Selasa, 18 November 2014, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago mengemukakan bahwa pemberian uang Rp200 ribu kepada 15,6 juta keluarga miskin sudah cukup untuk menutupi pelemahan daya beli mereka. Menurut Andrinof, angka inflasi yang dialami rakyat miskin mencapai 4,4 persen, atau Rp150 ribu per bulan. Tanpa ragu Menteri Andrinof menyampaikan bahwa dengan duit Rp200 ribu itu, “Kami bahkan memberikan lebih.” Terus terang saya terhenyak membaca pernyataan itu.
Saya ingat, ketika pemerintahan SBY menaikkan harga BBM pada 22 Juni 2013 silam, pernyataan yang hampir mirip juga keluar dari mulut Menteri Keuangan (waktu itu) M. Chatib Basri. Menurut Chatib, garis kemiskinan kita waktu itu US$1,25 per hari, atau sekitar Rp450 ribu sebulan. Jadi, kalau setiap orang mendapatkan duit Rp150 ribu dari Bantuan Langsung Sementara (BLSM), menurutnya jumlah itu cukup besar. Lebih jauh ia mengatakan, duit sebesar itu cukup untuk makan, tapi tidak cukup untuk malas bekerja. Dengan duit BLSM, dia mengklaim bahwa jumlah orang miskin di Indonesia akan tetap terjaga angkanya, meskipun harga BBM dinaikkan.
Sekali lagi, kedua pernyataan semacam itu selalu membuat saya terhenyak.
Bagi Menteri Andrinof dan Tuan Chatib, sepertinya yang penting adalah rakyat kecil masih bisa makan. Keduanya sama sekali tidak menyinggung bagaimana efek kenaikan itu kepada kelangsungan ekonomi mereka. Jangan lupa, rakyat bukan hanya butuh makan, mereka juga punya hak untuk berusaha. Dan sementara daya beli serta modal mereka semakin tergerus karena inflasi, pada saat yang bersamaan kelas menengah kita sedang menikmati kenaikan tingkat suku bunga perbankan. Sungguh kontras sekali.
Setiap kali membaca pernyataan-pernyataan semacam dikemukakan Menteri Andrinof dan Tuan Chatib itu, saya selalu teringat kepada tulisan Soekarno di Majalah Fikiran Ra’jat No. 21, 18 November 1932. Dalam majalah yang dipimpinnya itu, yang dimaksudkan sebagai alat pendidikan bagi kaum Marhaen, Soekarno menulis artikel berjudul, “Orang Indonesia Tjoekoep Nafkahnja Sebenggol Sehari???”. Tulisan itu penuh kemarahan, kemarahan seorang pemimpin sekaligus seorang anak bangsa yang tidak terima manusia sebangsanya dihinakan oleh pejabatnya, apalagi oleh seorang pejabat pemerintahan kolonial.
Sumber kemarahan Soekarno tak lain adalah pernyataan Direktur Binnenlandsch Bestuur (BB), atau semacam “Menteri Dalam Negeri” (?) dalam pemerintahan kolonial Belanda, dalam sidang Raad van Indie, yang mengatakan bahwa, “ternjatalah, bahwa kini satoe orang jang dewasa bisa tjoekoep makan dengan sebenggol sehari.”
Soekarno menulis bahwa sang direktur tidak tahu bedanya antara TJOEKOEP dengan TERPAKSA TJOEKOEP. Sebelum Melését (istilah yang digunakan di Hindia Belanda untuk menyebut Malaise, atau Great Depression), tulis Soekarno, pendapatan kaum Marhaen sekitar 8 sen. Ketika Depresi Besar pecah pada akhir 1929, pendapatan itu telah merosot menjadi 4 sen sehari. Oleh karena itu maka pernyataan direktur BB bahwa kini (1932) rakyat cukup hidup dengan sebenggol (nilainya sama dengan 2,5 sen) sehari adalah sebuah pernyataan tengil dan culas.
Dengan mengutip data-data statistik yang dimuat dalam buku W. Huender, “Overzicht van de Economische Toestand der Inheemsche Bevolking van Java en Madoera” (1921), Soekarno memaparkan bahwa sebelum Depresi Besar jumlah penghasilan kotor (bruto inkomen) seorang kepala keluarga Marhaen adalah f 161 setahun (baca: 161 gulden). Dari jumlah itu, setelah dikurangi berbagai kewajiban, seperti pajak-pajak dan administrasi desa (desadiensten), yang jumlahnya bisa mencapai f 22,5 setahun, pendapatan bersihnya tinggal f 138,5 setahun.
