Saya katakan status jomblo untuk pemuda atau pemudi yang non-married lebih bisa dibanggakan daripada status in relationship yang tidak jelas, Ini bukan sebuah apologi dari orang-orang yang mungkin dikatakan “tidak laku”, tapi ini sebuah status dimana pemiliknya bisa berjalan dengan kepala tegak bahwa dia benar-benar menjadi manusia yang seutuhnya, yang benar-benar merdeka.
Saya tidak akan membuat definisi lagi tentang arti jomblo dan sejarahnya, karena semua sudah paham arti jomblo itu. Kalau kata ulama kita, “ta’rif mu’arraf jahlun bihi”.
Jomblo ada dua jenis:
Pertama status jomblo karena “pilihan”, artinya memang tidak mau terlibat dalam hubungan apapun dengan lawan jenis diluar garis-garis resmi. Sebenarnya dia bisa melakukan hubungan itu kalau dia mau, tampang OK, pendidikan tidak kurang, dompet juga mendukung, tetapi dia lebih memilih menjadi jomblo ketimbang harus pusing dengan “perbudakan” in relationship yang abu-abu. Motifnya memilih jomblo adalah takut pada Tuhan, dan dia tidak mau mengurangi kenikmatan in relationship hakiki yang saatnya belum tiba. Itulah “jomblo pilihan” yang mana malaikat saja mengacungi jempol “Like” dan mengepakkan sayap-sayap mereka, itulah pemuda dan pemudi yang termasuk salah satu dari 7 orang spesial besok di Padang Mahsyar.
Kedua, jomblo terpaksa, mereka adalah orang-orang yang “terpaksa” menyandang status jomblo karena memang tidak mampu bersaing untuk masuk dalam dunia “in relationship“, karena berbagai hal, mungkin tampangnya agak “tablo“, atau dompetnya tipis, atau memang tidak punya “bargaining” apa-apa untuk ditawarkan. Padahal ingin punya pacar, tapi apa daya, tidak laku. Orang seperti ini sangat disayangkan, persis seperti “Yahudi miskin”, dunia tidak dapat, akhirat juga sengsara. Dengan rasa terpaksa dia memutuskan menjadi jomblo.
Banyak saya lihat tulisan uneg-uneg para Facebooker, khususnya malam Minggu, “Iri euy, lihat temanku jalan bergandengan tangan dengan pacarnya”, “Asiknya punya pacar, ada yang perhatikan…”, “Huft… dasar, cowok buaya!”,”Sayang, luplup uuuu…muach….”,”Saya suka punya pacar yang setia nggak pembohong dan bukan buaya!!”, dan seterusnya. Apa yang terbesit dalam pikiranmu saat membaca hal-hal itu?
Masa muda, saat-saat indah berkarya, masa mengukir tinta emas untuk sejarah pribadimu paling kurang, kalau tidak mau mengukir sejarah untuk bangsamu. Semua orang besar yang namanya tertulis dengan tinta emas di sejarah umat manusia, memulai karirnya pada masa muda, tidak ada yang melewati masa mudanya dengan pacaran kemudian besok tua dia jadi orang besar!
Masa muda cuma sekali, nikmatilah dengan mewarnainya dengan menata diri, pendidikan, ibadah, cinta dan hati. Masa muda terlalu indah untuk dilalui dengan pacaran dan memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya dipikirkan. Anak orang tanggungjawab bapaknya, kamu tidak usah repot-repot mengontrol jam makan dan jam tidur mereka. Kerajinan kamu, tiap jam nanyain dia udah makan, udah minum vitamin, udah mandi, dan seterusnya.
Saya heran, swear heran banget, kok bisa iri dan “pengen” saat melihat temennya pacaran, apakah tidak ada lagi figur yang pantas diirikan dan dicemburui, Jarang ada yang mengatakan iri saat melihat temannya selesai skripsi setengah semester, melihat temannya lulus S1 dalam waktu 3 tahun sekian bulan, melihat temannya tidak pernah kelewatan shalat dhuha, puasa Senin Kamis, datang tepat waktu kalau ada janji…..
