“Tidak ada rumah tangga yang tidak memiliki masalah.”
Itu adalah rumus baku yang diyakini semua konsultan keluarga. Masalah bisa menghinggapi siapa saja. Seorang pemuda lajang saja memiliki banyak masalah, apalagi ketika sudah berumah tangga dan memiliki anak, tentu akan bertambah banyak lagi permasalahannya.
Yang membedakan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya dalam menghadapi problematika atau masalah adalah bagaimana mereka bersikap dan keluar dari masalah tersebut. Ada yang bersikap positif sehingga mudah mengurai permasalahan, bahkan mampu menjadikan permasalahan sebagai bagian dari pembaharu cinta kasih dalam keluarga. Suami isteri menjadi semakin mesra setelah ditimpa masalah dan berhasil menghadapi masalah dengan penuh kesabaran serta kearifan.
Namun ada pula keluarga yang berantakan karena bersikap negatif dalam menghadapi problematika. Mereka tidak menyiapkan diri secara mental dan konsepsional, sehingga ketika bertemu masalah, tidak tahu bagaimana harus bersikap dan menyelesaikannya. Ada masalah kecil saja langsung bercerita kemana-mana, hingga akhirnya masalah mereka menyebar menjadi rahasia umum.
Ketika menghadapi permasalahan dalam kehidupan rumah tangga, sikap yang tidak produktif adalah apabila kedua belah pihak –suami dan isteri– tak ada yang mau mengalah. Keduanya mengajukan pembelaan dan alasan-alasan pembenaran diri dengan melemparkan kesalahan kepada pasangannya. Pertengkaran adalah ujung-ujungnya.
Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya yang saya muliakan, saya ingin sharing tentang empat sikap positif dalam menghadapi permasalahan keluarga.
Pertama, Jangan Berpikir Hitam Putih
Sesungguhnya di dalam menghadapi konflik antara suami isteri, sikap pertama yang dibangun bukanlah mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Karena rumah tangga Anda hanya berisi dua orang, suami dan isteri, sedangkan terminologi yang disiapkan juga hanya ada dua, yaitu benar dan salah, maka seakan-akan salah satu harus menjadi yang benar dan yang lainnya berarti salah. Sikap seperti ini akan membawa keluarga Anda senantiasa berpikir hitam putih, kamu yang salah, aku yang benar.
Kedua, Mengalah demi Kebaikan Keluarga
Lebih baik dibangun sikap mental mengedapankan mengalah, mengaku diri bersalah, agar lebih gampang dicairkan konflik tersebut. Masing-masing pasti punya andil kesalahan dalam sebuah contoh penyimpangan yang dilakukan oleh suami atau isteri. Dengan demikian kedua belah pihak mengedepankan evaluasi diri, dan mencoba mencari kekurangan dan kelemahan yang ada pada dirinya. Kesanggupan evaluasi diri ini memang tidaklah sederhana dan mudah. Kadang berhadapan dengan ego yang merasa diri tidak ingin kalah dan tak ingin dianggap salah oleh pasangannya.
Tetapi jika tujuan kita adalah untuk menyelesaikan masalah, maka mengapa tidak mencari jalan yang lebih memudahkan untuk menguraikan permasalahan tersebut ? Bukannya lebih mengutamakan mencari definisi hitam putih siapa benar dan siapa salah. Belajar bersikap mengalah dalam menghadapi permasalahan adalah langkah yang terpuji dan terhormat, dan lebih menjamin terselesaikannya masalah secara baik.
Ketiga, Mendahului Meminta Maaf
Belajar mendahului meminta maaf meskipun belum jelas betul apakah dirinya bersalah, merupakan langkah yang lebih mulia dibandingkan dengan mendahului menuduh pihak lainnya. Apakah beratnya Anda mengatakan, “Maaf, mungkin aku yang salah” disertai ketulusan hati anda, dibandingkan dengan ucapan, “Kukira engkaulah yang salah.”
Apa sulitnya lisan Anda mengatakan, “Semua ini karena salahku. Aku memang lemah dalam masalah ini,” dibandingkan dengan ucapan anda, “Saya kira sumber masalahnya ada pada sikapmu yang terlalu kaku dan mau menang sendiri.” Memang tidak cukup mudah dan ringan mengatakan kata maaf, sebab kosa kata yang satu ini sering kali tidak cukup banyak diajarkan oleh lingkungan kita.
Kadang suami atau isteri merasa perkataan maaf itu hanya layak diucapkan apabila dirinya bersalah, sehingga jika merasa tidak bersalah atau belum terbukti melakukan kesalahan ia merasa tidak perlu mengungkapkan perkataan maaf. Padahal sesungguhnya kata maaf merupakan ungkapan yang bisa digunakan untuk merekatkan hubungan antar berbagai pihak, kendatipun tidak dalam konteks benar dan salah. Maaf adalah bahasa komunikasi yang nyaman dan melegakan semua pihak.
Keempat, Maafkan dan Peluklah Pasangan Anda
Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya yang berbahagia, dalam kondisi saling emosi, redamkan dengan pelukan mesra. Ucapkan kata maaf sambil memeluk pasangan anda. Yakinlah bahwa Anda berdua memiliki saham kesalahan, sekecil apapun. Tidak mungkin ada satu pihak yang mutlak benar dan satu pihak mutlak salah. Maka saling meminta maaf, dan meredakan ketegangan hubungan dengan pelukan. Kadang suami dan isteri merasa berat mendahului memeluk dan meminta maaf, karena ego yang sangat besar pada diri masing-masing.
Cobalah, Anda pasti bisa melakukannya. Berlombalah mengalah, demi kebaikan keluarga anda. Jangan turuti ego anda, jangan penuhi emosi anda. Siapa diantara Anda berdua yang lebih cepat mengalah, dialah yang paling baik.
Ustadz Cahyadi Takariawan
Jogja Family Center