Ketika Presiden RI SBY membawakan pidatonya tentang penghematan energi, seorang teman yang waktu itu sedang mengerjakan kerjaan kantor bersama penulis berceloteh bahwa mendengar pidato SBY itu menyenangkan, menyenangkan untuk didengarkan tak ubahnya didongengi mama sebelum tidur. Wow!
Menanggapi itu, penulis hanya senyum sendiri karena hal yang tak jauh senada juga dikicaukan beberapa teman dalam Twitternya yang mengatakan seperti ini:
- Daripada dengar SBY pidato lebih baik nonton sinetron dah!
- Hemat yang dimaksud SBY itu ketika kita menonton teve ada SBY nongol di situlah kita hemat (matiin teve).
Pidato yang begitu lancar diucapkan SBY (seolah ada teleprompter di depannya itu) menurut hemat penulis hanya seperti membangunkan orang yang tengah terkubur atau, kalau boleh pinjam bahasanya Ari Dwipayana, terlalu terlambat untuk menyebutkan ada penghematan. Penghematan itu seharusnya sudah dilakukan sejak lama,
Kali ini penulis tak akan berkutat pada itu, namun dalam sekup luasnya. Nah, di sini, lagi-lagi rakyat hanyalah menjadi lahan mata pencaharian basah yang dikelola dengan apik dengan mengatasnamakan penyelamatan ekonomi, penjaminan demokrasi, bahkan penegakan hukum (entah hukum dari planet mana). Sebagai alibi, semuanya mati dalam bahasa. Dan, pada titik inilah, pada saat kita tak mampu lagi. Lunglai. Menyusun metafora hidup, metafora mati menjadi senjata makan tuan atau boleh dibilang bumerang. Pada batasnya, kesabaran akan bangkit menjadi vampire yang liar: people power! Namun, yang perlu dicatat batas kesabaran adalah ketika nyawa sudah sampai tenggorokan.
Tentu saja kita emoh terus-terusan terpuruk jurang kenistaan, sekaligus menghindari penyelesaian oleh ketidaksabaran. Namun, kebersamaan dengan hal itu, jika hanya berdiam diri menyaksikan kebebalan yang dibungkus pembenaran, jika kita tak ada benteng akidah islam, bakal ikut bebal. Hal paling mengerikan dari tindak kejahatan adalah saat aura kejahatannya menguap, tak tampak. Pun ketika kita melihat kebebalan adalah hal yang lazim, padahal lazim bukan bermakna benar.
Oleh karena itu, selain melewati lembaga antirasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dua hal yang terus menerus untuk benahi negeri ini yang patut dilakukan antara lain, pertama, selalu mengartikulasikan kejahatan dan kebebalan agar auranya terus terbarukan. Misal, aura kejahatan korupsi akan hilang bila tindakan itu tak henti disebut korupsi. Sangat perlu diterakan metafora lain, seperti penggasak, garong atau rampok. Pun demikian untuk penjaja seks komersil, lebih baik disebut pelacur daripada PSK. Hal ini untuk menghilangkan legitimasi atau kelas. Perbuatan cela pun sebutannya memang pantas cela jua.
Kedua, ketika negara dalam keadaan harus ditolong seperti sekarang, yang perlu ditolong pertama kali adalah membantu kepala negara mendudukkan kepalanya agar posisinya sehat. Jika tidak, dimakzulkan saja dengan yang lebih punya derajat keimanan bagas bukan keinginan kekuasaan (nafsu belaka).
Berkali-kali dan oleh sejumlah pihak telah disampaikan bahwa kita, bangsa Indonesia, membutuhkan pemimpin yang kuat (jasadiyah dan ruhiyah), cerdas, tidak cemen yang sedikit-sedikit merengek menggerundelkan masalah negara dan bebas dari kepentingan politik juga bebas dari kerjasama dengan penjajah (zionis) seperti Aburizal Bakrie. Kini, Anda bisa lihat, tanpa pemimpin demikian, negara tak memiliki ideologi sehingga tak jelas; mau dibawa negara ini? Bagaimana mau ajek berdiri, lha wong ngasih grasi pada Sang Ratu Ganja Corby saja jor-joran seolah ingin katakan pada dunia bahwa Indonesia negara gampangan.
Lalu, yang perlu dipahami dan digarisbawahi, kekalahan menaklukkan ego pemimpin, lewat kasus Qorby juga bulu tangkis yang menang-is di ajang internasional, seolah keduanya adalah representasi terpuruknya pengelolaan kehidupan berbangsa.
Mungkinkah kita tengah sampai pada apa yang ditulis oleh sang penyair anonim:
Haruskah rakyat terus menangis
Haruskah rakyat terus diam.
Haruskah rakyat terus di bodoh-bodohi.
Atau… para pejuang keadilan telah mati?
Jadi, mari matikan ragu, juga matikan teve ketika ada SBY pidato (eh?)
Wallahu’alam.
Oleh: Muhammad Sholich Mubarok , Jakarta
Badaris BSI
Facebook–Twitter