1. Mencukur rambut
Seseorang yang melaksanakan ihram tidak boleh mencukur rambutnya walaupun sedikit, begitu juga tidak boleh mengguntingnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
“Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya.” (QS Al Baqarah: 196)
Begitu juga tidak boleh mencukur dan menggunting rambut-rambut lain yang ada pada anggota tubuhnya. Begitu juga tidak boleh memotong kuku walaupun hanya sedikit, karena itu termasuk menghilangkan bagian dari anggota tubuhnya dan itu dilarang, sebagaimana menghilangkan rambut.
Barang siapa yang terpaksa mencukur rambutnya atau memotong kukunya, maka hal itu dibolehkan, tetapi dia harus membayar fidyah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ka’ab bin ‘Ajrah dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwanya beliau bersabda kepadanya:
كَأَنَّ هَوَامَّ رَأْسِكَ تُؤْذِيكَ فَقُلْتُ أَجَلْ قَالَ فَاحْلِقْهُ وَاذْبَحْ شَاةً أَوْ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ أَوْ تَصَدَّقْ بِثَلَاثَةِ آصُعٍ مِنْ تَمْرٍ بَيْنَ سِتَّةِ مَسَاكِينَ.
“Sepertinya kutu pada rambut kepalamu telah melukaimu.”Saya menjawab, “Benar.” Beliau lalu bersabda: “Cukurlah rambutmu. Kemudian sembelihlah seekor kambing, atau kamu berpuasa tiga hari, atau bersedekah sebanyak tiga sha’ kurma untuk dibagikan kepada enam orang miskin.” (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Daud)
Jika dia mencukur rambutnya tanpa ada udzur, maka wajib baginya membayar fidyah secara sempurna, dan dia terkena dosa. Jika dia hanya mencabut satu atau dua helai rambut, atau memotong satu atau dua kuku, maka harus dilarang, dan dia wajib bersedekah dengan beberapa dirham, atau makanan sebanyak itu, dan belum wajib membayar fidyah.
Orang yang sedang melakukan ihram tidak dilarang untuk menyisir rambut dan jenggotnya, tetapi caranya harus pelan-pelan. Jika ada rambut yang terjatuh, maka tidaklah mengapa. Dan dia boleh juga untuk menggaruk kepalanya, jika hal itu dibutuhkan. Begitu juga dibolehkan baginya untuk menyuci rambutnya.
2. Menutup kepala
Seseorang yang sedang melakukan ihram tidak dibolehkan menutup kepalanya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas tentang orang yang mati dalam keadaan berihram:
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا
“Mandikanlah ia dengan air yang dicampur dengan daun bidara, kemudian kafani dengan kedua kain ihramnya, dan jangan tutupi kepalanya, karena Allah akan membangkitkannya kelak di hari kiamat dalam keadaan membaca Talbiyah (sedang mengerjakan haji).” (HR Bukhari dan Muslim )
Tetapi dia tidak dilarang untuk berteduh di bawah payung atau di dalam mobil atau yang lainnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ummu Hushain:
عَنْ أُمِّ الْحُصَيْنِ جَدَّتِهِ قَالَتْ حَجَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ فَرَأَيْتُ أُسَامَةَ وَبِلَالًا وَأَحَدُهُمَا آخِذٌ بِخِطَامِ نَاقَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْآخَرُ رَافِعٌ ثَوْبَهُ يَسْتُرُهُ مِنْ الْحَرِّ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ
“Dari Ummu Hushain neneknya, ia berkata; “Aku ikut menunaikan haji bersama-sama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika haji wada’. Aku melihat Bilal dan Usamah; yang satu memegang tali Unta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan yang satu lagi memayungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan bajunya dari sengatan terik matahari sampai beliau selesai melempar Jamrah Aqabah.” (HR. Muslim)
Begitu juga, dia tidak dilarang untuk membawa sesuatu yang diletakkan di atas kepalanya, jika memang tidak dimaksudkan untuk menutupinya.
