Ini sebuah cerita tentang teh kehidupan. Walau pada mulanya saya tidak begitu dalam memahami pesan cerita ini, namun sekarang cerita ini menjadi ruh dan pandangan saya dalam menjalani hidup. Bahkan sampai saat ini. Alkisah ada seorang guru yang sangat disegani oleh para siswa. Setiap ia mengajar di depan kelas, para siswa sangat antusias mengikuti proses pembelajaran yang ditawarkan oleh beliau. Mulai dari mendengarkan segala pembahasan, hingga banyaknya pertanyaan yang muncul ketika sesi tanya jawab dibuka. Sang guru pun tidak pernah lalai melekatkan senyum di wajahnya saat berinteraksi dengan para siswa.
Suatu ketika, guru tersebut masuk ke dalam kelas dengan keadaan yang tidak biasa. Ia membawa teko, dan berbagai macam gelas. Teko tersebut berisi teh hangat. Ia juga membawa sejumlah gelas yang beraneka ragam, ada yang terbuat dari kaca, plastik dan alumunium. Di antara ketiga jenis gelas tersebut, gelas kaca yang dibawa olehnya nampak berbeda, ia terlihat berkilau seperti halnya gelas yang harganya cukup mahal. Sedangkan gelas plastik nampak kusam, karena warnanya agak luntur. Walau ketiga jenis gelas tersebut sudah dicuci bersih, namun gelas plastik masih nampak tidak begitu menarik.
Guru tersebut berdiri di depan kelas, kemudian mengucapkan salam. “Wa’alaykumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh” Serentak salamnya dijawab oleh para murid dengan antusias menanti apa yang akan disampaikan oleh sang guru. Beberapa saat kemudian, guru tersebut mengajak para murid di dalam kelas untuk menikmati teh hangat yang dibawanya. Sontak, para murid teriak kegirangan mendengar ajakan ini. Sebelum mereka menikmati teh, sang guru menjelaskan bahwa ia membawa tiga jenis gelas yang berbeda. Para siswa bebas memilih gelas yang paling disukai.
Tanpa menunggu lama, para murid berhamburan dan bergegas mengambil gelas-gelas yang sudah tersedia di depan kelas. Walau sebenarnya jumlah gelas mencukupi, namun mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan gelas yang mereka ingini. Tentu saja, secara kasat mata. Gelas kaca lebih banyak diminati dibandingkan gelas alumunium atau plastik. Sehingga terjadi perebutan sesama murid untuk mendapatkan gelas kaca. Tanpa diduga, kondisi anak-anak tidak dapat dikontrol. Saling dorong terjadi di antara mereka dan menyebabkan salah satu dari mereka memecahkan gelas kaca. Beberapa saat kondisi kelas hening. Nampak beberapa anak merasa bersalah karena menganggap dirinya sebagai biang keladi dari kejadian ini.
“Pak, maaf… Kami telah memecahkan gelas yang bapak bawa” ujar salah satu dari mereka dengan sangat polos. Tetapi ternyata garis wajah sang guru tidak berubah. Masih melekatkan senyum seperti biasa. Kemudian ia diam sejenak dan meminta para murid untuk kembali ke tempat duduk semula. Beberapa murid nampak terheran dengan sikap sang guru yang masih tenang tanpa sedikitpun mengguratkan wajah emosionalnya.
“Anak-anak, ada satu pelajaran penting yang bisa ambil di pagi hari ini. Tidak tentang gelas yang pecah, bukan pula terkait perebutan gelas kaca yang menyebabkannya pecah.” Beberapa anak masih belum memahami betul tentang apa yang disampaikan.
“Ingatkah anak-anakku, tentang ajakan bapak kepada kalian di awal tadi?” Tanya guru bijak itu. Kelas masih nampak hening, namun tiba-biba seorang anak angkat bicara.
“Ingaaat…Bapak mengajak kami untuk minum teh.”
“Jawaban yang bagus, Nak. Kemudian, mengapa kalian fokus untuk berebut mendapatkan gelas kaca? Padahal gelas-gelas yang bapak bawa semuanya digunakan untuk meminum teh.”
Beberapa anak terdiam dan sebagian mulai memahami tentang pelajaran yang ingin disampaikan oleh pak guru, “ini tentang kehilangan orientasi dan tujuan hidup, anak-anak…”
Ia melanjutkan, “Seringkali kita lalai akan tujuan hidup kita sebenarnya. Seperti yang telah terjadi barusan, tujuan utama kita adalah untuk meminum teh. Namun, saya mencoba mengalihkan fokus dengan membawa tiga gelas yang beraneka ragam, dari yang paling bagus hingga yang nampak biasa saja. Ternyata kalian terlalaikan dengan gelas, hingga melupakan tujuan awal untuk meminum teh.”
Saya rasa, hal serupa akan kita dapati ketika berbicara bagaimana kita membangun negeri ini dengan cinta. Mencintai Indonesia dengan segenap upaya dan tenaga yang kita punya untuk mengharumkan namanya. Jangan sampai kita kehilangan fokus dan tujuan besar kita. Waktu, pikiran, tenaga, bahkan mimpi kita tentang Indonesia itu sendiri merupakan sarana. Itu semua merupakan gelas. Sedangkan teh kehidupan yang senantiasa harus kita nikmati adalah proses pengabdian kepada Allah di dalam setiap upaya kita bersama sarana apapun yang Allah berikan kepada kita.
Oleh: Saif Fatan