Di era kejayaan umat Islam, bahasa Arab adalah bahasa internasional dan bahasa dunia akademisi. Pada masa itu buku karangan kita akan menjadi sangat bernilai tinggi jika ditulis dalam bahasa arab. Sehingga, pada saat itu kita tidak perlu repot-repot untuk mendapatkan nilai Toefl tinggi karena memang tidak dibutuhkan, tentu saja berbeda kondisi dengan sekarang, dimana dunia telah terbalik arah.
Ada keunikan tersendiri dari bahasa Arab, perbedaan baris saja bisa menyebabkan terjadinya perbedaan makna. Sebagai contoh, kalimat غسل jika dibaca dengan dhummah pada huruf غ (ghuslu) akan bermakna mandi, namun jika dibaca dengan fatah غ (ghaslu) artinya menjadi basuh.
Contoh lainnya seperti kata حب . Jika kalimat tersebut dibaca dengan fatah kha (habb) artinya menjadi bijian, namun dengan kasrah kha (hibb) berarti mencintai. Namun demikian, cinta dalam bahasa arab semua berakar dari kalimat حب ,sehingga cinta itu terkadang didefinisikan laksana sebuah bijian yang tumbuh mengakar dari hati sehingga berbuahlah berbagai macam rasa yang indah.
Bahasa Al Quran
Bahasa Arab semakin berkelas karena Al Quran diturunkan dalam bahasa tersebut. Biarpun diturunkan dalam bahasa arab, namun belum ada satu makhluk pun yang sanggup menandinginya. Bahkan banyak ayat yang menantang mereka yang tidak beriman untuk bisa membuat yang serupa dengannya walau satu ayat saja. Sebagaimana ilustrasi di atas, perbedaan harakat bisa mempengaruhi makna kandungan Al-Quran. Seperti yang terjadi pada masa Abul Aswad Ad-Duali (w.688 M) dimana mushaf Al-quran masih belum dilengkapi dengan harakat seperti yang kita lihat sekarang, sehingga sangat rentan terjadi salah dalam membaca.
Ad-Duali pernah mendengar seseorang membaca ayat
ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺮﻱﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺸﺮﻛﻴﻦ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ
“Anna Allahabari’un-mina-l musyrikiin wa rasuulihi, (QS. At-Taubah : 3), seharusnya dibaca “Rasuluhu”. Jika diartikan akan sangat jauh berbeda. Bacaan pertama tersebut berarti “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya …”
Tentu saja arti tersebut menyesatkan, karena Allah tidak pernah berlepas dari utusanNya. Kalimat yang semestinya seharusnya berarti “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.” Hanya karena satu harakat, tapi mengubah arti yang begitu banyak.
Itu baru masalah baris, belum lagi mengenai penafsiran isi kandungannnya. Dalam Al-Itqan fil Ulumil Quran [1], Imam As-Suyuti menuliskan, sesorang baru boleh menafsirkan quran jika telah menguasai 15 (lima belas) cabang ilmu, diantaranya Ilmu Lughah, Nahwu, Sharaf, Isytaq, Ma’ani, Bayan, Badi’, ilmu qiraat, ushuluddin, ushul fiqih, asbabun nuzul, Nasikh mansukh, fiqih, serta hadist. Sehingga slogan kembali ke Al-Quran dan Sunnah tidaklah semudah lidah berucap, tidak bisa sembarangan seenak perut mentafsirkan quran, apalagi hanya bermodalkan terjemahan saja, perlu diingat bahwa terjemahan bukanlah penafsiran.
Hadits yang Saling Bertentangan
Setelah Al-Quran, hadist Rasulullah menduduki urutan selanjutnya sebagai pegangan utama dalam Ajaran Islam. Kedudukannya sama penting dengan Al-quran, dan hadist ini pula yang menjadi sumber utama yang menafsirkan isi Al-Quran. Lantas, apabila didapati sebuah hadist yang shahih apakah harus langsung dijadikan sebagai dalil begitu saja? Bahkan ada yang berkata lagi, bukankah Imam Syafi’i mengatakan “Apabila sahih hadits maka itulah mazhabku”, sehingga jika kita mendapati sebuah hadist shahih ya ikuti.