Jumlah itu, menurut Soekarno, digunakan untuk menghidupi seluruh anggota keluarga, yang rata-rata terdiri dari lima orang per keluarga. Sehingga, setiap orang per hari mendapatkan jatah f 138,5 : (5 orang x 135 hari) = f 0,075 atau jika dibulatkan menjadi f 0,08, alias 7,5 atau 8 sen hari. Karena satu benggol nilainya sama dengan 2,5 sen, maka angka tadi nilainya sama dengan 3 sampai 3,2 benggol sehari. Dan angka itu digunakan untuk memenuhi seluruh jenis kebutuhan, mulai dari makan, pakaian, minyak tanah, memelihara rumah, dan semua kebutuhan lain.
Itu adalah kondisi sebelum Melését.
Menurut Majalah Economisch Weekblad, yang juga dikutip Soekarno, setelah Melését jumlahnya merosot menjadi 4 sen seorang sehari. Jadi, terang Soekarno, pada 1932 itu kondisinya rakyat TERPAKSA mengganjal perut dengan sebenggol sehari, “terpaksa, terpaksa, terpaksa!”, tegasnya. Jarak antara kondisi TJOEKOEP dengan TERPAKSA TJOEKOEP itu amat sangat jauhnya, kata Soekarno. Itu bahkan adalah gambaran dari dua dunia yang berbeda, yang sekaligus mewakili jurang antara kaum penjajah dengan kaum terjajah, antara kaum kolonisator dengan kaum gekoloniseerde.
Teranglah bahwa pernyataan sang direktur BB itu adalah pernyataan yang jahat sekali. Bahkan, untuk memperkuat ironi, Soekarno membandingkan pernyataan itu dengan uang ransum dalam penjara pemerintah kolonial sendiri. Sebagai bekas orang bui, Soekarno tahu betul angka-angka yang disebutkannya. Sebelum Melését, tulisnya, biaya ransum seorang tahanan adalah f 0,18 seorang sehari, atau 18 sen (sama dengan 7,2 benggol). Setelah Melését, jumlahnya turun menjadi f 0,14, alias 14 sen. Jadi, kehidupan rakyat Bumiputera oleh sang direktur BB standarnya telah diturunkan bahkan hingga di bawah standar kehidupan di dalam penjara sekalipun!
Secara tidak langsung, tulis Soekarno, direktur BB sebenarnya sedang mengatakan bahwa meski hidupnya sangat susah, rakyat Hindia Belanda toh masih bisa tetap bertahan hidup juga. Sebuah pernyataan yang culas dan jahat.
Bukan hanya Soekarno yang tersulut kewarasannya menyimak pernyataan itu. Hatta, yang biasanya tenang dan hampir tak pernah menunjukkan ekspresi, juga “meledak” menyimak pernyataan itu. Sayangnya, Hatta baru menyampaikan tanggapannya hampir setahun kemudian, mungkin karena ia baru mendengar berita itu jauh belakangan. Dalam artikel yang ditulisnya di Daulat Ra’jat No. 75, 10 Oktober 1933, “Krisis-Politik ataukah Anti Kema’moeran Ra’jat?”, nada kemarahan dan sarkasme bisa kita baca dengan mudah.
Karena menanggapi lebih belakangan, maka Hatta berkesempatan untuk mengikuti buntut dari pernyataan itu. Ternyata, pernyataan direktur BB itu memang berbuntut panjang karena mendapat banyak respon dari sejumlah pihak, terutama dari tokoh-tokoh pergerakan. Oleh karena itu Volksraad kemudian meminta pemerintah kolonial untuk melakukan sebuah penyelidikan ilmiah untuk mengetahui dan mengukur tingkat penghidupan masyarakat.
Dari penyelidikan yang dilakukan oleh Dienst der Volksgezondheid (Departemen Kesehatan) di daerah Kebumen, disebutkan bahwa rakyat memang cukup hidup sebenggol sehari. Pendek kata, uang sebenggol (2,5 sen) cukuplah untuk bagi seorang bumiputera untuk mengkonsumsi putih telur, kalori, koolhydrat (protein), dan zat gizi lainnya. Ada lima rumah tangga yang diteliti secara seksama, yang diteliti belanjanya selama setahun lamanya, ditimbang dan diteliti berat makanannya, dan kesimpulannya: bahkan jika belanjanya dikurangi menjadi 2,4 hingga 2,2 sen, banyak makanan yang bisa dikonsumi mereka tidak berubah! Artinya, 2,5 sen (atau sebenggol) itu angka yang cukup. Sungguhpun tidak royal, demikian laporan penelitian itu, makanan itu telah mencukupi.
