Ada lagi pola berqurban yang banyak dilakukan oleh sebagian masyarakat, yaitu arisan qurban. Fenomena ini cukup banyak terjadi akhir-akhir ini. Tujuannya tentu untuk ibadah, tetapi bagaimana dengan hukumnya, tentu harus dibahas dengan lebih teliti.
Setidaknya ada dua hal yang perlu dibahas. Pertama, hukum arisan itu sendiri, ada yang halal dan ada yang haram. Kedua, hukum menyembelih hewan qurban dengan uang hutang.
1. Hukum Arisan
Prinsipnya, kalau sistem dan tata cara arisan itu halal, maka hukumnya cenderung jadi halal juga. Sebaliknya, bila sistem arisannya haram, karena mengandung unsur yang bertentangan dengan syariat Islam, maka arisan Qurban pun hukumnya haram juga.
Ada begitu banyak sistem dan tata cara arisan, kita tidak bisa langsung mengeluarkan vonis bahwa semua arisan itu halal atau sebaliknya. Tetapi harus kita bedah terlebih dahulu satu per satu pada masing-masing kasus.
a. Semua Harus Dapat Giliran Menang
Untuk membedakan antara arisan dengan perjudian, dalam arisan yang halal, prinsipnya semua anggota harus dapat giliran menang. Sehingga pada akhirnya tidak ada anggota yang untung atau rugi secara finansial, karena uang mereka tidak bertambah dan tidak berkurang.
Untuk memudahkannya, mari kita buat ilustrasi sederhana. Anggaplah ada sebuah permainan yang melibatkan tiga anggota. Hak dan kewajiban anggota permainan adalah membayar sejumlah uang tertentu pada tiap pengocokan. Setelah dikocok, maka yang namanya keluar adalah pemenang dan dia berhak mendapat uang dari ketiga anggota yang telah disetorkan.
Sampai disini, belum ada bedanya antara arisan dan perjudian. Dan kalau hanya sekali saja pengocokan itu dilakukan, maka arisan ini tidak lain adalah perjudian yang diharamkan.
Agar tidak haram, maka pengocokan itu harus berjalan sebanyak jumlah anggota permainan, dimana sistem dan tata caranya memastikan bahwa tiga orang pemain satu per satu harus mendapat giliran menang.
Maka yang namanya sudah keluar dan jadi pemenang, tidak boleh lagi diikutkan dalam pengocokan. Sehingga dari tiga kali pengocokan, keluarlah tiga pemenang yang berbeda.
Artinya dalam hal ini, fungsi pengocokan hanya sekedar menetapkan siapa yang berhak mengambil hadiah duluan, dan bila sudah pernah menang, dia tidak lagi berhak. Sedangkan dalam sebuah perjudian, pemenang ditentukan dari hasil pengocokan, namun si pemenang dimungkinkan untuk menang berkali-kali. Maka disitulah letak titik perbedaan utama antara arisan yang halal dan perjudian yang haram.
b. Nilai Setoran Tidak Boleh Berbeda Kemenangan
Arisan yang haram hukumnya adalah bila jumlah total uang yang disetorkan berbeda dengan nilai yang didapat ketika menang.
Sebagai contoh misalnya, hadiah buat pemenang arisan nilainya berubah-ubah pada tiap pengocokan. Pada pengocokan pertama, jumlah nilai bagi pemenang ditetapkan sebesar 30 ribu rupiah, maka masing-masing anggota dharuskan mengeluarkan uang 10 ribu rupiah.
Tiba-tiba pada pengocokan kedua, disepakati bahwa jumlahuang buat pemenang diubah menjadi 45 ribu rupiah, sehinggamasing-masing anggota harus mengeluarkan uang 15 ribu rupiah.
Dan pada pengocokan ketiga, disepakati bahwa uang buat pemenang ditetapkan hanya 24 ribu rupiah saja, sehingga masing-masing anggota cukup mengeluarkan uang sebesar 8 ribu.