Pertama masalah public figure, anak muda Indonesia mungkin memang kekurangan public figure yang hidup di zaman mereka, jujur saja kita hidup di abad 21, tidak relevan kalau harus diberi gaya hidup para sahabat dan tabiin dengan berbagai “keajaiban” hidup mereka. Saya katakan demikian bukan saya tidak mau mencontohi gaya hidup mereka, na’udzubillah… Mereka semua teladan yang kalau diikuti, insya Allah ujung “parkiran” kita surga. Tapi harus kita sadari, dalam hidup itu ada “tsawabit” hidup (hal prinsip yang tetap) dan juga “mutaghayyirat“nya (hal yang bisa berubah).
Contohnya saja kesederhanaan hidup yang diajarkan oleh sahabat dan tabiin, mereka hidup apa adanya, pakaian tidak mewah, tidak punya kendaraan mewah, tidak punya kebiaasaan-kebiasaan yang kita praktekkan sekarang. Sederhana sampai hari kiamat adalah sifat terpuji yang harus diteladani, karena itu adalah tsawabit hidup, tapi implementasinya dengan tidak memakai pakaian mahal, tidak naik mobil mewah, bukanlah hal yang “wajib” diikuti untuk mencapai sebuah makna kesederhanaan, karena implementasi kesederhanaan itu memang tergantung lingkungan dimana kita hidup.
Contoh lain, Sayyidah Shufiyyah Rabi’ah Adawiyyah, wanita yang terkenal dengan cintanya yang begitu besar pada Penciptanya, sehingga dia berani mengatakan, “Ya Tuhan, kalau seandainya saya beribadah pada-Mu karena mengharap surga-Mu, maka jauhilah saya dari surga, kalau saya beribadah pada-Mu karena saya takut neraka-Mu, maka lemparkanlah saya ke dalam neraka”, dia hidup menyendiri, mengkhususkan diri untuk beribadah dan menjauhi keramaian dunia.
Cinta kepada Allah adalah tsawabit, yang sampai hari kiamat juga wajib kita punyai, tetapi implementasi sayyidah Rabiah Adawiyyah zaman dulu, tidak harus kita ikuti, bahkan kalau kita ikuti malah akan bertentangan dengan kehidupan kita sekarang, dimana dunia selebar daun kelor, kita hidup berdampingan saling bergantung dan membutuhkan, gaya hidup menyendiri tidak laku lagi. Bahkan itu akan bertentangan dengan hadis rasulullah yang artinyam “siapa yang tidak peduli terhadap urusan umat islam, maka dia bukan bagian dari mereka”, kalau hidup hari ini menyendiri, kapan kita mau berbuat untuk ummat?
Public figure yang benar-benar bisa ditiru untuk memberikan warna dan gaya hidup zaman ini jarang ada, ada orang yang mengajarkan kita dan mengajak kita untuk hidup sederhana, kuat dan penuh rasa tanggungjawab, tapi lagi-lagi contohnya orang-orang yang hidup 13 abad yang lalu, dimana mereka masih berpikiran bahwa “mustahil besi bisa terbang”, sedangkan hari ini besi dengan berat ratusan ton bisa melayang terbang di langit!
Karena tidak ada public figure yang bisa menjawab gaya hidup mereka, akhirnya pelarian anak muda ke selebritis dan pemain bola. Bintang Korea, biarpun cowoknya cengeng-cengeng, tapi banyak banget anak-anak muda kita yang “gila” sama mereka, mulai dari gaya rambut sampai pakaian ikut ditiru. Tragis benar nasib mereka yang suka ikut “budaya nebeng”, tetapi public figurenya salah.
Tetapi, itu semua bukan alasan untuk mengatakan semua itu, nabi kita mengajarkan kita, “Kalau di dunia tidak ada public figure yang bisa diteladani, kenapa bukan kamu yang menjadi orang itu? Jadilah kamu itu dia!”. Nabi kita mengajarkan kita untuk selalu bisa menjadi penyempurna setiap kekurangan yang ada dalam masyarakat kita, meskipun hanya menyingkirkan duri kecil dari pinggir jalan.