Namun ternyata tidaklah semudah itu, sebab terkadang kita dapati ada beberapa hadist yang statusnya sama-sama shahih namun sekilas makna antara keduanya malah saling bertentangan, sehingga bukannya mendapat petunjuk malah membingungkan. Hal ini bisa terjadi karena terkadang lafaz suatu hadist masih Aam (umum), sementara yang lain Khas (Khusus), ataupun lafaz hadist tersebut memang sama-sama umum. Sebagai Contoh: Dalam sebuah Hadist Rasulullah Bersabda : “Sejelek-jelek saksi adalah orang yang bersaksi sebelum ia diminta untuk memberikan kesaksian”, sedangkan dalam hadist lain beliau bersabda : “Sebaik-baik saksi adalah yang bersaksi sebelum ia diminta untuk memberikan kesaksian”.[2]
Dari dua contoh hadist di atas, disatu kesempatan Nabi menyatakan “sejelek-jelek saksi”, dan pada hadist yang lain “sebaik-baik saksi”. Jelas sekali antara dua hadist ini terlihat saling bertentangan, namun oleh para Ulama menjelaskan kedudukan hadist pertama dibawa kepada suatu keadaan jika orang yang menuntut kesaksian itu sudah mengetahui isi kesaksian tersebut, oleh karena demikianlah Rasulullah mengecapnya sebagai sejelek-jelek saksi. Sementara hadist kedua dibawa kepada satu keadaan jika orang yang menuntut kesaksian itu tidak mengetahui isi kesaksian yang dimaksud [3]. Setelah ada penjelasan dari para ulama maka jelaslah kedudukan masing-masing hadist sehingga tidak menimbulkan kontrakdiksi.
Orang Awam Harus Mengikuti Ulama
Rasulullah telah berpesan bahwa Ulama adalah pewaris beliau, sehingga sebagai orang yang awam sudah sepantasnya mengikuti petunjuk-pentunjuk dari ulama, bukan malah sebaliknya. Sebab jika ilmu belum mumpuni namun nekat yang ada bakal nyasar dalam memahami dalil. Bukan dalilnya yang salah namun pemahamannya yang kurang benar. Bahkan Imam As-Syathibi (w. 790 H) dalam as-Muwafaqat menuliskan:
Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam itu ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 336).
Apa yang disampaikan oleh Imam As-Syathibi cukup beralasan, karena dalil syari’ bagi orang awam ibarat bahan mentah, jika tidak bisa memasak untuk apa diberi bahan mentah, bukankah lebih baik memakan saja apa yang telah diracik oleh para Imam Mujtahid yang memang sudah ahli dibidangnya.
Quran dan hadist bukanlah seperti buku petunjuk dalam sebuah perangkat elektronik yang menjelaskan semuanya secara step by step. Dan kembali kepada ulama adalah langkah yang jelas dalam memahami quran dan hadist.
Kita patut bersyukur karena para Imam Mujtahid telah membuat segalanya menjadi serba mudah, dari formulasi yang telah mereka ciptakan pemahaman terhadap quran dan sunnah pun menjadi lebih terarah. Dan lagi, pekerjaan yang dilakukan para Imam mujtahid ini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh sekelompok ulama-ulama yang ahli. Tentu saja pekerjaan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang ahli dibidangnya bakal lebih dekat dengan kebenaran dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan seorang diri.
Catatan kaki:
[1] Al-Itqan fil ulumil Quran, hal. 555
[2] Syarah Waraqat, Fasal Tentang Ta’arudh (Kontradiksi)
[3] Ibid