Dalam sebuah hadits, Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda, “Seorang ayah yang mendidik anak-anaknya adalah lebih baik daripada bersedekah sebesar 1 sa’ di jalan Allah.”
Nabi pun mencontohkan, bahkan ketika beliau sedang disibukkan dengan urusan menghadap Allah SWT (shalat), beliau tidak menyuruh orang lain (atau kaum perempuan) untuk menjaga kedua cucunya yang masih kanak-kanak, Hasan dan Husain. Bagi Nabi, setiap waktu yang dilalui bersama kedua cucunya adalah kesempatan untuk mendidik, termasuk ketika beliau sedang shalat.
Hal yang sangat berbeda kita temukan di Indonesia. Banyak anak-anak yang kehilangan figure ayahnya sebagai contoh yang patut diteladani. Banyak dari ayah-ayah Indonesia merasa selesai tugas dan kewajiban setelah memberikan nafkah berupa uang untuk kehidupan keluarganya. Tidak terhitung jari berapa keluarga yang satu rumah namun tidak pernah ada komunikasi. Komunikasi disini tentu saja benar-benar komunikasi, bukan hanya sekedar bicara.
Saat ini banyak keluarga yang terjangkit fenomena anak lapar ayah (father hunger). Fenomena ini muncul karena sang ayah kurang banyak berperan dalam pendidikan anak di usia dini sehingga seorang anak lelaki menjadi feminim. Hal ini berlaku juga sebaliknya, anak perempuan menjadi tomboy karena berusaha menggantikan peran ayahnya terhadap ibunya.
Fenomena “lapar ayah” ini dapat dibagi dua golongan:
1. Ketidakhadiran sang ayah secara fisik, misalnya: ayah yang bercerai dengan ibu atau meninggal dunia
2. Ayah yang hadir, tetapi tidak banyak terlibat. Meski tinggal serumah, tetapi ia tidak memiliki banyak waktu untuk bergaul akrab dengan anak-anak.
Kurangnya perhatian dari sang ayah kepada anak lelakinya akan membuat sang anak akan memiripkan diri dengan peran ibunya. Terlebih sekarang ini peran guru di Taman Kanak-kanak atau PAUD mayoritas dipegang oleh perempuan. Hal ini menambah perbendaharaan daftar figure perempuan untuk ditiru anak laki-laki.
Fenomena lapar ayah adalah fenomena yang harus segera kita sadari. Jangan kaget kalau akhirnya menemukan fakta bahwa akar persoalan dari semua persoalan dari kerusakan pemuda di Indonesia adalah karena ayah. Ayah dirumah yang tidak menjalankan fungsi dan perannya kepada anak laki-lakinya. Kepada anak laki-laki seharusnya bukan hanya jadi teladan mengajarkan kepemimpinan, tetapi ada relung di dalam jiwa kemaskulinan yang tidak ditanamkan oleh ayah kepada anak-anaknya. Sehingga terjadi distorsi makna keberanian, makna uji nyali. Seperti yang kita lihat, banyak anak pemuda yang uji nyali mengukur keberanian dengan balap motor liar.
Hal ini dimungkinkan karena ayahnya tidak mengajarkan nilai tauhid. Tidaj pernah menyampaikan kepada anaknya.”Wahai anakku, orang yang kuat adalah bukan orang yang menang dalam bergulat, tapi yang mampu bersabar ketika dalam kondisi emosi.”
Tabiat seorang anak yang butuh bantuan moral, bangun karakter dalam jiwa anak, butuh ayah. Ayah pemberani. Namun kalau anak sudah melihat ayahnya melakukan kekerasan verbal kepada ibunya, melihat ayahnya melihat kekerasan fisik kepada ibunya, apalagi melihat ayah tidak berkomunikasi kepada istrinya, dan ini terekam oleh sang anak tentang perilaku ayah kepada ibunya. Maka, bisa dilihat siapa yang akan jadi jodoh anaknya. Kenapa yang dipilih adalah perempuan yang seperti itu, ini bisa jadi karena pelampiasan kekecewaan melihat perilaku ayahnya.
Kenapa ada banyak generasi banci di Indonesia? Kenapa tontonan banci laku ditelevisi? Seorang banci pernah ditanyai, kenapa mau menjadi seperti itu?
“Ayahku datang saat aku sudah sukses. Ayahku nggak hadir di rumah”
Ayahnya sibuk dengan mimpi-mimpinya. Sibuk dengan hobinya. Ayahnya keliru memahami apa yang dibutuhkan anak-anaknya. Bukan mobil-mobilan, bukan mainan Barbie, hadiah terbesar yang diinginkan anak adalah seberapa banyak waktu untuk anaknya, seberapa sering mencium keningnya, seberapa banyak memeluk anak laki-lakinya. Seberapa besar kata-kata yang dihujamkan kepada hatinya lewat telinganya.
Hal yang patut kita ketahui adalah, meskipun seorang anak sudah tidur, bacaan hadist, bisikan cinta dan kasih sayang, alunan ayat tetap bisa didengarkan oleh sang anak. Banyak Anak-anak yang dibesarkan secara fisik tapi jiwanya sudah dicuri oleh orang lain. Dibelikan handphone paling canggih namun tidak pernah sang ayah menghubunginya.
Karenanya dibutuhkan ayah-ayah pemberani. Berani mengorbankan waktunya untuk anak-anaknya.Berani mengorbankan hobinya untuk meluangkan waktu untuk anaknya. Berani mengorbankan waktunya untuk menata kembali rumah tangganya yang telah salah.