Hari Pahlawan dan Resolusi Jihad NU

Peristiwa yang kemudian kita peringati sebagai hari pahlawan, yakni tanggal 10 November 1945 atau tepatnya 66 tahun yang lalu, jarang orang mengetahui bahwa peristiwa pertempuran yang sangat dahsyat nan heroik tersebut sebenarnya dipicu atau diinsipirasi oleh suatu resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’arie, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, yang sekaligus sebagai Ketua Umum NU saat itu.

Mbah Hasyim atas pertanyaan Presiden Soekarno perihal hukum membela tanah air sehubungan dengan akan datangnya enam ribu tentara Inggris di bawah komando Brigadir Jenderal Mallaby, Panglima Brigade ke-49 (India) yang akan segera tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dan bahkan penjajah Belanda dengan tentara NICA-nya (Netherlands Indies Civil Administration) yang sudah terusir pun ikut membonceng tentara Sekutu tersebut.

Hukum membela tanah air yang dipertanyakan Soekarno tersebut tentunya bukan membela Allah ataupun membela Islam. Sekali lagi, membela tanah air! Mbah Hasyim kemudian memerintahkan KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syamsuri, dan kiai lain untuk mengumpulkan kiai se-Jawa dan Madura. Para kiai dari Jawa dan Madura itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dipimpin Kiai Wahab Chasbullah pada 22 Oktober 1945. Pada 23 Oktober 1945, KH Hasyim Asya’rie atas nama Pengurus Besar NU mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.Resolusi jihad tersebut kemudian dipublikasikan oleh Bung Tomo lewat sarana radio dengan suara khasnya yang menggelegar, heroik dan membakar semangat rakyat Jawa Timur dan juga rakyat Indonesia yang mendengarnya.

Maka kemudian berdatanganlah puluhan ribu rakyat yang terpanggil seruan resolusi jihad dari Mabh Hasyim Asya’rie tersebut ke Surabaya untuk berperang melawan tentara sekutu yang diboncengi oleh tentara Belanda Sang Penjajah.

Sebagian besar dari mereka adalah para kiai dan santrinya dari seantero Jawa Timur, Jawa Tengah dan bahkan Jawa Barat. Bahkan mereka ini adalah inspirator dan inisiator bangkitnya etos heroisme dalam peristiwa 10 November 1945 yang sekarang kita kenang sebagai Hari Pahlawan. Bung Tomo sang komando dalam perang jihad tersebut, dengan pekik takbir Allahu Akbar ! membawa spirit jihad dari KH Hasyim Asy’arie. Memang Bung Tomo bukan santri, namun kepatuhannya kepada ulama yang kharismatis membangkitkan ruh heroismenya memimpin arek-arek Surabaya, sampai menewaskan Brigjen Mallaby.

Resolusi jihad yang dikeluarkan NU tersebut telah menginspirasi segenap anak bangsa untuk berjuang mengangkat senjata guna mengusir penjajah yang hendak masuk kembali ke Indonesia. Kontribusi NU terhadap peristiwa tersebut bukan hanya sebatas mengeluarkan resolusi jihad yang terbukti berhasil melecut semangat juang bangsa Indonesia, namun para kiai NU beserta santri-santrinya terjun secara langsung ke medan perang mengusir penjajah.

Walau dalam perang jihad tersebut sekitar 16.000-an rakyat menjadi syahid karena membela negeri ini yang baru saja lahir, namun kedahsyatan dan keheroikan perang tersebut telah membuka mata dunia bahwa Negara Kesatuan Indonesia telah lahir. Dan bahkan rakyatnya dengan gagah berani mempertahankan kemerdekaannya dengan nyawa sebagai taruhannya.

Sayangnya fragmen resolusi jihad NU tersebut terhapus dari buku sejarah perang kemerdekaan 10 Nopember 1945 di Surabaya. Kita tidak akan menemukan secuilpun cuplikan sejarah tentang hal ini, baik itu di pelajaran – pelajaran sejarah yang diajarkan di tingkat SD, SMP maupun SMU. Bahkan di tingkat perguruan tinggipun tiada kita temui fragmen resolusi jihad ini.

Sengaja atau tidak, memang sangat disayangkan kalau fragmen-fragmen yang menyulam sejarah emas perjuangan bangsa yang sangat heroik nan dahsyat tersebut begitu mudah dilupakan atau bahkan dihapus dari catatan emas sejarah.

Padahal sejarang hari pahlawan yang dipicu sejarah pertempuran 10 Nopember 1945 di Kota Surabaya tidak akan sedahsyat dan seheroik apa yang telah kita saksikan atau kita baca dari catatan sejarah tanpa dimulai, dipicu dan diinspirasi oleh adanya resolusi jihad yang difatwakan oleh para sesepuh NU ini.

Untuk itu sudah selayaknya generasi sekarang harus memulai untuk mengenang fragmen-fragmen sejarah resolusi jihad NU tersebut. Agar sekiranya bisa kita petik hikmah yang terkandung di dalamnya. Apalagi sekarang ini sebagian masyarakat kita ada yag salah dalam memaknai kata jihad. Sehingga mereka rela melakukan bom bunuh diri dalam rangka menerapkan seruan jihad yang keblinger itu.

Untuk itu dalam pelajaran sejarah di bangku-bangku sekolah harus disisipkan kebenaran sejarah ini. Sehingga generasi sekarang dan generasi kemudian akan bisa membaca sejarah perang 10 Nopember 1945 secara utuh termasuk di dalamnya fragmen resolusi jihad NU tersebut. Sehingga diharapkan para generasi muda bangsa bisa memetik pelajaran berharga dari resulusi jihad ini.

