Istri dedengkot Syiah Indonesia Jalaluddin Rakhmat, Emilia Renita AZ,memang pintar ngeles dan berganti topik debat.
(Baca: Emilia Renita AZ Tidak Mau Mut’ah Karena Menjaga Kesucian dan Emilia Renita AZ: Nikah Mut’ah Solusi Menjaga Kesucian Wanita)
Dalam kekalahan diskusinya dengan Ustadz Muhammad Abdurrahman Al Amiry menuduh sahabat Umar bin Al Khathab Radhiyallahu ‘Anhu telah melakukan perbuatan mengubah syariat Islam dengan menambahkan lafazh tertentu dalam adzan shalat subuh.
Lafazh yang dimaksud oleh Emilia RAZ adalah lafazh tatswib yang berbunyi الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ , ash shalatu khairu minan naum.
Dengan meng-copy paste artikel sebuah situs Syiah Iran berbahasa Indonesia, Emilia RAZ, menyodorkan hadits dari referensi Sunni dan qaul sejumlah ulama:
Dirawikan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwattha’, pada bab “Tentang Seruan Untuk Shalat”, bahwa muazin mendatangi Umar bin Khaththab untuk memberitahu tentang tibanya waktu shalat Subuh. Ketika dijumpainya Umar masih tidur, si muazin berkata: “Ash-shalatu khayrun min an-naum”. Maka Umar memerintahkan agar kalimat itu dimasukkan ke dalam azan Subuh.
Shahih Al-Bukhari (Bab “Azan”) atau permulaan Bab “Shalat” (Pasal tentang sifat atau cara Azan) dari Shahih Muslim Khalifah Umar adalah orang yang pertama yang menambahkan perkataan “al-Solah Khairun mina n-Naum.” Ianya tidak dilakukan oleh Rasulullah SAWA.[al-Halabi, al-Sirah, hlm.110]
Al-‘Allamah Az-Zarqani — ketika sampai pada hadis ini dalam Syarh Al-Muwattha’ — menulis sebagai berikut: Berita tentang ini dikeluarkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya yang dirawikan melalui Waki’ dalam kitabnya, Al-Mushannaf, dari Al-‘Amri, dari Nafi’, dari Ibn Umar, dari Umar bin Khaththab.
Az-Zarqani menulis selanjutnya: Ad-Daruqutni juga merawikannya dari Sufyan, dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari Nafi’, dari Ibn Umar bahwa Umar berkata kepada muazin: “Jika engkau sudah menyerukan Hayya ‘alal-falah di waktu azan Subuh, maka katakanlah: Ash-shalatu khayrun min an-naum (dua kali).”
Sebenarnya, dalam situs Syiah Iran berbahasa Indonesia yang menjadi rujukan Emilia RAZ, juga disebutkan bahwa Umar bin Khathab menghilangkan lafazh adzan, “Hayya ‘ala khayr al-‘amal.”
Jawaban dan Bantahan
Ustadz Abul Jauzaa’ terlah menuliskan bantahan atas tuduhan bahwa Umar bin Al Khathab radhiyallahu ‘anhu telah mengubah lafazh shalat dengan menambahkan lafazh buatannya sendiri dari studi hadits. Beliau membuktikan bahwa lafazh tastwib, ashalatu khairu minan naum, adalah lafazh dari Raulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan Umar bin Al Khathab.
Ada beberapa hadits yang membuktikan hal tersebut.
- Hadits Nu’aim bin Naham radhiyallahu ‘anhu:
عن نعيم بن النحام قال كنت مع امرأتي في مرطها في غداة باردة فنادى منادي رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى صلاة الصبح فلما سمعت قلت لو قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن قعد فلا حرج فلما قال الصلاة خير من النوم قال ومن قعد فلا حرج
Dari Nu’aim bin Naham ia berkata : “Aku pernah bersama istriku dalam selimutnya pada satu pagi yang dingin. Lalu muadzdzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan untuk shalat shubuh. Ketika aku mendengarkannya, aku pun bergumam : ‘Seandainya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : wa man qa’ada falaa haraja (dan barangsiapa yang duduk, maka tidak mengapa baginya [karena terlalu dingin-red])’. Maka ketika muadzdzin berkata : ash-shalaatu khairun minan-naum, maka ia berkata : wa man qa’ada falaa haraja.” [HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 1/423; shahih].
