Pada bulan Februari ini akan banyak kita saksikan berbagai media massa, pusat-pusat hiburan dan mal-mal mulai bersibuk ria dalam berlomba mencuri perhatian para remaja. Tema yang dipertunjukkan sudah menjadi rahasia umum, apalagi kalau bukan Valentine’s day, hari di mana jutaan remaja tergiring oleh kultur kaum kapitalis hedonis tentang apa yang popular mereka rayakan di tanggal 14 Februari. Berkirim kartu dan bunga, memberi coklat berbentuk hati dengan ucapan-ucapan cinta palsu, hingga saling bertukar pasangan bukanlah hal yang asing ditemui pada pemberitaan perihal perayaan Valentine’s day tersebut.
Remaja memang target utama bagi para pemeluk perayaan hari valentine ini. Wajar saja, karena masa remaja adalah waktu-waktu di mana mereka bersemangat dalam mencari jati diri, istilah kerennya aqua age. Menurut ilmu psikologi perkembangan, masa remaja bukan lagi masa anak-anak, meski begitu mereka juga belum sampai tahap dewasa. Oleh karenanya, pemikiran dan semangat mereka perlu untuk diarahkan agar tidak semakin terserap dalam arus kaum barat ini, terlebih di masa akil balignya bermacam virus mulai berkembangbiak hebat, termasuk virus merah jambu di hari valentine. Sayangnya banyak dari remaja saat ini menganggap bahwa di hari valentine merupakan hari perayaan “kasih sayang”. Lalu benarkah nilai filosofi dan sejarah hari valentine juga demikian?
Dalam buku The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine’s Day : “Some trace it to an ancient Roman festival called Lupercalia. Other experts connect the event with one or more saints of the early Christian church. Still others link it with an old English belief that birds choose their mates on February 14. Valentine’s Day probably came from a combination of all three of those sources–plus the belief that spring is a time for lovers.”
“Beberapa jejak menunjukkan ke sebuah festival Romawi kuno yang disebut Lupercalia. Ahli lain menghubungkan acara tersebut dengan satu atau banyak orang kudus dari gereja Kristen. Pendapat yang lain menghubungkannya dengan keyakinan Inggris kuno bahwa burung-burung memilih pasangan mereka pada tanggal 14 Februari. Perayaan Hari Valentine mungkin berasal dari kombinasi ketiga sumber tersebut. Ditambah keyakinan bahwa musim semi adalah waktu untuk bercinta.”
Dari nilai filosofinya, perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno yang dilaksanakan pada tanggal 13-15 Februari. Dua hari pertama dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini para pemuda mengundi nama –nama gadis di dalam kotak. Lalu mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun sebagai obyek hiburan semata. Pada tanggal 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini kaum muda melecut orang dengan kulit binatang karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.
Lupercus/Lupercalia sendiri adalah dewa kesuburan seksual Romawi yang diilustrasikan sebagai seorang manusia dengan bentuk kaki dan kepala layaknya seekor kambing. Dalam legenda lain diceritakan bahwa Pan mempunyai affair dengan dewi kecantikan dan dewi cinta Aphrodite yang dikenal dengan nama Venus, anaknya bernama Eros yang dikenal juga dengan nama Cupid yaitu seorang anak kecil tampan bersayap yang membawa panah cinta, bahkan menurut legenda diceritakan bahwasanya Aphrodite sangat tertarik pada ketampanan anaknya sendiri sehingga melakukan hubungan badan dengan anaknya. Naudzubillah!
Dari sumber lain yakni The Encyclopedia Britannica, dengan sub judul: Christianity disampaikan bahwa pada saat agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I.
Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II diceritakan pernah menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.
Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dibanding orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga ia pun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (The World Book Encyclopedia, 1998).
Lantas bagaimana dengan ucapan “Be My Valentine” yang kerap diutarakan oleh kaum remaja zaman sekarang? Dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) Ken Sweiger mengatakan kata “Valentine” berasal dari Bahasa Latin yang berarti: “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi.
Dari keterangan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya disadari atau tidak, jika kita meminta seseorang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa” dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Artinya sama saja dengan menyekutukan Allah. Fenomena ini tentu menjadi hal yang penting untuk kita evaluasi, karena bila berlanjut maka sama saja membiarkan Syirik semakin meraja lela.
Saudaraku, itulah sejarah Valentine’s Day yang sebenarnya, kita yakini bahwasanya perayaan tersebut seluruhnya tidak lain bersumber dari paganisme kaum kapitalis hedonis yang tidak mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan “kasih sayang”. Lalu mengapa masih banyak penyambutan untuk hari Valentine? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal muasalnya?
Keinginan untuk mengikuti popularitas zaman memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan dan pemikirannya. Dalam hal ini Rasulullah Shallallaahu alaihi wasalam telah mengingatkan kita untuk tidak mengikuti tata cara peribadatan selain Islam melalui perintah sebagai bentuk kasih sayang beliau pada umatnya: “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. At-Tirmidzi).
Ingat pula keterangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sebuah surat Al-Mujadilah ayat 22:
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” Maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Jelas sudah bahwasanya kasih sayang tidak akan pernah tersampai kepada orang yang saling menentang anjuran agama Allah. Bila demikian, sangat disayangkan banyak saudara kita remaja putra-putri Islam yang masih terjangkit penyakit virus valentine’s day yang mengekor budaya barat dan acara ritual agama lain.
Sebagai seorang muslim yang peduli akan perkembangan generasi remaja ke depan, patut disyukuri kita masih mempunyai solusi pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai kebiasaan dan budaya barat tadi. Di antara banyak bentuk kasih sayang, satu yang cukup melekat dalam benak kita adalah kasih sayang seorang ibu yang jelas mempunyai kedudukan agung di mata Allah. Kita dapat mempersembahkan ketulusan kasih sayang kita kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, dan saudara kita, tetapi tentu hal itu tidak akan kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir dengan esensi yang sama seperti mereka.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan rasa kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan menuju Surga-Nya hingga kelak mampu bercengkrama bersama orang-orang yang berkasih sayang atas landasan iman dan ketaqwaan kepada Allah Ar-Rahman.
“Kecintaan-Ku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, yang saling mengunjungi karena Aku dan yang saling berkorban karena Aku.” (Al-Hadits).