Revitalisasi Resolusi Jihad NU

Untuk mengenang dan mengaktualisasi resolusi jihad yang telah difatwakan oleh Mbah Hasyim Asy’arie dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, tentunya diperlukan suatu usaha revitalisasi resolusi jihad NU tersebut sesuai dengan kontek ke-Indonesiaan saat ini.

Inti dari resolusi jihad NU adalah mempertahankan Negara Kesatuan RI. Dalam konteks kekinian berarti mengisi kemerdekaan, mengamalkan Pancasila, dan mengawal NKRI secara utuh dari berbagai ancaman dan rongrogan.

Kalau dicermati secara seksama, kondisi bangsa saat ini menghadapi dua macam ancaman, yakni pemikiran Barat (kapitalisme liberal) dan pemikiran Islam Timur Tengah, yang semuanya tak sesuai dengan kultur Indonesia (Nusron Wahid, 2011).

Ancaman liberalisme ekonomi contohnya adalah dikuasainya sumber-sumber daya energi yang dikeruk habis dan dikirimkan ke luar negeri oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri. Sehingga bangsa ini kekurangan bahan energi tersebut, sangat ironi memang. Sehingga timbul pemeo bagaikan “ayam mati di lumbung padi”.Dari sisi keagamaan, bangsa Indonesia sedang diancam oleh paham radikalisme dan puritanisme yang diimpor dari Timur Tengah yang ingin mendirikan negara Islam. Agama Islam hendak dipraktikkan secara ‘letterlijk’, tanpa memerhatikan keragaman budaya lokal. Dan, korban terbesar radikalisme agama ini adalah para anak muda.

Sudah banyak anak muda yang terjerumus menjadi “pengantin” dalam aksi bom bunuh diri. Misalnya kasus bom bunuh diri di sebuah gereja di Kota Solo (September 2011), kasus bom bunuh diri di Masjid Mapolres Cirebon (April 011), maupun kasus-kasus terorisme lainnya.

Pemikiran radikal keagamaan yang menentang pemerintah dan juga menentang kapitalisme tersebut, mereka sebarkan dengan memanfaatkan kebebasan yang menjadi konsekuensi dari demokrasi yang lagi di bangun di negeri ini. Apa yang dimaknai jihad oleh kelompok ini, tak lagi sama dengan yang dimaknai para ulama NU di tahun 1945. Tak ada Belanda bersenjata untuk dibunuh. Apa yang didefinisikan sebagai musuh, kini sesuatu yang abstrak. Maka, hari ini, seseorang dengan tubuh berbalut kabel dan detonator yang masuk ke gereja atau café bahkan masjid, dan meledakkan diri di sana, menjadi tafsir jihad yang lain.

Revitalisasi resolusi jihad lainnya adalah memerangi korupsi dengan segala macam rupa dan bentuknya mulai dari bentuk manipulasi, gratifikasi, suap, mafia pajak, mafia anggaran, mafia hukum dan masih banyak lagi rupa bentuknya.

Perang melawan korupsi ini sungguh sangat penting karena aksi korupsi di negeri ini sudah terbilang sangat gawat karena telah di lakukan secara berjama’ah dan dilakukan secara sistimatik. Sehingga dampak yang ditimbulkanya pun begitu sistemik.

Coba tengok, begitu banyak rakyat kelaparan yang tidak terbantu karena dananya banyak dikorup, begitu juga berjuta-juta rakyat miskin tidak bisa berobat karena kucuran dananya ngadat akibat ditilep, beribu-ribu sekolah rusak tak terurus karena dananya disunat, ribuan kilometer jalan rusak parah di seantero negeri akibat aksi korupsi juga.

Dalam resolusi jihad di tahun 1945, para ulama NU mendorong pemerintah untuk tegas, dan berani. Jika kemudian resolusi ini diperbarui dengan semangat kekinian, maka esensinya tak akan hilang, yakni ketegasan pemerintah menghadapi peperangan melawan kapitalisme, melawan terorisme yang mengatasnamakan agama serta perang melawan korupsi.Pemerintah tak hanya cuma melontarkan kata-kata “prihatin” “menyesalkan”, “menghimbau” dan atau “mengutuk”. Perang melawan terorisme tidak bisa hanya dengan kata-kata bahkan mengedepankan pucuk senjata semata. Namun harus dilakukan secara integral dan sistematik yang melibatkan semua elemen bangsa sebagaimana ruh yang dibawa oleh Pancasila.

Perjuangan yang integral dan sistematik tersebut adalah perjuangan melawan paham radikalisme yang melibatkan semua pendekatan, yakni soisal, budaya, pendidikan, ekonomi, agama dan bahkan keamanan.Dengan otoritasnya pula, pemerintah juga harus bersikap tegas menghadapi tekanan kapitalisme global. Berhentilah menjadi bak anjing penjaga rumah yang dirantai, yang hanya menggonggong saat menyaksikan dan mengamankan modal yang hilir-mudik keluar masuk negeri ini tanpa kendali.

Demikian juga pemerintah harus berdiri dan bertindak paling depan dalam perang melawan korupsi. Tanpa contoh dan tauladan yang baik dari para aparat pemerintah mustahil korupsi di negeri ini bisa terkikis habis. Tanpa penguatan penegakan hukum yang serius mustahil aksi korupsi bisa mereda. Dan bahkan tanpa kemaun keras pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi, niscaya pemberantasan korupsi akan semakin lama semakin mati dan nanti para koruptorlah yang akan mengendalikan negeri ini.

 

Khozanah Hidayati

Blog