عن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
Abu Hurairah berkata, “Seorang Arab badui berdiri dan kencing di Masjid, lalu orang-orang ingin mengusirnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda kepada mereka: “Biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan setimba air, atau dengan seember air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.” (HR. Bukhari)
Beberapa saat yang lalu, penulis bertemu dengan salah seorang mahasiswa yang menceritakan bahwa adiknya pernah menderita penyakit asma dan tidak sembuh-sembuh. Kemudian ibunya memberikan terapi dengan menyuruh anak perempuannya tersebut untuk meminum air kencing ibunya sendiri. Caranya air kencing ibunya tiap pagi ditaruh di gelas dicampur sedikit teh dan gula. Anak tersebut meminum ramuan air kencing, teh dan gula itu tiap pagi. Tujuh hari anak yang menderita penyakit asma tersebut meminum air kencing ibunya, dan ternyata sembuh total.
Penulis bertanya kepada mahasiswa tersebut, siapa yang memberitahu bahwa air kencing bisa menyembuhkan beberapa penyakit, termasuk penyakit asma? Dia menjawab bahwa pengobatan dengan air kencing itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa dimana dia tinggal. Percaya atau tidak percaya itulah fakta yang terjadi di lapangan, dan memang terbukti sembuh. Pertanyaannya adalah bolehkah kita sebagai orang muslim berobat dengan menggunakan air kencing manusia? Tulisan di bawah ini menjelaskan hal tersebut :
Air Kencing Manusia Adalah Najis
Berbeda dengan air kencing binatang ternak, yang para ulama berbeda pendapat tentang statusnya, apakah suci atau najis, untuk air kencing manusia, semua ulama sepakat tentang kenajisannya.
Berkata Imam Nawawi :
فَأَمَّا بَوْلُ الْآدَمِىِّ الْكَبِيْرِ فَنَجَسٌ بِاِجْمِاعِ الْمُسْلِمِيْنَ
“Adapun air kencing orang dewasa adalah najis menurut kesepakatan para ulama.“ [1]
Hal itu berdasarkan dalil-dalil di bawah ini :
Pertama : Firman Allah subhanau wata’ala :
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan yang menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk .“ (Qs. al-A’raf : 157)
Menurut Imam Malik bahwa segala yang buruk adalah segala sesuatu yang diharamkan di dalam Islam, sedang menurut Imam Syafi’I bahwa segala sesuatu yang buruk adalah segala sesuatu yang diharamkan untuk dimakan dan segala sesuatu yang jijik.[2] Dari kedua pendapat ulama tersebut, maka air kencing termasuk sesuatu yang najis.
Kedua : hadist Ibnu Abbas :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Dari Ibnu ‘Abbas berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lewat di dekat dua kuburan, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak bersuci setelah kencing, sementara yang satunya suka mengadu domba.” Kemudian beliau mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelahnya menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini?” beliau menjawab: “Semoga siksa keduanya diringankan selama batang pohon ini basah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist di atas menjelaskan bahwa orang yang tidak bersuci (cebok) setelah kencing akan diadzab di dalam kuburan, hal ini menunjukkan bahwa air kencing itu najis.
Ketiga : hadist orang Badui yang kencing di masjid :
عن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
Abu Hurairah berkata, “Seorang Arab badui berdiri dan kencing di Masjid, lalu orang-orang ingin mengusirnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda kepada mereka: “Biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan setimba air, atau dengan seember air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.” (HR. Bukhari)
Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyiram bekas air kencing dengan air, menunjukkan bahwa air kencing itu najis.
