Definisi kedua mereka bersandar pada suatu keyakinan yang berbeda, menggunakan asumsi (ceteris paribus) yang tidak sama. Adam Smith membayangkan komunitas ekonomi adalah komunitas yang bebas dalam berdinamika di pasar, sementara karl marx berangan-angan pada pengagungan kelas pekerja sehingga value added ekonomi harus mengistimewakan kelas ini dalam ekonomi. dua perspektif ini bermuara pada sajian ilmu ekonomi yang berbeda. namun keduanya sama-sama membuktikan bahwa ekonomi adalah ilmu yang bebas nilai itu menjadi tidak beralasan untuk diklaim.
Nah, ekonomi Islam memiliki logikanya sendiri, memiliki “nilai”-nya tersendiri. penyerahan diri pada kehendak Tuhan membuat ekonomi Islam bersandar pada ceteris paribus yang diinginkan Tuhan. dinamika ekonomi tidak bersandar pada “mau”-nya manusia tetapi berdasarkan aturan main Tuhan, baik yang ada di ranah prilaku maupun hukum-hukum.
Dengan begitu jika dilihat secara general, ekonomi menjadi tidak berbeda dengan disiplin ilmu lain dalam Islam, seperti hukum Islam, politik Islam, budaya Islam dan lain sebagainya. ilmu-ilmu itu hanya alat manusia untuk dekat dengan Tuhan. sehingga sederhananya ekonomi ditempatkan sebagai instrumen untuk mendekatkan diri pada Tuhan. inilah nilai tertinggi yang harus terus dijaga untuk selalu ada dalam ilmu termasuk ilmu ekonomi. tanpa nilai ini ilmu apapun menjadi hambar dan tak tentu arahnya.
jadi, ilmu (ekonomi) haruslah punya nilai, bukan malah harus bebas dari nilai.