Begitu juga, dia tidak dilarang untuk berteduh di rumah atau di dalam tenda atau di bawah pohon atau yang sejenisnya.
Begitu juga, dia tidak dilarang untuk menutupi wajahnya, seperti menutupi wajahnya dengan kain atau sejenisnya.
3. Memakai pakaian yang berjahit
Tidak dibolehkan bagi yang sedang melakukan ihram untuk menggunakan sesuatu yang berjahit dan dipakaikan di salah satu anggota badannya, seperti celana, baju, baju kurung dan sejenisnya. Tetapi dia tidak dilarang memakai sesuatu yang berjahit dan tidak membentuk salah satu anggota tubuh. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنْ الثِّيَابِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَلْبَسُوا الْقُمُصَ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ وَلَا الْبَرَانِسَ وَلَا الْخِفَافَ
“Dari Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perihal pakaian Ihram. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab: “Tidak boleh pakai kemeja, serban, celana, peci dan sepatu.” ( HR Bukhari dan Muslim )
Jika dia menggunakan sesuatu yang berjahit, maka wajib baginya membayar fidyah, kecuali kalau dia memakainya dengan cara tidak dipakainya sebagaimana biasanya, seperti melilitkan pakaian panjang atau baju di tubuhnya, karena seperti ini tidak dikatagorikan memakai baju.
Ada beberapa pengecualian dari larangan di atas, yaitu orang yang tidak mendapatkan sarung (kain ihram bagian bawah , maka tidak mengapa dia memakai celana). Dan barang siapa yang tidak mendapatkan sandal, maka tidak mengapa dia memakai khuf, yaitu sandal yang menutup mata kaki. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِعَنْ
“Dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Barangsiapa tidak mendapat sarung (ketika berihram), hendaknya ia mengenakan celana panjang, dan siapa yang tidak mendapatkan sandal, hendaknya ia mengenakan sepatu.” ( Bukhari dan Muslim )
Bagi siapa yang mendapatkan udzur, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya. Hukum ini berbeda dengan hukum bagi orang yang mencukur rambut karena udzur. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa mencukur merupakan sesuatu pekerjaan yang menghilangkan rambut, adapun dalam masalah ini, hanya memakai sesuatu saja. Oleh karenanya bagi yang mencukur rambut karena udzur, wajib membayar fidyah, sedang yang memakai pakaian yang berjahit karena udzur, tidaklah wajib baginya membayar fidyah.
Jika dia memakai pakain ihram: bagian bawah dan atas yang tidak berkancing atau tidak terdapat penitinya, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Umar: “ Jangan anda menggulungkan sesuatu sedang anda dalam keadaan ihram “, maka tidak masalah jahitan yang ada di dalamnya sebagaimana telah dijelaskan akan arti pakaian yang berjahit, begitu juga dia boleh memakai ikat pinggang.
Dibolehkan baginya untuk mencuci kain ihramnya dan menggantikannya, jika dia menghendaki hal itu karena ada kotoran yang menempelnya atau karena sebab lain.
Adapun untuk perempuan, dibolehkan baginya untuk memakai pakaian berjahit yang disukainya. Tidak ada warna khusus dari pakaian yang dipakainya. Hanya saja dia tidak memakai cadar, termasuk di dalamnya penutup kepala, begitu juga tidak boleh memakai sarung tangan. Hal ini berdasarkan hadits:
وَلَا تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْحَرَامُ وَلَا تَلْبَسْ الْقُفَّازَيْنِ
“Dan jangan seorang wanita muhrim memakai kain penutup mukanya (cadarnya) dan jangan pula memakai sapu tangan.”
