Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Sang Khaliq. Maka, wajar jika ada hal-hal yang tidak diketahui oleh makhluk, tapi diketahui oleh Sang Pencipta. Oleh karena itu, Allah Yang Maha Pengasih memberikan manusia suatu petunjuk jalan agar ia mampu menjalankan fungsi kemanusiaannya, beribadah dan menjadi khilafah, yakni dengan risalah yang disampaikan oleh para rasul yang mulia. Risalah yang sempurna itu, risalah Islam, telah diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan perantaraan wahyu.
Petunjuk jalan dari Allah kepada manusia ini adalah Al Qur’an, wahyu yang telah terkodifikasi sedemikian rupa. Sebuah kitab penutup dari kitab-kitab langit sebelumnya. Sebuah kitab yang menjadi petunjuk seluruh gerak dan langkah manusia secara umum di dunia. Sebagai petunjuk menuju tujuan akhir manusia, mardhatillah.
“(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 138)
Al Qur’an merupakan petunjuk jalan sejak zaman Rasulullah hingga hari kiamat nanti, meskipun kehidupan manusia itu senantiasa dinamis. Maka banyak kita dapati petunjuk dalam Al Qur’an itu disampaikan secara umum, dan beberapa bagian diantaranya kita dapati secara rinci seperti nikah dan waris. Rasulullah sebagai pembawa risalah terakhir ini menjadi penjelas kandungan Al Qur’an. Kita dapati perintah shalat ada di dalam Al Qur’an, tapi teknis pelaksanaannya kita dapati dari Rasulullah. Dan muslim sejati adalah yang mengikuti Al Qur’an dan apa yang dikatakan oleh Rasulullah, tanpa meninggalkan salah satu diantara keduanya.
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar, dan kami patuh’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)
Siapa saja yang melupakan, melalaikan, meremehkan, mendustakan, dan tidak mengikuti apa yang diperintahkan Al Qur’an dan Sunnah, maka ia akan berada dalam kesesatan yang nyata. Ia akan berada dalam kesesakan dan kesempitan perasaan dan kehidupan. Mata hatinya akan buta terhadap apa yang menjadi kebenaran atau kebathilan, dan akhirnya hati pun menjadi keras. Ia telah menjadi rekan Iblis kafir yang tidak mau mengikuti petunjuk Allah. Bahkania juga telah melakukan kezhaliman dan penghinaan terhadap dirinya sendiri.
Ketahuilah bahwa Islam, dengan Al Qur’an sebagai petunjuk jalannya, adalah risalah langit bagi manusia di bumi. Ia menunjukkan arah peradaban yang harus dibangun oleh manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya. Dengan mendasarkan semua gerak dan langkah kepada Al Qur’an dan Sunnah, sudah terbukti mampu memunculkan satu generasi paling gemilang dalam sejarah peradaban manusia. Generasi ini, generasi rabbani qur’ani, adalah generasi shahabat. Sejarah telah mencatat kegemilangan mereka dengan tinta emas dan darah sekaligus.
“Sebaik-baik manusia,” kata Rasulullah dalam Shahihain, “Adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi kemudian datang kaum yang syahadahnya salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului syahadahnya.”
Generasi shahabat ini adalah generasi yang paling dekat interaksinya dengan Rasulullah, yang paling tahu tentang ayat-ayat Al Qur’an, yang paling memahami tentang turunnya ayat-ayat Al Qur’an, yang paling banyak melihat keseharian Rasulullah, yang jika salah maka segera diluruskan langsung oleh Rasulullah.
“Dengan demikian,” kata Ustadz Sayyid Quthb, “Hanyalah Al Qur’an yang menjadi sumber mereka. Darinya mereka memetik pelajaran dan dengannya pula mereka diubah menjadi tokoh-tokoh besar. Hal itu bukan terjadi karena pada saat itu tidak memiliki peradaban, budaya, ilmu pengetahuan, buku-buku rujukan, atau kajian-kajian ilmiah; sama sekali bukan!”[1]
Generasi shahabat adalah generasi yang mampu menerjemahkan dan mengejawantahkan nilai-nilai rabbani dari Al Qur’an dalam kehidupan. Mereka istimewa karena mampu menyentuh nilai-nilai langit, namun kaki mereka tetap menginjak bumi. Mereka mampu menjadi manusia-manusia ideal walaupun tetap makan dan berjalan-jalan di pasar.
Merekalah prototipe manusia sempurna (insan kamil). Manusia yang mampu menjalankan dua fungsi kemanusiaannya secara optimal. Diperkokoh dengan kekuatan kolektif dari sebuah masyarakat yang berorientasi ketuhanan, rabbaniyah. Insan kamil merupakan manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, ruhaniyah, intuisi, kata hari, akal sehat, fithrah, sosial, aktivitas kemanusiaannya. Insan kamil memiliki beberapa ciri yang menyempurnakan kemanusiaannya, yakni berfungsi akalnya secara optimal, berfungsi intuisinya, mampu menciptakan budaya, menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan (rabbaniyah), berakhlak mulia, dan berjiwa yang seimbang.[2]
Dan cara utama untuk mewujudkan manusia yang sempurna adalah dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)