Gamang

Professor John Harwood Hick (dikenal luas dengan nama singkatnya, John Hick) adalah seorang akademisi dengan karir yang bisa dibilang cukup cemerlang. Di jamannya, ia dikenal sebagai salah seorang tokoh yang cukup otoritatif dalam hal filsafat agama dan teologi. Ia dibesarkan dalam keluarga yang mengajarkan agama ‘Kristen fundamentalis’, namun di kemudian hari ia meninggalkan ajaran tersebut dan memeluk agama Kristen Evangelis. Hingga akhir hayatnya, ia banyak terlibat dalam proyek menghapus ‘fundamentalisme dalam beragama’, khususnya di tubuh umatnya sendiri, yaitu umat Kristiani.

Dalam bukunya yang berjudul God Has Many Names, Hick mengungkapkan sebagian kisah ‘perjalanan intelektualnya’ yang paling penting yang telah membawanya pada paham inklusivisme, untuk kemudian mengantarkannya lebih lanjut pada sebuah konsep pluralisme agama yang ia bentuk sendiri.

‘Petualangan’ itu dimulai dari kebingungan Hick dalam memahami doktrin agamanya sendiri. Menurut doktrin yang telah diajarkan kepadanya sejak kecil, umat Kristen meyakini bahwa di akhir jaman seluruh manusia akan menerima ajaran Kristus, sehingga di dunia ini hanya akan ada satu agama, yaitu Kristen. Akan tetapi, doktrin ini tidak mudah untuk diterima oleh pikirannya yang kritis. Terjadinya skisma (perpecahan) di tubuh Gereja, mulai dari berpisahnya Gereja Barat dan Gereja Timur, konflik antara Katolik dan Protestan, dan semakin bertambahnya aliran Protestan dari hari ke hari adalah fenomena sejarah yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Selain masalah perpecahan, masih ada hal-hal teknis lainnya yang menyulitkannya menerima doktrin tentang kondisi akhir jaman tersebut. Melalui observasi di negerinya sendiri dan di seluruh dataran Eropa secara umum, Hick melihat adanya tiga kondisi yang kontradiktif dengan doktrin tadi. Pertama, orang-orang yang beragama Kristen makin lama makin banyak yang meninggalkan Gereja. Sebagian besar orang sudah memeluk sebuah ‘agama baru’ yang bernama sekularisme, sehingga yang taat hanya sebagian kecilnya saja. Kedua, globalisasi membuat peradaban Barat-Kristen berinteraksi secara intens dengan peradaban-peradaban lainnya. Meskipun di beberapa tempat mereka berhasil menjalankan misi kristenisasi, namun pada kenyataannya tidak sedikit pula yang memilih untuk meninggalkan agama Kristen dan memeluk sebuah agama baru. Observasi ini memang akurat. Terbukti, sekarang pertumbuhan agama Islam di Eropa justru sangat tinggi. Ketiga, Hick pun menyadari sebuah kenyataan pahit demografi: pertumbuhan penduduk di negeri-negeri non-Kristen justru jauh lebih tinggi daripada di negeri-negeri Kristen. Dengan kata lain, umat non-Kristen terus bertambah, sedangkan umat Kristen justru lambat pertumbuhannya, apalagi di negara-negara maju. Hal ini disebabkan oleh gaya hidup bangsa Eropa yang menyebabkan banyak penduduknya tidak lagi ingin memiliki keturunan, sebab umumnya mereka menganggap anak dan keluarga sebagai beban hidup.

Observasi Hick membawanya pada sebuah kesimpulan bahwa doktrin akhir jaman tersebut nampaknya teramat sulit (jika tidak dikatakan mustahil) untuk terwujud. Setidaknya, jika penafsirannya masih menggunakan ‘cara lama’, maka doktrin itu jelas tidak sejalan dengan kenyataan.

Di sinilah Hick berpaling pada inklusivisme; sebuah paham keagamaan yang telah meninggalkan eksklusivisme. Jika kaum ‘eksklusif’ menganggap bahwa kebenaran hanya bisa didapatkan dari agamanya sendiri, maka kaum ‘inklusif’ menganggap bahwa agamanya adalah sebuah standar kebenaran yang paling sempurna, namun para pemeluk agama lain pun bisa mendapatkan kebenaran jika hidupnya sejalan dengan standar kebenaran tersebut. Misalnya, jika Kristen melarang orang untuk mencuri, maka kebaikan yang akan diterima oleh orang-orang yang tidak mencuri tidak hanya akan didapatkan oleh umat Kristen, melainkan juga menjadi hak bagi orang-orang non-Kristen, selama mereka tidak mencuri.

