“Apa yang disabdakan Rasululah saw tadi, Wahai Abu Ayyub?”
“Konstantinopel akan ditaklukkan oleh Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin, dan tentara yang bersamanya adalah sebaik-baik tentara.”
Dialog singkat dengan latar kota Madinah tahun 627M di atas menjadi pembuka film ini langsung menyedot emosi. Tiga dari empat teather di bioskop yang berada di jantung kota Ankara memutar film ini. Sekalipun cuaca sangat dingin dan bersalju, sore itu saya tetap harus mengantri untuk pertunjukan berikutnya disebabkan melimpahnya pengunjung. Tidak tanggung-tanggung, sejak diputar dua minggu lalu, telah 4 juta orang menonton film yang berjudul Fetih 1453 ini. Memecahkan rekor sepanjang sejarah perfilman di Turki. Biaya produksinya yang mencapai 17 juta dolar adalah rekor lain dari film besutan sutradara Faruk Aksoy ini.
Sebagai film yang diangkat dari kisah nyata, film ini sangat memperhatikan keterangan tempat dan waktu kejadian. Namun usaha sang sutradara untuk mengambil sebanyak mungkin cuplikan peristiwa justru berdampak hilangnya penekanan pada beberapa kejadian penting yang seharusnya lebih dramatik. Misalnya adegan pasukan Sultan Muhammad II (Mehmet II) menarik kapal melintasi daratan karena selat Bosporus dihalangi rantai besar untuk pertahanan.
Selain itu, sosok alim Sultan Muhammad II yang tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah, rutin melaksanakan shalat rawatib dan tahajud, tidak terlihat sama sekali. Bahkan permaisurinya, yang merupakan ibu dari Bayazid II digambarkan tidak berhijab dan hampir tidak ada peran apa-apa selain bersolek.
Adegan perang dengan bumbu-bumbunya dan usaha menampilkan kota Istanbul abad 15 M sudah bagus dan mengingatkan kita pada film-film epik Hollywood. Bagi saya, film ini patut diapresiasikan juga karena menampilkan tema agama (selain sejarah tentu saja) di ruang publik di negara sesekuler Turki sudah merupakan hal yang luar biasa. Memecahkan tabu selama ini. Orang-orang berjilbab pergi ke bioskop untuk menonton. Di sisi lain, ini juga membangkitkan kebanggaan orang Turki atas kejayaan Islam di masa lalu, saat nenek moyang mereka menaklukkan negara adidaya Romawi yang sangat kuat. Tidak terbayangkan jika kota indah yang telah berdiri sejak tahun 7 SM dan menjadi ibukota kerajaan Romawi sejak tahu 300M itu akhirnya takluk dibawah kekuasaan Islam.
Tidak dapat dipungkiri, usaha mencerabut Islam dari bangsa Turki tidak pernah benar-benar berhasil. Mengingat sejarah kejayaan Islam melekat kuat di sini. Dalam satu dasawarsa terakhir, pelan-pelan nilai keislaman yang dulu dikuburkan kembali bertunas. Simbol-simbol keislaman pun tidak lagi tabu di tengah masyarakat. Mahasiswi-mahasiswi mulai banyak yang mengenakan jilbab ke kampus. Beberapa hari lalu, salah seorang sahabat bertanya kepada temannya yang mengenakan jilbab di salah satu universitas yang terkenal sebagai penjaga gawang sekulerisme, mengapa dia mengenakan jilbab? Dia menjawab, “Saya hidup di dunia cuma sebentar, jika memilih jalan agama hanya membuat saya kehilangan beberapa hal di dunia, maka itu sangat tidak apa-apa asal saya tidak kehilangan pada kehidupan yang kekal nanti.”
Ahmad Faris – Ankara, Turki
dosen dan penulis, kandidat doktor HI di Universitas Ankara, Turki