpah Pemuda merupakan produk tahun1950-an. Isi teks sumpah pemuda pasca 1950 berbeda dengan aslinya (1928). Menurut Rizal, sesuai dengan bukti yang ia dapat melalui surat kabar harian Tionghoa, Sinpo, naskah asli hasil Putusan Kongres Pemuda-pemuda Indonesia berbunyi sebagai berikut:
- Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertanah air Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa, bahasa Indonesia.
Sedangkan isi Putusan Kongres yang kemudian berubah judul menjadi ”Sumpah Pemuda” hasil dari perubahan yang dilakukan oleh Muhammad Yamin berbeda dengan teks sebelumnya. Pada secarik kertas yang ia sodorkan kepada Soegondo ketika Mr. Sunario sedang berpidato pada sesi terakhir kongres. Yamin berbisik kepada Soegondo, ”Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie” (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), yang kemudian Soegondo membubuhi paraf ”setuju” pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain untuk ”paraf setuju” juga. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.
Isi naskah Putusan Kongres Pemuda – pemuda Indonesia hasil rekayasa Muhammad Yamin adalah sebagai berikut:
- Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sejarawan JJ Rizal turut menjelaskan bahwa kata ”sumpah” merupakan korupsi teks sejarah yang dilakukan untuk kepentingan ideologis yaitu mengaitkan dengan sebuah peristiwa besar jaman Majapahit yaitu Sumpah Palapa. Maka dibawalah sumpah Patih Gajah Mada itu ke ranah kepentingan politik kontemporer. Penyematan kata sumpah sekaligus untuk memberikan nuansa sakral.
Moehammad Yamin adalah seorang sarjana hukum kelahiran Sawah Lunto (Sumatera Barat) tahun 1903. Dia sekolah di Yogyakarta dan menikah dengan Sri Sundari, putri bangsawan Solo, pada tahun 1937. Dia mengarang buku macam-macam, campuran antara fakta dan fiksi, termasuk 6000 Tahun Sang Merah-Putih maupun sandiwara Gadjah Mada serta Ken Arok dan Ken Dedes. Celakanya, Yamin juga jadi Menteri Pendidikan pada awal tahun 1950-an. Dia bikin macam-macam pembenaran soal ”Sejarah Nasional”. Cerita-cerita fiksi ini lantas masuk dalam pelajaran sekolah. Bayangkan 6.000 tahun. Artinya, Indonesia lebih tua dari kebudayaan Mesir.
Dalam buku Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman, menulis bahwa salah satu orang yang banyak menciptakan ”sejarah yang bercorak Nasional” alias propaganda adalah Moehammad Yamin.
Muhammad Yamin tak ubahnya Paul Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi, yang pernah mengatakan, ”Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya, dan kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja”. [1942]
Benedict Anderson dalam buku klasik Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946 menulis bahwa tak ada satu orang pun yang bisa mengontrol Yamin. Orang ini keras kepala, sembarangan, menjengkelkan dan dibiarkan saja semau sendiri. Zaman itu tak ada yang peduli soal campur aduk fakta dan fiksi. Ia dianggap tak sepenting soal revolusi melawan Belanda. Yamin menerbitkan sandiwara Gadjah Mada pada 1946.
Daoed Joesoef, menteri pendidikan pada tahun 1970-an, mengingatkan bahwa saking semangat Yamin bahkan membuat gambar Gajah Mada berdasarkan ”sebuah celengan” yang ditemukan dalam situs Majapahit di dekat Gunung Lawu. Celengan tersebut diklaim Yamin sebagai wajah Gajah Mada. Belakangan ketika orang diminta menggambarkan wajah Gajah Mada, tentu saja, celengan tersebut tak bisa dipakai. Maka dipakailah wajah pengarang sandiwara Gadjah Mada. ”Celengan kan gendut. Pipi Yamin kan tembem,” kata Daoed.
Hasilnya, macam-macam imajinasi pikiran Yamin masuk dalam pelajaran sejarah di sekolah maupun berbagai propaganda lain. Ada Indonesia dijajah Belanda 350 tahun, patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit bikin Sumpah Palapa, nenek moyang selama 6.000 tahun. Karya fiksi pun masuk dalam pelajaran sejarah.
Sayangnya, banyak warga negara Indonesia percaya. Artinya, kepercayaan terhadap makna negara Indonesia tak diletakkan pada fondasi kebenaran faktual. Dasar negara ini diletakkan pada tumpukan fiksi.
George Orwell mengatakan, ”Cara paling efektif untuk menghancurkan orang banyak adalah dengan mengingkari serta menghapuskan pemahaman mereka atas sejarahnya sendiri.”
Apa yang disampaikan oleh sastrawan Inggris, George Orwell, dalam kalimat diatas adalah betapa pentingnya menjaga sejarah bangsa agar tak dibelokkan dari ”jalur” sebenarnya. Sejarah Nasional harus diluruskan. Karena, bila sejarah yang ditulis tidak berdasarkan fakta yang terjadi, maka penduduk negeri ini akan terus dibohongi.
Fakta-fakta sejarah peristiwa yang kini lebih dikenal sebagai Sumpah Pemuda sebagaimana yang diungkapkan oleh para sejarawan, telah menunjukan bahwa banyak peristiwa masa lampau negeri ini, dibuat berdasarkan dusta-dusta yang dirangkum sedemikian rupa untuk selanjutnya dijadikan sebagai ”sejarah” Nasional.
Sudah sepantasnya segala dusta dibalik peristiwa Sumpah Pemuda segera diakhiri. Sejarah bangsa Indonesia mesti ditulis sebagaimana fakta sesungguhnya. Supaya generasi penerus bangsa tidak terus dibodohi oleh isi naskah palsu dan peristiwa yang pada hakikatnya tidak sesuai dengan sejarah yang asli.
Ruslan Jusuf