Perkataan: “Lalu muadzdzin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan untuk shalat shubuh,” mengandung pengertian bahwa adzan yang ia dengar adalah adzan di masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
- Hadits Abu Mahdzurah radhiyallahu ‘anhu, muadzdzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عن أبي محذورة : قلت : يا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمني سنة الأذان قال : ….فإن كانت صلاة الصبح قلت : الصلاة خير من النوم الصلاة خير من النوم الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله )
Dari Abu Mahdzurah : Aku berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarilah aku sunnah dalam adzan”. Beliau bersabda : “….Apabila (engkau adzan) pada waktu shalat shubuh, maka katakanlah: ‘ash-shalaatu khairun minan-naum ash-shalaatu khairun minan-naum, allaahu akbar allaahu akbar, laa ilaaha illallaah” [HR. Ibnu Hibban no. 1682; Asy-Syaikh Al-Arna’uth berkata : “Shahih dengan keseluruhan jalannya”].
عن أبي محذورة : ألقى عليّ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم الأذان حرفاً حرفاً: اللّه أكبر، اللّه أكبر، اللّه أكبر، اللّه أكبر، أشهد أن لا إله إلا اللّه، أشهد أن لا إله إلا اللّه، ……..وكان يقول في الفجر: الصلاة خيرٌ من النوم.
Dari Abu Mahdzurah : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajariku adzan huruf demi huruf : Allaahu akbar allaahu akbar, allaahu akbar allaahu akbar, asyhadu an laa ilaaha illallaah asyhadu an laa ilaaha illallaah,…. Dan ketika waktu shubuh : ash-shalaatu khairun minan-naum” [HR. Abu Dawud no. 504].
Catatan : Hadits Abu Mahdzurah tentang lafazh adzan ini cukup banyak.
- Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
عن أنس قال من السنة إذا قال المؤذن في أذان الفجر حي على الفلاح قال الصلاة خير من النوم
Dari Anas ia berkata: “Termasuk sunnah adalah jika muadzdzin berkata saat adzan shubuh hayya ‘alal-falaah, maka ia mengucapkan: ash-shalaatu khairun minan-naum” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 386; shahih].
Perkataan ‘termasuk sunnah’ menurut para ulama ahli hadits dihukumi marfu’ (marfu’ hukman) – sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – walau secara sanad ia mauquf.
- Hadits Bilal radhiyallahu ‘anhu:
عن بلال؛ أنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم يؤذنه بصلاة الفجر. فقيل: هو نائم. فقال: الصلاة خير من النوم، الصلاة خير من النوم. فأقرت في تأذين الفجر. فثبت الأمر على ذلك.
Dari Bilal: Bahwasannya ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan shalat shubuh telah tiba. Dikatakan : “Beliau masih tidur”. Maka Bilaal berkata : “Ash-shalaatu khairun minan-naum”. Maka hal itu disetujui dalam adzan shubuh (oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Jadilah ia perkara yang tetap dalam syari’at.” [HR. Ibnu Majah no. 716; shahih].
Itulah beberapa hadits yang mematahkan argumen Emila RAZ yang menuduh Umar bin Al Khathab menambah lafazh adzan.
Bagaimana dengan hadits Imam Malik dalam Al Muwaththa’ yang dijadikan dalil oleh Emilia RAZ dan orang-orang Syiah?
Hadits tersebut,
وحدثني عن مالك أنه بلغه أن المؤذن جاء إلى عمر بن الخطاب يؤذنه لصلاة الصبح فوجده نائما فقال الصلاة خير من النوم فأمره عمر أن يجعلها في نداء الصبح
Dan telah menceritakan kepadaku, dari Malik, bahwa ia menyampaikan padanya bahwasannya seorang muadzdzin mendatangi ‘Umar bin Al-Khaththab untuk memberitahukan shalat shubuh telah tiba. Namun ia menemui ‘Umar masih dalam keadaan tidur. Muadzdzin tersebut berkata : “ash-shalaatu khairun minan-naum”. Maka ‘Umar memerintahkannya untuk menjadikan bacaan tersebut dalam panggilan/adzan shalat shubuh” [HR. Malik no. 161 – tahqiq & takhrij : Salim Al-Hilaliy].
Namun riwayat tersebut adalah lemah sebagaimana bisa kita lihat dalam susunan sanadnya (mauquf dha’if) karena adanya inqitha’. Oleh karena itu tidak pantas dijadikan hujjah.
Bagaimana dengan hadits Imam Ad Daruquthni?
Riwayat yang dinisbatkan dalam Sunan Ad-Daaruquthni adalah sebagai berikut :
حدثنا محمد بن مخلد ثنا محمد بن إسماعيل الحساني ثنا وكيع عن العمري عن نافع عن ابن عمر عن عمر ووكيع عن سفيان عن محمد بن عجلان عن نافع عن ابن عمر عن عمر أنه قال لمؤذنه إذا بلغت حي على الفلاح في الفجر فقل الصلاة خير من النوم الصلاة خير من النوم
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mikhlad: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isma’il Al-Hasaaniy: Telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Al-‘Umari, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar – dan Waki’, dari Sufyan, dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar: Bahwasannya ia pernah berkata kepada muadzdzinnya: Apabila engkau sampai pada kalimat hayya ‘alal-falaah dalam adzan shalat shubuh, maka katakanlah : “as-shalaatu khairun minan-nauum”.