Begitu juga, dia tidak boleh menutup wajahnya , kecuali dalam keadaan dibutuhkan, seperti udara yang panas, atau adanya laki-laki yang bukan muhrimnya, hal ini berdasarkan perkataan Aisyah Radhiyallahu ‘Anh:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَنَحْنُ مُحَرِّمَاتُ إِذَا دَنَا مِنَّا الرُكْبَانُ سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا عَلَى وَجْهِهَا – أوْ قَالَتْ خِمَارَهَا عَلَى وَجْهِهَا – فَإذَا بَعِدُوا كَشَفْنَا
“Kami bersama-sama nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sedangkan kami dalam keadaan berihram, apabila orang-orang yang berkendara melewati kami, diantara kami ada yang menutupkan jilbabnya sampai ke wajahnya – atau berkata: menututup kepala sampai menutupi wajahnya – dan apabila mereka (para mengendara) sudah jauh kami membukanya kembali.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
4. Memakai wewangian
Seseorang yang sudah berniat ihram dilarang menggunakan wewangian di bagian tubuhnya atau di pakaiannya berdasarkan hadits Ibnu Abbas:
وَلَا تُمِسُّوهُ طِيبًا
“Janganlah diberi wewangian.”
Maka wewangian tersebut dilarang digunakan di tubuh dan pakaiannya, begitu juga dilarang untuk dijadikan di dalam makanannya seperti za’faran, begitu juga tidak boleh sengaja menghirup wewangian tersebut.
Adapun minyak cream dan sabun serta apa-apa yang dipakai untuk menyuci rambut (shampoo), boleh dipakainya, walaupun baunya harum, selama tidak dimaksudkan untuk wewangian, seperti Lux dan Nieva. Sebaliknya minyak cream, sabun dan shampoo yang dimaksudkan untuk wewangian, maka hal itu dilarang.
Yang jelas, kalau ihramnya dijaga dari hal-hal seperti itu tentunya akan lebih sempurna. Jika dia ragu terhadap sesuatu yang harum apakah termasuk dalam katagori wewangian atau tidak, maka lebih baik dia tidak menggunakannya sebagai bentuk wara’ untuk menjaga ihramnya. Walaupun pada dasarnya hal itu tidak diharamkan.
Tidak dilarang juga sesuatu yang mempunyai bau harum, selama itu bukan wangi-wangian, seperti daun ni’na’ dan buah-buahan atau sejenisnya. Begitu juga tidak dilarang untuk mencuci rambutnya dan memandikan kepalanya, serta menghilangkan bau atau kotoran dengan mandi atau sejenisnya.
5. Melamar dan melakukan akad nikah
Seseorang yang sedang melakukan ihram, tidak dibolehkan untuk menikah atau menikahkan orang, ataupun melamar, berdasarkan riwayat Muslim dari Utsman bahwa nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَسَلَّمَ لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا يَخْطُبُ
“Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikahkan, dinikahkan dan meminang.”
Begitu juga, tidak boleh menjadi wakil di dalam menikah. Jika dia melaksanakan pernikahan, maka nikahnya batal dan tidak sah, tetapi tidak wajib membayar fidyah. Inilah satu-satu larangan dalam ihram, jika dilanggar tidak diwajibkan membayar fidyah.
Tetapi seorang suami tidak dilarang untuk rujuk pada istrinya, karena istri yang dicerai dengan thalaq raj’I statusnya masih istrinya. Maka rujuk kepada istrinya dikatagorikan mempertahankan istri, bukan melakukan akad.
6. Jima’ (melakukan hubungan seks)
Seseorang yang sedang ihram dilarang untuk menggauli istrinya, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“Barang-siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan menger-jakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS Al Baqarah: 197)
Ibnu Abbas berkata dalam menafsiri ayat dia atas: “Ar Rafats adalah jima’ (melakukan hubungan seks)
Barang siapa yang melakukan hubungan seks dengan istrinya sebelum tahallul pertama, maka akan terkena lima sangsi:
- Rusaknya ibadah haji
- Wajib menyempurnakan haji, walaupun telah dinyatakan rusak
- Wajib menggantikannya (mengqadha’) pada tahun depan
- Harus dipisah dengan pasangannya dan tidak boleh berkumpul dengannya dalam satu tenda dan tidak boleh bersamanya di dalam kendaran
- Menyembelih unta
- Jika telah tiba tahun depan, maka kamu dan istrimu harus haji lagi, masing-masing harus menyembelih kurban, jika kalian berdua sampai pada tempat di mana kalian melakukan hubungan badan, maka kalian berdua harus berpisah hingga kalian melakukan tahalul.”