Ayo, kalau tidak bisa menjadi public figure untuk seluruh pemuda pemudi Indonesia, paling tidak kamu bisa menjadi public figure di rumahmu sendiri, tetanggamu, dan teman-temanmu. Lebih baik kamu menjadi kepala ikan teri yang bisa memimpin sekelompok kecil kepada kebaikan, daripada kamu menjadi ekor ikan paus besar yang hanya ikut-ikutan kemana orang lain menyetirmu.
Kedua, menjadi jomblo yang high-qualified, kamu tidak bisa menafikan status non-maried yang tidak jomblo akan mengurangi prestasi, uang dan kebebasan berekspresi. Orang-orang yang nggak punya kerjaan saja yang terlibat dalam dunia itu. Jomblo bukanlah tujuan hidup jomblo adalah detik-detik penantian pasangan yang dikrim Tuhan.
Seorang yang ingin menjadi high-qualified jomblo layaknya pemuda “ideal” yang dijadikan panutan dan public figure dalam lingkungannya, untuk mencapai itu tidak semudah membalikkan tangan, syarat pertama pastinya harus benar-benar percaya pada Allah dan selalu mengerjakan shalat 5 waktu tepat pada waktunya. Apa hubungannya? Waktu kamu shalat tepat waktu, shalat itu mengatakan dengan suara yang tidak bisa kemu dengar, tetapi penduduk langit mendengarnya, “Karena kamu selalu menjaga saya, maka saya akan menjagamu”. Salah satu hal yang dijaga adalah in relationship di luar garis-garis resmi yang legal.
Untuk menjadi jomblo pilihan dan hidup sebagai public figure, kamu harus punya skill yang bisa mendongkrak semangatmu untuk terus maju dan mencapai hal-hal baru dalam hidupmu, dan itu pasti benyak menyita waktu, dengan itu kamu akan lupa dan merasa in relationship di luar garis legal adalah bullshit dan wasting time. Jadi, hanya pengangguran yang merelakan waktunya untuk pacaran, tetapi para jomblo pilihan selalu memanfaatkan waktu untuk hari esok, karena dia tahu bahwa matahari yang terbit besok pagi bukanlah matahari yang dia lihat tadi pagi. Setiap detik yang terlewati adalah proses peningkatan kualitas diri, ibadah, pendidikan, penataan hati dan cinta.
Kamu itu diciptakan Allah dengan banyak kelebihan, salah satunya kemampuan untuk menjadi high-qualified jomblo, tetapi kamu tidak sadar, dan akhirnya potensi-potensi itu tenggelam. Sebut saja Kareem Salamah, first American Muslim country music singer, lulusan fakultas Chemical Engeneering University of Oklahoma dan Fakultas Hukum dalam waktu yang sama di University of Iowa. Anak muda yang memanfaatkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Saya tidak mengambil Kareem sebagai contoh pemuda sempurna seperti Usamah bin Zaid, tetapi untuk seorang anak muda yang hidup di Amerika Serikat, bisa memaksimalkan potensi yang dimilikinya, sangat patut diberikan two thumbs up.
Coba lihat dan perhatikan, potensi apa yang tersimpan dalam diri kamu, saya yakin banyak, kalau kamu dapat sedikit saja, langsung kamu gali dan keluarkan, karena hanya sekaranglah saatnya, masa muda cuma sekali, maka manfaatkan semaksimal mungkin. Tinggalkan pacarmu, tinggalkan kekasih gelapmu, tinggalkan sayang-sayanganmu, mulailah hidup baru sebagai high-qualified jomblo, untuk masa depanmu dan orang sekitarmu yang lebih cerah.
Dan, katakan pada dunia…”Saya memilih jadi jomblo bukan karena tidak laku, tetapi saya mempersiapkan diri untuk hari esok, kalau sudah saatnya melepaskan status jomblo itu, maka saksikanlah bahwa saya adalah high-qualified suami buat istri terbaik, high-qualified ayah buat anak-anak terbaik, dan high-qualified anggota masyarakat untuk masyarakat terbaik yang dijanjikan Tuhan….”lafatahna alaihim barakaatim minassama’i wal ardh…”.