Dalam riwayat ini sama sekali tidak terdapat petunjuk bahwa ‘Umar yang menambah-nambah lafadh, “ash-shalaatu khairun minan-naum.” Beliau radliyallaahu ‘anhu hanya memerintahkan kepada muadzdzin agar mengatakan lafadh tatswib setelah lafadh, “hayya ‘alal-falaah.” Sudah dimaklumi bahwasannya perintah mengerjakan sesuatu tidak selalu berkonsekuensi si pemberi perintah mengadakan sesuatu itu. Sama juga halnya seperti riwayat ini. ‘Umar hanya memberikan penjelasan dan pelajaran bagi muadzdzinya untuk mengucapkan kalimat tatswib dalam adzannya.
Umar Menghilangkan Lafazh, “Hayya ‘Ala Khairil Amal.”
Dalam situs Syiah Iran berbahasa Indonesia yang menjadi rujukan Emilia RAZ, juga disebutkan bahwa Umar bin Khathab menghilangkan lafazh adzan, “Hayya ‘ala khayr al-‘amal.”
Dewan Syariah Pusat PKS, dalam Pusat Konsultasi Syariah-nya menyatakan bahwa para fuqaha berpendapat bahwa lafaz, “Hayya ‘Ala Khairil Amal,” tidak punya dasar hokum dalam Islam
Imam Al Baihaqi telah meriwayatkan hadits yang mauquf tentang hal itu atas Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu dan Ali bin Al Husain. Al Baihaqi mengatakan bahwa lafazh hayya ala khairil amal tidak tsabit dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Demikian yang disebutkan dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al Muhazzab karya Imam Nawawi pada Bab Adzan.
Sedangkan Imam Ibnu Hazm Al Andalusi dalam Al-Muhalla menyebutkan bahwa lafazh hayaa ‘ala khiaril amal dalam adzan adalah sesautu yang tidak punya dasar yang kuat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Memang ada riwayat dari Ibnu Umar dan Abi Umamah bin bin Sahal bin Hanif bahwa mereka mengucapkan hayaa ala khiaril amal dalam adzan, namun keduanya tidak bisa dijadikan sandaran dalam beribadah selama berbeda dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Imam As-Suyuthi dalam kitab Asna Al-Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib juga mengatakan bahwa lafaz itu dibenci, sebab bertentangan dengan apa yang kita dapat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan kita diingatkan untuk tidak melakukan bid’ah sebab semua ibadah yang berdimensi bid’ah itu tertolak. Pendapat beliau ini bisa kita lihat pada Kitabus Shalat Bab 2 tentang Adzan dan Iqamah.
Al-Qalyubi dalam Hasyiyah-nya pun sependapat mengatakan bahwa lafaz itu dibenci (yukrah) untuk dibaca dalam adzan.
Maka anggapan bahwa Umarradhiyallahu ‘Anhu adalah orang yang mengganti lafazh itu bukanlah anggapan yang tepat. Sebab sejak awal, lafazh itu bukan hayya ala khairil amal, melainkan sejak awal memang hayya alal falah. Tidak ada yang diganti dan Umar tidak pernah mengganti apapun.
Syiah yang Menambah Lafazh Adzan
Maling memang paling keras berteriak maling. Hal ini dibuktikan oleh kaum Syiah yang telah menuduh Umar bin Al Khatbab mengubah lafazh adzan, tetapi mereka sendiri malah benar-benar menambah lafazh adzan. (Baca: Tata Cara Adzan Menurut Syiah)
Berikut ini salah satu rangkaian lafazh adzan menurut Syiah:
- Allahu Akbar, Allahu Akbar (2 kali): Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
- Asyhadu Alla Ilaha Illallah (2 kali): Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah
- Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah (2 kali): Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah
- Asyhadu Anna Aliyyan Amiral Mukminina Waliyullah : Aku bersaksi bahwa Ali, Amirul Mukminin adalah wali Allah
- Asyhadu Anna Aliyyan Hujjatullah : Aku bersaksi bahwa Ali adalah hujah Allah
- Hayya ‘Alash Shalah (2 kali): Mari kita menunaikan shalat
- Hayya ‘Alal Falah (2 kali): Mari kita meraih kemenangan
- Hayya ‘Ala Khairil ‘Amal (2 kali): Mari kita mengerjakan sebaik-baik amal
- Allahu Akbar, Allahu Akbar (1 kali): Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
- Lailaha Ilallah (2 kali): Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah
Kalimat Lailaha Ilallah dibaca satu kali, namun kelompok Syi’ah membacanya dua kali.