Adapun kewajiban menyembelih unta dasarnya adalah apa yang telah ditetapkan oleh para sahabat, seperti Ibnu Abbas.
Adapun yang melakukan hubungan seks sesudah tahallul pertama, maka hajinya tetap sah, dan diwajibkan bagi keduanya untuk menyembelih unta, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas kepada seorang laki-laki yang menggauli istrinya sebelum thawaf Ifadhah (yaitu thawaf pada hari penyembelihan), mereka berdua harus menyembelih unta dan bagi keduanya tidak usah menggantikan hajinya tahun depan.
Adapun yang melakukan hubungan seks dalam ibadah umrah sebelum thawaf, maka rusaklah umrahnya, dan dia wajib menggantikan umrahnya tersebut serta menyembelih kambing.
7. Muqaddimah jima’
Seseorang yang sedang melakukan ihram dilarang juga untuk melakukan muqaddimah jima’, karena larangan untuk melakukan hubungan seks berarti juga laranga n untuk mengerjakan sarana yang mengantarkan kepada hubungan seks, sedang orang yang sedang berihram dilarang untuk melampiaskan syahwatnya.
Jika dia melakukan sesuatu dari muqaddimah jima’, seperti menyentuh ( tubuh pasangannya ) kemudian keluar air maninya, atau mencium atau bercumbu dengannya tanpa ada hubungan seks, kemudian keluar air maninya, maka dia wajib menyembelih unta, karena yang dikerjakannya merupakan muqaddimah jima’. Tetapi hajinya tidak rusak, karena tidak melakukan hubungan seks. Jika dia melihatnya terus dan keluar air maninya, atau melakukan onani, maka wajib menyembelih unta, hal itu diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Dan jika tidak keluar mani, maka wajib menyembelih kambing.
Jika dia tidur dan bermimpi basah, atau melamun kemudian keluar air mani, maka tidak ada denda baginya, hanya saja hendaknya dia menjaga matanya dan memikirkan hal-hal yang bermanfaat saja.
8. Membunuh binatang buruan yang di darat
Seseorang yang sedang melakukan ihram dilarang untuk berburu binatang darat yang halal dimakan, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا
“Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.” (QS Al Ma’idah: 96)
Dia dilarang juga membantu atau menunjukkan orang yang sedang berburu, karena dia juga harus ikut menanggung. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” (QS Al Ma’idah: 95)
Hal itu menunjukan bahwa seseorang yang sedang melakukan ihram tidak boleh melakukan sesuatu yang disebut di atas.
Sebagaimana ia dilarang untuk berburu, maka dia dilarang untuk mengambil telur binatang buruan.
Diharamkan juga baginya untuk memakan hasil buruannya, atau yang dia tunjukkan dari binatang buruan tersebut, atau binatang buruan yang diburu untuknya. Hal ini berdasarkan hadits Jabir:
عنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صَيْدُ الْبَرِّ لَكُمْ حَلَالٌ مَا لَمْ تَصِيدُوهُ أَوْ يُصَدْ لَكُمْ
“Dari Jabir bin Abdullah radliallahu ‘anhu berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hewan buruan darat adalah halal bagi kalian selama kalian bukan yang berburu atau tidak diburu untuk kalian.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
Tetapi dia tidak dilarang untuk berburu binatang yang hidup di laut, sungai, mata air, danau berdasarkan firman Allah:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS Al Ma’idah: 96)
Kecuali jika berada di Haram, maka dia dilarang karena sedang berada di area Haram, bukan karena sedang ihram.