Dengan pemahaman ini, kaum inklusivis Kristen melahirkan istilah-istilah baru seperti “Kristen implisit”. Kristen implisit adalah orang-orang non-Kristen yang taat menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Mereka disebut sebagai ‘Kristen implisit’ karena, menurut kaum inklusivis ini, sebenarnya mereka tengah berada dalam perjalanan menuju Kristus, hanya saja belum sampai pada akhir perjalanannya. Dengan demikian, seluruh umat beragama yang taat adalah Kristen, meskipun ada yang implisit dan ada yang eksplisit.

Hanya sebentar saja Hick merasa nyaman dengan pemahaman barunya ini. Tidak berapa lama, ia pun merasa perlu menyatakan bahwa inklusivisme sebenarnya sudah cukup baik, namun pada hakikatnya ia hanyalah sebuah anak tangga yang menghubungkan antara fundamentalisme (eksklusivisme) dengan sebuah posisi lainnya yang lebih tinggi lagi, yaitu pluralisme. Pasalnya, meskipun inklusivisme bersedia menerima umat lain sebagai ‘Kristen implisit’, pada kenyataannya tak semua tindakan dalam agama lain bisa dibenarkan dalam agama Kristen. Sebagai contoh, sampai kapan pun, umat Budha takkan bisa dipaksa atau diarahkan untuk menerima konsep trinitas yang jelas-jelas tak pernah dikenalnya. Oleh karena itu, sebenarnya inklusivisme pun masih memelihara klaim kebenaran dalam satu agama tertentu. Hick merasa belum puas dengan kesimpulan ini.

Untuk menyelesaikan permasalahan klaim kebenaran ini, Hick menyerukan dilakukannya pergantian paradigma (paradigm shift). Menurutnya, cara berpikir umat beragama saat ini telah kehilangan orientasi. Hick mengusulkan agar kita mengubah orientasi kita dari religion-centredness menuju God-centredness.

Untuk menjelaskannya, Hick mengambil tata surya sebagai analogi. Menurut Hick, Tuhan tidak ubahnya bagaikan matahari yang menjadi pusat tata surya, dikelilingi oleh agama-agama yang dilambangkan sebagai planet-planet yang bergerak dalam orbitnya ketika mengelilingi matahari. Dengan kata lain, tidak soal ‘planet’ mana pun yang kita pilih, asalkan ia masih mengelilingi ‘matahari’, maka semua pilihan itu dapat dibenarkan.

Dalam benak Hick, semua agama sebenarnya menyembah Tuhan yang sama, hanya saja dari perspektif yang berbeda-beda dan penekanan yang berbeda-beda pula. Islam, misalnya, memberi penekanan pada sifat Keesaan Tuhan. Kristen memberi penekanan pada masalah penebusan dosa, Budha pada penempaan jiwa, dan Hindu pada harmonisasi antara manusia dan alam. Semua itu adalah ‘wajah Tuhan’ yang sama, yang dipandang oleh masing-masing agama dari sudut yang berbeda; sebuah analogi yang mengingatkan banyak orang Indonesia dengan kisah ‘orang-orang buta dan seekor Gajah’, yang sebenarnya justru merupakan kisah agak jenaka yang memperlihatkan ketidakutuhan pengamatan.