Cara ini jelas haram hukumnya. Karena kalau kita kalkulasi secara total dari awal hingga akhir, ada pihak yang untung dan ada yang rugi. Selama tiga kali pengocokan, masing-masing anggota harus menyetorkan uang sebesar 10 ribu, ditambah 15 ribu dan 8 ribu, sama dengan 33 ribu.
Tetapi uang yang diterima oleh masing-masing pemenang ternyata berbeda. Pemenang yang mendapat giliran pertama mendapat 30 ribu, sedangkan pemenang giliran kedua mendapat 45 ribu dan pemenang giliran ketiga hanya mendapat 24 ribu. Cara ini 100% sama persis dengan perjudian, bahkan sesungguhnya ini adalah perjudian itu sendiri. Dan hukumnya jelas haram.
Maka hukum arisan qurban itu menjadi haram, bila pemenangnya dipastikan mendapatkan kambing, yang harganya tiap tahun selalu berubah. Tahun ini harganya 1,5 juta, boleh jadi tahun depan harganya naik menjadi 2 juta. Dan tahun-tahun ke depan, harganya mungkin mencapai 3 juta.
Kalau mau halal, yang dijadikan hadiah bukan kambingnya, melainkan uangnya. Dimana nilai uang itu tidak akan berubah tiap tahun.
Walau pun sebenarnya tetap saja arisan kambing qurban ini dirasa riskan dan beresiko. Sebab arisan ini pastinya hanya dikosong setahun sekali, kalau anggotanya ada 10 orang, maka akan terjadi hutang piutang yang jangka waktunya cukup lama.
Walau pun nilai uangnya tiap tahun sama, 2 juta rupiah misalnya, tetapi nilai 2 juta rupiah di tahun akan berbeda pada 10 tahun lagi. Dua juta ruiah di tahun ini bisa untuk membeli kambing, sedangkan 10 tahun lagi, uang 2 juta rupiah itu hanya bisa untuk membeli anak kambing.
Maka kalau mau aman, jangan arisan jangka panjang dengan menggunaka uang rupiah, tetap gunakan saja emas, atau mata uang asing yang lebih stabil seperti riyal atau dolar.
2. Berkurban Dengan Uang Hutang
Berquban dengan cara ikut arisan pada prinsipnya tidak lain adalah berkurban tetapi dengan uang yang didapat dari hutang. Dengan pengecualian buat pemenang giliran terakhir, dia tidak termasuk. Namun selain si pemenang terakhir, mulai dari pemenang pertama, kedua dan seterusnya, masuk hukumnya pada orang yang berkurban dengan uang hutang dari orang lain.
Pertanyaannya, bolehkah berkurban dengan uang hasil dari berhutang?
Jawabnya bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada pihak yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.
a. Membolehkan
Di antara pihak yang membolehkan berqurban dengan uang hasil hutang adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri. Sufyan al-Tsauri rahimahullah mengatakan: “Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta kurban. Beliau ditanya: “Apakah kamu berhutang untuk membeli unta kurban?” beliau jawab: “Saya mendengar
Allah berfirman:
“Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya (unta-unta kurban tersebut).” (QS. Al Hajj: 36)
b. Tidak Membolehkan
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berkurban. Artinya, tidak dianjurkan berhutang demi sekedar melaksanakan penyembelihan hewan qurban yang hukumnya sunnah.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutangnya daripada berkurban.” (Syarhul Mumti’, jilid 7 hal. 455)
Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi kurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab, “Jika dihadapkan dua permasalahan antara berkurban atau melunasi hutang orang yang faqir maka lebih utama melunasi hutang tersebut, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin, jilid 18 hal. 144)
Sejatinya, pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang.
Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika berqurban adalah untuk orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau untuk hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang daripada kurban adalah untuk orang yang kesulitan melunasi hutang atau pemiliknya meminta agar segera dilunasi.
Dengan demikian, jika arisan kurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berkurban dengan arisan adalah satu hal yang baik.