Oleh: Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., MA.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Memang ada beberapa orang yang menghukumi hadits ahad sebagai hadits yang lemah, sehingga tidak bisa dijadikan dasar aqidah.
Di antara yang berpendapat demikian antara lain An Nadham (w. 221-223 H) dan Al Jubbai (w. 303 H) dari kalangan Mu’tazilah yang sejak abad ke-2 hijriyah telah berpendapat demikian. Termasuk di masa sekarang ini adalah Syeikh Muhammad Syalthut yang menulis di dalam bukunya Al Islamu Aqidatan wa Syari’atan.
Sedangkan jumhur ulama, menurut Ibnu Hazm, baik dari kalangan Ahli Sunnah, Syiah, Khawarij, Qadariyah dan lainnya, semua sepakat menerima keberadaan hadits ahad sebagai landasan aqidah.
Kelemahan Pendapat Ini
Pendapat yang menolak hadits ahad sebagai landasan aqidah ini oleh para pakar hadits dikritik karena ada sedikit keterpelesetan penggunaan istilah. Yang benar sesungguhnya bukan hadits ahad, melainkan hadits dhaif. Hadits dhaif adalah hadits yang lemah dari segi periwayatannya, sehingga kekuatannya dari segi tsubut masih diragukan. Oleh karena itu masalah-masalah yang urgen seperti aqidah tidak boleh didasarkan dengan hadits dhaif.
Adapun hadits ahad punya pengertian yang jauh berbeda dengan hadits dhaif. Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi. Dan keberadaan hanya satu orang perawi dalam sebuah thabaqat tidak berpengaruh apa-apa terhadap kekuatan sebuah periwayatan. Yang penting perawi yang sendirian itu tsiqah serta tidak punya cacat atau luka (majruh).
Sehingga sebuah hadits ahad bisa saja tetap berstatus shahih, bila perawinya memenuhi syarat keshahihan suatu hadits. Sebab lawan dari hadits ahad bukanlah hadits shahih, melainkan haditsmutawatir. Sedangkan lawan dari hadits shahih adalah haditsdhaif.
Hadits mutawatiradalah hadits hasil tanggapan dari pancaindera yang diriwayatkan oleh oleh sejumlah besar rawi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat berdusta. Menurut As-Suyuthi, jumlah itu minimal 10 orang di tiap jenjangnya.
Sedangkan hadits ahad adalah lawan dari hadits mutawatir. Para ulama hadits biasa membuat definisi bahwa semua hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir disebut hadits ahad. Lalu hadits ahad itu bisa dibagi lagi menjadi tiga level lagi yaitu: haditsmasyhur, hadits ‘aziz dan hadits gharib.
Pembagian hadits ahad menjadi masyhur, ‘aziz dan gharib tidaklah bertentangan dengan pembagian hadits ahad kepada shahih, hasan dan dhaif. Sebab membaginya dalam tiga macam tersebut bukan bertujuan untuk menentukan diterima (maqbul) atau tidak diterimanya (mardud) suatu hadits, tetapi untuk mengetahui banyak atau sedikitnya jumlah sanad dan perawi suatu hadits.
Kalau kita bicara tentang keshahihan atau kekuatan derajat suatu hadits, maka kita tidak berbicara jumlah perawi. Tetapi yang kita bicarakan adalah status ketsiqahan sang perawi. Sedangkan ketika kita bicara tentang hadits ahad dan hadits mutawatir, kita hanya bicara tentang jumlah perawi, yang sebenarnya tidak langsung terkait dengan status keshahihan suatu hadits. Meski tetap ada hubungannya.
Oleh karena itu, yang benar adalah bahwa hadits dhaif tidak bisa dijadikan landasan masalah aqidah dan syariah. Sedangkan hadits ahad, asalkan perawinya tsiqah, tetap bisa berstatus shahih dan bisa dijadikan landasan masalah aqidah dan syariah.
Dalil Hadits Ahad Bisa Dijadikan Landasan Masalah Aqidah
1. Pengiriman Da’i ke Berbagai Wilayah
Dakwah Raslullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak terbatas hanya di kota Makkah dan Madinah saja, tetapi juga merambah ke segala penjuru negeri arab, bahkan sampai ke luar negeri arab. Untuk itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutus satu orang shahabat ke masing-masing wilayah untuk mengajak penduduknya masuk Islam.
