Di antara hukuman dari Allah Ta’ala terhadap orang-orang yang datang ke kajian bukan karena memang ingin mencari ilmu dan mengamalkannya secara tulus melainkan karena siapa pematerinya, atau karena ingin jualan baju, buku dan benda lainnya saja atau lebih dominan untuknya, adalah:
- LUPA fawaid yang disampaikan pemateri.
- Masa bodoh dengan ketidakmengertian istilah-istilah syar’iy yang sering diperdengarkan ulama/pemateri, yang efeknya: merasa tidak harus belajar secara runut agar mendalami lagi.
- Mengukur kebenaran dari individu, sehingga:
- “Apa yang dikatakan ustadzku pasti benar, dan ustadzmu belum tentu.”
- Bagi penjual: Lebih mengenang keuntungan atau kerugian dagang di kajian ust. Fulan di masjid fulan dibandingkan fawaid ilmiahnya.
- dan lain-lain.
Merupakan hal yang rasional sekali, jika memang seseorang benar dan jujur mau mendalami ilmu -terlebih ilmu syariah-, maka ia lebih memilih belajar secara runut, tertib dan teratur dibanding secara random ikut ini itu, comot sana comot sini.
Sekarang tanyakan pada ikhwan/akhwat yang hobi berburu kajian tematik -dan minat kajian mereka patut disyukuri-, apa saja fawaid yang didapat dari kajian pekan lalu, sebulan lalu atau apa yang sudah dihafal dari kajian-kajian yang berlalu?
Ini untuk ikhwan/akhwat yang datang cuma pasang telinga, malas mencatat, boro-boro bawa pulpen dan nota. Padahal usia mereka masih muda, terlalu kasihan kalau otak terlalu dimanja untuk tidak menghafal dan mengingat, dan terlalu sayang kalau bertahun-tahun ngaji tapi tidak ada efektifitas selain ‘saya kenal ustadz fulan’, ‘saya pernah ngaji sama ustadz fulan’.
Dan please, ini gambaran realitas lapangan. Bukan mengada-ada. Kita sering gedar-gedor agar semakin pada menyadari. Kita berkeleus-keleus menyindir agar yang masih tertidur mau bangun.
Kalau dikatakan, “Please stop this! Tidak semua orang mau disindir.”
Maka dikatakan padanya, “Kita tidak mencari keridhaan semua orang. Yang mau diajak sadar, maka syukurlah dan nikmati. Yang tidak mau, maka syukurlah dan lihat saja hasilnya nanti.”
Di antara keterperosokan pemikiran adalah pemikiran bahwa kajian kitab itu hanya untuk orang-orang spesialis, atau yang minatnya tinggi sekali, atau yang punya jam kosong banyak. Ini bisa jadi hasil upaya Iblis agar orang-orang awam (meski tidak merasa awam) teruuuuus saja awam dengan belajar secara acak pekanan random yang penting hadir saja.
Ya. Alasan mengapa banyak ustadz yang -sepertinya- spesialis kajian tematik adalah agar orang-orang awam semakin banyak yang tertarik mengaji. Dan itu niatan mulia. Tapi disasternya: mereka akan terus berpemikiran bahwa yang namanya ngaji ya ngaji tematik; adapun ngaji kitab itu mah buat orang-orang khusus saja. Ini disebabkan miskinnya penjualan (marketing) kompor kajian kitab. Beda dengan kajian tematik yang digembar-gembori luar biasa.
Makanya, banyak kita temukan Fulan dan Fulan bertahun-tahun ngaji tapi tingkat keawamannya masih tinggi. Ditanya ini itu pun jawabannya tidak mencerminkan bertahun-tahun kenal Sunnah dan pengajian. Atau seringkali diam. Tidak dididik runut. Tidak dikompori untuk menghafal.
Karena dari dulu, pikirnya: “Sudah mau datang ke pengajian saja, sudah syukur.”
Dan kalau begini terus, awam akan terus menjadi awam.
Sementara kita lihat juga para awam datang ke kajian pun sekadar hadir nyimak tanpa pegang pena dan nota, seolah-olah mereka ini ulama era awal Islam yang sekali nyimak bisa ingat berkala-kala. Bahkan mungkin mereka ini lebih hebat lagi; karena ulama hadits zaman Salaf di masa mencari ilmu, mereka membawa catatan dan pena. Hebat orang awam sekarang. Dan lagi-lagi mungkin pikirannya:
“Sudah mau datang ke pengajian saja, sudah syukur.”
Beda dengan siapapun dia dan apapun kajiannya (baik tematik terlebih kitab) yang membawa catatan, apalagi kitab kajian. Coba tanya sepekan setelah kajian tentang fawaid kajian sepekan lalu, rata-rata masih ingat. Karena:
Biasanya pemburu kajian tematik, berburu kajian karena siapa pematerinya, sementara pemburu kajian kitab, berburu kajian karena kitab apa yang dikaji.
Maka, beda hasil. Sebagaimana beda pula bawaan. Anak pengajian kajian kitab, normalnya ya bawa kitab yang dikaji. Runut, tertib, kadang disiplin, jelas materinya, bisa muraja’ah, bisa dihafal, efektif dan seterusnya. Tidak asal datang. Bukan juga karena siapa pematerinya.
Dan insya Allah, semoga di Jakarta kajian kitab atau kajian runut yang jelas berantai semakin subur. Sehingga tidak perlu lagi sering-sering mendatangkan ustadz-ustadz jauh. Sekeleus-keleus saja. Wong di Jakarta sudah kebanyakan ustadz kok (baca: ustadz kajian kantoran dan pengajian ibu-ibu), masak nyari-nyari yang di luar kota?
Jakarta, semoga memiliki semua ini:
[1] Kajian Tafsir as-Sa’di
[2] Kajian Tafsir Jalalain
[3] Kajian Tafsir Ibnu Katsir
[4] Kajian Tafsir al-Aisar
[5] Kajian Tafsir ath-Thabari
[6] Kajian Tafsir al-Qurthubi
[7] Kajian Ushul at-Tafsir
[8] Kajian Ulumul Qur’an
[9] Kajian Ulumut Tajwid
[10] Kajian kitab-kitab Aqidah, bahkan kalau bisa sampai ada qira’at Minhajus Sunnah
[11] Kajian Shahih al-Bukhariy, Muslim, Sunan an-Nasa’ii, Aby Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah
[12] Kajian al-Muwaththa’
[13] Kajian Qira’ah Syarh Shahih Muslim
[14] dan masih banyak lagi
Jadi, taman-taman surganya jelas, teratur, orang bisa datang sambil bawa bekal kitab persiapan, bukan taman-taman surga yang kemarin begini besok begitu secara random.
Panas-panas begini, sama sekali tidak menihilkan peran dan manfaat besar kajian tematik. Tapi, kita benar-benar berhasrat mengungkapkan ketimpangan dalam tarbiyah umat menuju ilmu syariah. Selain itu, ada beberapa ‘kecurangan’ di realita.
Dan kita tidak perlu berpura-pura tidak tahu kecurangan-kecurangan yang sangat nampak.
Ustadz Hasan Al Jaizy, Lc.