Inilah hal-hal yang dilarang bagi yang sedang melakukan ihram sesuai dengan dalil-dalil yang ada, maka selain itu tidak dilarang.
Maka orang yang sedang ihram tidak dilarang untuk mandi jika hal itu dibutuhkannya, atau mengganti pakaiannya.
Begitu juga tidak dilarang untu bercermin, atau memakai alat-alat pembersih atau berbagai jenis shampoo yang tidak dicampuri dengan wangi-wangian. Begitu juga tidak dilarang untuk melakukan transaksi jual beli untuk bisnis. Ini sesuai dengan firman Allah:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS Al Hajj: 28)
Selayaknya bagi orang yang sedang melakukan ihram untuk menjauhi dari semua jenis maksiat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الْحَجُّ أَشْهُرُ مَّعْلُومَاتُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang-siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan menger-jakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (QS Al Baqarah: 197)
Maksiat sebagaimana diharamkan pada setiap keadaan, maka pada waktu ibadah haji tentunya larangannya lebih besar, agar seseorang benar-benar sempurna menghadap Allah di dalam melakasanakan ibadah yang wajib ini dan bisa memperbaiki ibadah kepada-Nya. Oleh karenanya, tersebut di dalam hadits:
عن أَبَي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa melaksanakan haji lalu dia tidak berkata-kata kotor dan tidak berbuat fasik maka dia kembali seperti hari saat dilahirkan oleh ibunya. ” (HR Bukhari dan Muslim)
Begitu juga dianjurkan untuk menghindari percekcokan dengan orang lain, dan menjauhi dari perkataan jorok. Selain itu, hendaknya dia juga menghindari debat kusir ketika berbicara tentang haji, perdebatan yang dasarnya hanya ingin menangnya sendiri tanpa ada keinginan untuk mengikuti kebenaran dan belajar.
Haji mabrur yang sempurna adalah menghindari perkataan yang tidak ada manfaatnya, serta menjauhi hal-hal yang bisa menimbulkan kesalahan. Oleh karena itu, kita dapatkan sebagian salaf jika sedang melaksanakan ihram, mereka seperti ular yang bisu, karena meninggalkan obrolan dan banyak bicara.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan bagi setiap yang melaksanakan ibadah haji, untuk memakai baju ihram dan menghindari dari larangan-larangan yang sebenarnya bukan sekedar larangan saja, tetapi mempunyai makna lain, yaitu bahwa seorang yang sedang melaksanakan ibadah haji ketika dia meninggalkan tanah airnya, meninggalkan segala kesibukannya, menjauh dari keluarganya, dan menanggung beban dan rasa capai, maka hal itu akan lebih sempurna jika dia melepaskan seluruh pakaian dan perhiasan serta meninggalkan seluruh urusan dunia dengan segala tetek bengek dan kesenangan di dalamnya, dia tidak pernah lepas dari mengucapkan dzikir dan talbiyah, mengumandangkan tauhid kepada Allah, menyambut panggilan-Nya serta terus berada di dalam ketaatan-Nya, dengan mendatangi rumah yang mulia (Ka’bah) seraya mengikuti jejak nabi yang mulia dengan kepala terbuka, rambut terurai, siap menghadapi segala tantangan dengan keadaan tetap merasa senang dan gembira karena Allah telah memilihnya untuk bisa melaksanakan ibadah ini, dan bergabung dengan rombongan lain seraya merendahkan diri di hadapan Allah dengan penuh rasa khusu’ dan beribadah kepada-Nya, bertaubat, menuju kepada Allah dengan penuh pengharapan.
Inilah ibadah yang sangat agung yang dikerjakan oleh seorang muslim dan dengannya hatinya akan menjadi baik, jiwanya akan menjadi tinggi, dan dia akan meninggalkan segala kesalahan serta mengerjakan segala kebaikan.