Salah satunya adalah Muadz bin Jabal diutusbeliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ke negeri Yaman. Dari wawancara antara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan beliau sebelum berangkat, jelas sekali bahwa misi yang diemban adalah mengajarkan tauhid dan masalah aqidah.
Kalau dilihat dari pengertian hadits ahad, maka dikirimnya Muaz Radhiyallahu ‘Anhu ke Yaman adalah merupakan fenomena hadits ahad, sebab beliau sendirian saja di tengah wilayah yang dijadikan objek dakwah. Kalau pun disebut-sebut bahwa Abu Musa Al-Asy’ari juga dikirim ke Yaman, ternyata ke wilayah yang berbeda.
Maka klaim bahwa hadits ahad tida bisa dijadikan dasar masalah aqidah, gugur dengan sendirinya. Sebab datangnya Muaz Radhiyallahu ‘Anhu ke Yaman untuk mengajarkan seluruh ajaran Islam adalah sebuah kasus hadits ahad. Namun tidak pernah ada yang mempermasalahkan keIslaman penduduk Yaman, meski hanya disampaikan oleh satu orang pembawa berita.
2. Surat Nabi kepada Para Raja Dunia
Surat-surat yang dikirim kepada para raja dunia oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga merupakan bagian dari fenomena hadits ahad. Padahal isinya justru masalah yang paling esensial dalam Islam.
Kalau dikatakan hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan aqidah, maka tidak ada gunanya surat-surat itu dikirimkan.
3. Berita tentang Pemindahan Kiblat
Ketika turun ayat tentang pemindahan qiblat dari Masjid Al-Aqsha di Palestina ke Masjid Al-Haram di Makkah, para shahabat sedang melakukan shalat shubuh d masjid Quba’ (yang benar adalah Masjid Bani Salamah-red), tiba-tiba datang seorang yang membawa berita bahwa telah turun ayat yang memerintahkan pemindahan kiblat. Maka mereka tidak mempermasalahkan jumlah yang membawa berita. Sehingga saat itu juga mereka langsung balik arah.
Kalau seandainya hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan aqidah atau syariah, maka para shahabat tidak akan begitu saja menerima berita turunnya wahyu itu.
4. Hadits Nabawi
Juga ada hadits nabawi berikut ini yang menegaskan bahwa berita yang dibawa hanya oleh satu orang, tetap bisa dijadikan dasar dan hujjah atas masalah yang penting semacam aqidah dan sebagainya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar sesuatu dariku, kemudian dia menyampaikannya lagi kepada orang lain sebagaimana yang dia dengar. (HR Tirimizy)
Hadits ini jelas sekali menegaskan bahwa mendengar hadits yang menyampaikannya kembali, meski dilakukan hanya oleh satu orang saja, dapat dilakukan dan dibenarkan. Baik terkait dalam masalah aqidah, syariah atau lainnya.
Seandainya pendapat untuk menolak hadits ahad ini kita terima, maka sangat berbahaya sekali. Sebab ada banyak sekali aqidahIslam yang harus gugur, karena landasannya hanya berdasarkan hadits ahad. Di antaranya masalah syafat nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di hari akhir, mukjizat nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selain Al-Quran, sifat malaikat dan jin, sifat surga dan neraka, adanya sisksa kubur, mizan (timbangan), haudh (telaga) nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di akhirat, jembatan (shirath), berita-berita tentang hari kiamat dan ciri-ciri kedatangannya, seperti munculnya Imam Mahdi, Nabi Isa, Dajjal dan seterusnya.
Karena semua aqidah itu dilandasi dengan dalil-dalil yang berasal dari hadits ahad, tidak sampai mutawatir.
Bahkan sebagian besar syariat Islam akan terhapus, karena jumlah hadits mutawatir sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah hadits ahad.
Yang benar adalah bahwa hadits ahad itu banyak yang shahih, sehingga tetap bisa dijadikan landasan aqidah, syariah dan semuanya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.