Guru

Filosofi guru dalam standar proses pendidikan kembali pada falsafah Jawa. Guru itu ‘digugu lan ditiru’. Guru harus mampu memberikan keteladanan agar ditiru. Guru harus mampu membangun kemauan, mengembangkan potensi dankreativitas murid, karena kemampuan itu yang menjadikan guru digugu.

Standar proses tersebut menunjukkan kekayaan falsafah di Indonesia. Tapi sayangnya bangsa ini saat ini sedang minder dengan dirinya. Seringkali bangsa ini menganggap bawaan asing itu lebih baik daripada falsafah bangsa sendiri. Lihat saja kasus sodomi di Jakarta International School (JIS) misalnya. Kasus ini merupakan titik kulminasi membiarkan karakter dan keluhuran falsafah bangsa diserahkan kepada asing.

Bukan hanya itu,banyak guru yang tidak mampu menjalankan perannya untuk ‘digugu lan ditiru’ sehingga wajar kalau ilmu yang disampaikan tidak berbekas pada muridnya. Guru seharusnya mampu menjadi teladan yang menginspirasi muridnya untuk mampu mempertahankan diri dengan keluhuran nilai di jaman apapun dan dimanapun.

Guru harus pintar dan tidak boleh kehilangan kepintarannya. Teringat ‘orasi Pak Joni’ (guru Matematika saya di SMA 1 Trenggalek) yang begitu mendadak karena tak ada satu anak pun di kelas saya yang mau menjadi guru.

“Jika anak-anak pintar seperti kalian tidak ada yang mau menjadi guru, apakah kalian rela anak-anak kalian, anak-anak bangsa ini, diajar oleh orang yang lebih bodoh daripada kalian?”

Jika dibanding profesi lain, seharusnya guru menjadi profesi yang paling prestisius. Karena hasil kerja dan pikirannya menembus batas zaman.

Wajar jika konon Kaisar Jepang pertama kali menanyakan jumlah guru yang hidup pasca bom Hirosima-Nagasaki.

Jadi, marilah menjadi guru, setidaknya untuk anak-anak kita dan anak-anak di lingkungan sekitar kita. Oleh karenanya, adalah keharusan bagi setiap orang tua mempelajari cara mendidik, agar setiap orang tua benar-benar pantas untuk ‘digugu lan ditiru’.

Wirawan Purwa Yuwana