Atas laporan itu, yang beritanya dimuat dalam Bataviasche Nieuwsblad, 29 September 1933, Hatta menghardik bahwa laporan itu adalah tanda kesombongan wetenschapelijk (ilmiah) birokrat pemerintah. Menurut Hatta, jika mau pemerintah kolonial juga bisa melakukan wetenschappelijk onderzoek (riset ilmiah) yang bisa membuktikan bahwa rakyat Marhaen pun sanggup hidup dengan satu sen, setengah sen, bahkan nol sen, kalau rakyat yang bersangkutan telah hidup beberapa turunan lamanya dengan penghasilan itu.
Ya, dengan nol sen pun rakyat Indonesia bisa bertahan hidup, biarpun mereka harus makan pelepah kayu atau rumput. Dan laboratorium-laboratorium pemerintah, atau sekolah-sekolah kedokteran dapat mengeluarkan pernyataan bahwa di dalam pelepah kayu atau rumput itu juga tidak kurang banyaknya gizi yang bisa dikonsumsi jika dibanding makanan yang seharga 2,5 sen.
“Ai-ai, laboratorium… wetenschappelijk onderzoek… analyse… alangkah dinginnja terasa dalam dada kita!” sindir Hatta. Hatta menyebut hal yang demikian itu sebagai “quasi-wetenschappelijk”, kepalsuan ilmiah, atau kepura-puraan ilmiah. Pendeknya, ilmiah tapi palsu, ilmiah tapi pura-pura. Kelasnya tak lebih dari sampah bergincu ilmiah.
Lebih jauh Hatta menyatakan bahwa penghidupan ekonomi tidak dapat diukur dengan standar penghidupan fisiologi (kebutuhan tubuh akan makanan). Fisiologi tidak dapat memberi keterangan mengenai hasrat tiap-tiap orang untuk mencapai kemakmuran. Fisiologi memang bisa digunakan sebagai ukuran untuk menentukan batas hidup paling rendah. Tidak kurang dan tidak lebih.
Oleh karena itu, tegas Hatta, jika pemerintah memang memiliki agenda dalam politik kemakmuran, maka politik kemakmuran (welvaarts-politiek) tidak bertanya tentang dengan berapa orang dapat hidup, tapi dengan berapa mestinya orang dapat hidup sejahtera. Jadi, pertanyaan yang mestinya dikemukakan oleh mereka yang mengaku dirinya ekonom bukanlah pertanyaan “what there is”, tapi “what there ought to be”!
Apa yang dikemukakan Hatta, dan sebelumnya juga Soekarno, merupakan kacamata yang berharga untuk memperjelas penglihatan kita belakangan ini.
Hari ini kita menyaksikan dengan entengnya sejumlah intelektual dari perguruan tinggi terkemuka negeri ini, kebanyakan menyandang status sebagai ekonom, menggunakan standar kemiskinan BPS, atau standar kemiskinan US$1,25/orang/hari, sebagai landasan persetujuan mereka atas kebijakan pemerintah menaikan harga BBM.
Menurut mereka, dengan kompensasi sebesar Rp200 ribu tadi, kenaikan harga BBM tidak akan membuat jumlah orang miskin bertambah. Tak ada ikhtiar sedikitpun untuk berhenti sejenak dan memeriksa apakah ukuran-ukuran yang mereka gunakan, atau data-data yang mereka kantongi, adalah ukuran dan data yang mestinya dipegang seorang ekonom, ataukah baru ukuran dan data yang mestinya dimiliki seorang ahli fisiologi?!
Hingga manakah kaum tani dan para kromo bisa menambah penghasilannya untuk sedikit meringankan nasibnya yang begitu melarat, nampaknya tak lagi menjadi pertanyaan yang menghantui pikiran para ekonom kita. Buntutnya, kita sukar membedakan cara berpikir kaum terpelajar anak bangsa sendiri dengan cara berpikir intelektual kolonial, yang memang menghamba kepada kepentingan kolonialisme.
Jika kaum terpelajar anak bangsa kita cara berpikirnya demikian, maka ketika mereka menjadi pejabat, kita pun akan sukar membedakannya dengan para pejabat pemerintahan kolonial di masa lalu.
Akhirnya, selama dongeng “Marhaen Dua Setengah Sen” masih terus berlanjut, maka kita sesungguhnya masih belum merdeka.
Tarli Nugroho