Hick pun melanjutkan penjelasannya dengan sebuah pengamatan yang tidak kalah jenakanya dengan analogi tata surya di atas. Menurutnya, peribadatan di Kuil Yahudi, Gereja Kristen dan Masjid Islam sebenarnya sama saja, meski ada sedikit perbedaan di dalamnya. Bedanya, di Kuil Yahudi orang boleh pakai sepatu dan topi, di Gereja boleh pakai sepatu tapi tak boleh pakai topi, sedangkan di Masjid orang tak boleh pakai sepatu dan topi. Selain itu, di Kuil Yahudi orang boleh bernyanyi tanpa alat musik, di Gereja boleh bernyanyi dan bermain alat musik, sedangkan di Masjid tidak boleh bernyanyi dan memainkan alat musik. Tentu saja pengamatan ini terasa begitu ‘mentah’ bagi para peneliti perbandingan agama yang serius dalam pengkajiannya. Secara sederhana saja dapat kita katakan bahwa di Masjid tidak ada larangan mengenakan topi, jika topi itu dimaknai sebagai penutup kepala. Peci dan sorban adalah penutup kepala yang biasa digunakan orang di dalam Masjid, meskipun bentuknya berbeda dengan topi yang biasa dikenakan oleh orang-orang Barat. Namun secara syar’i, tak ada larangan mengenakan topi di dalam Masjid. Demikian juga sepatu, karena Rasulullah saw pernah mengajarkan cara berwudhu ketika mengenakan sepatu. Hanya saja, jaman sekarang memang sulit dijumpai Masjid yang berlantai tanah atau pasir, sehingga nampaknya sudah tak ada lagi yang shalat dengan mengenakan sepatunya. Dengan argumen yang lebih serius, kita dapat mengkritik Hick karena hanya menyoroti aspek-aspek ‘luar’ dari ketiga agama (Islam, Kristen dan Yahudi) sebelum menarik kesimpulan bahwa peribadatan ketiganya pada hakikatnya adalah sama. Hick sama sekali tidak menjelaskan bagaimana caranya ‘mendamaikan’ konsep-konsep fundamental dalam ketiga agama tersebut, misalnya antara tauhidullaah dengan trinitas. Pada kenyataannya, dalam aspek-aspek fundamental seperti ini, kita sama sekali tak dapat menarik kesimpulan bahwa semua agama itu sama saja.

Untuk menutup penjelasannya, Hick berpaling pada fenomena globalisasi yang tengah terjadi. Menurutnya, globalisasi menyebabkan terjadinya pertukaran informasi yang lancar dari seluruh wilayah di dunia. Komunikasi antar peradaban ini akan berlangsung terus dan memberi efek saling mempengaruhi di antara agama-agama yang ada, bahkan juga antara agama dan ideologi-ideologi seperti sekularisme. Jelasnya, agama yang satu akan dipengaruhi oleh yang lain, sehingga Kristen akan dipengaruhi oleh Hindu, Hindu akan mengambil pengaruh dari Islam, Islam dipengaruhi Yahudi, dan begitu seterusnya.

Menurut imajinasi Hick, relasi yang saling mempengaruhi ini akan menyebabkan semua agama bergerak ke arah yang konvergen, meskipun agama-agama itu takkan pernah benar-benar bersatu. Dengan kata lain, semua agama akan mengambil bentuk yang semakin mirip satu sama lainnya. Gejala inilah yang ia sebut sebagai Teologi Global (Global Theology). Dengan demikian, lengkaplah sudah konsep pluralisme agama yang ditawarkannya kepada dunia.

Konsep Teologi Global yang ditawarkan oleh John Hick tidak lain bersumber dari kegamangannya sendiri akibat pemahamannya akan sebuah doktrin Kristen yang berhadapan langsung dengan kenyataan pahit di lapangan. Karena doktrin tersebut tak pernah bisa disesuaikan dengan kenyataan, maka ia pun berusaha untuk menafsirkannya kembali dengan cara yang belum pernah ditempuh sebelumnya. Dengan inklusivisme, ia bisa menerima umat-umat beragama lain, namun dengan standar kebenaran yang tetap menjadi milik Kristen semata. Setelah melangkah lebih jauh ke dalam pluralisme agama, ia tidak perlu lagi mendamaikan semua standar kebenaran tersebut, karena semuanya dipukul rata sebagai perbedaan pendapat yang terjadi akibat adanya perbedaan sudut pandang ketika memandang ‘wajah Tuhan’ yang satu itu. Dengan demikian, setiap agama dapat dianggapnya sebagai kebenaran dan semua agama itu tak mesti bersatu, meskipun bisa saling mempengaruhi.

Kita, umat Muslim, diajarkan untuk meninggalkan segala keraguan dan beralih pada keyakinan yang hakiki, dari kegelapan menuju cahaya, dari kesia-siaan menuju kebenaran, dari inkonsistensi kepada istiqamah. Maka kita membasahi lisan kita dengan doa “Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinik” (Wahai Yang Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu). Kita pun bersyukur karena ajaran Islam tidak pernah berbenturan dengan kenyataan, sehingga kita tidak perlu terus-menerus dihantui kegamangan.