Keempat : Hadist Anas bin Malik :
عَنْ أَنس قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَنَزَّهُوا مِنَ الْبَوْلِ ؛ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَه
Dari Anas, bahwasanya ia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alahi wassalam bersabda : “Bersihkan dari air kencing, karena sesungguhnya kebanyakan adzab kubur itu dari air kencing (yang tidak dibersihkan)“ (HR. Daruquthni) [3]
II. Hukum Berobat Dengan Kencing Manusia
Setelah kita mengetahui bahwa air kencing manusia adalah najis berdasarkan dalil-dalil di atas, maka hukum berobat dengan air kencing manusia sama dengan hukum berobat dengan barang najis, boleh atau tidak? Para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Berobat dengan barang najis, termasuk di dalamnya air kencing manusia haram. Ini pendapat sebagian ulama Syafi’iyah. [4]
Dalil-dalilnya sebagai berikut :
Pertama : Hadist Abu Darda’ , bahwasanya Rosulullah shallallahu a’laihi wasallam bersabda :
إنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan obat, serta menyediakan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram. “ (HR. Abu Daud)
Kedua : Hadist Abu Hurairah radiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ
“ Rosulullah saw melarang untuk berobat dengan barang yang haram “. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Ketiga : Atsar Ibnu Mas’ud radiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata :
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan kesembuhan kamu di dalam sesuatu yang diharamkan.” (HR. Bukhari)
Pendapat Kedua : Dibolehkan berobat dengan kencing manusia, jika hal itu memang bisa menyembuhkan dan tidak ada obat mubah yang lainnya, serta dianjurkan oleh dokter muslim. Ini adalah pendapat sebagian ulama Hanafiyah[5], dan sebagian ulama Syafi’iyah. [6]
Berkata : Ibnu Nujaim al-Hanafi :
وَهَذَا لِأَنَّ الْحُرْمَةُ سَاقِطَةٌ عِنْدَ الِاسْتِشْفَاءِ أَلَا تَرَى أَنَّ الْعَطْشَانَ يَجُوزُ له شُرْبُ الْخَمْرِ وَالْجَائِعُ يَحِلُّ له أَكْلُ الْمَيْتَةِ
“Dan ini, karena keharaman menjadi gugur ketika seseorang berobat (dalam keadaan darurat), bukankah orang yang sangat haus dibolehkan minum khomr dan orang yang kelaparan dibolehkan untuk makan bangkai (dalam keadaan darurat). “ [7]
Ibnu Rusydi di dalam kitab al Bayan wa at Tahshil memberikan rincian, jika air kencing itu diminum, maka hal itu tidak dibolehkan, karena najis, tetapi jika dipakai untuk mengobati luka atau sakit luar (untuk obat luar), maka dibolehkan. Beliau juga mengatakan bahwa hukum berobat dengan air kencing ini lebih ringan daripada berobat dengan khomr, karena Allah menyebutkan di dalam Al Qur’an secara tegas dan jelas agar kita menjauhi khomr. Adapun kencing tidak disebutkan di dalam Al Qur’an, jadi hukumnya lebih ringan. [8]
Berkata Imam Nawawi :
وَأَمَّا التَّدَاوِى بِالنَّجَاسَاتِ غَيْرَ الْخَمْرِ فَهُوَ جَائِزٌ سَوَاءٌ فِيْهِ جَمِيْعُ النَّجَاسَاتِ غَيْرَ المُسْكِرِ هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ وَالْمَنْصُوْصُ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُوْرُ
“Adapun berobat dengan sesuatu yang najis selain khomr, maka hal itu dibolehkan, dan berlaku bagi semua yang najis yang tidak memabukkan. Ini adalah pendapat yang dipilih madzhab (syafi’I) dan sudah tertulis serta diyakini oleh mayoritas (ulama syafi’iyah). “ [9]
Imam Mawardi menjelaskan bahwa jika seseorang kehausan dan takut mati, tidak mendapatkan apa-apa kecuali air najis atau kencing, maka dibolehkan baginya untuk meminumnya, tetapi minum air najis lebih ringan dibanding minum air kencing, karena najisnya air itu berasal dari luar, sedangkan najisnya kencing, berasal dari dalam kencing itu sendiri( najis lidzatihi ) . Oleh karena itu dibolehkan juga berobat dengan air kencing, jika tidak ada obat yang suci. [10]
Adapun dalil-dalil yang diungkapkan ulama Syafi’iyah adalah sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah swt :
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“ Maka, barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( Qs Al Baqarah : 173 )
Kedua : hadist ‘Urayinin,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا فَانْطَلَقُوا فَلَمَّا صَحُّوا قَتَلُوا رَاعِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتَاقُوا النَّعَمَ فَجَاءَ الْخَبَرُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمْ فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيءَ بِهِمْ فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ وَأُلْقُوا فِي الْحَرَّةِ يَسْتَسْقُونَ فَلَا يُسْقَوْنَ
Dari Anas bin Malik berkata, “Beberapa orang dari ‘Ukl atau ‘Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air kencing dan susunya. Maka mereka pun berangkat menuju kandang unta (zakat), ketika telah sembuh, mereka membunuh pengembala unta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membawa unta-untanya. Kemudian berita itu pun sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelang siang. Maka beliau mengutus rombongan untuk mengikuti jejak mereka, ketika matahari telah tinggi, utusan beliau datang dengan membawa mereka. Beliau lalu memerintahkan agar mereka dihukum, maka tangan dan kaki mereka dipotong, mata mereka dicongkel, lalu mereka dibuang ke pada pasir yang panas. Mereka minta minum namun tidak diberi.” ( HR Bukhari dan Muslim )
Ketiga : bahwa berobat itu dalam keadaan darurat, maka hukum berobat dengan air kencing manusia seperti hukum orang yang terpaksa makan bangkai, sehingga dibolehkan.
Keempat : bahwa makan racun hukum haram, tetapi berobat dengan racun sudah menjadi kebiasaan masyarakat, artinya obat yang diminum oleh masyarakat sebenarnya adalah racun, tetapi masyarakat biasa-biasa saja, tidak ada ulama yang mengingkarinya. Makanya, kalau minum obat banyak-banyak dan over dosis bisa menyebabkan kematian. Kalau berobat dengan racun ini saja boleh, tentunya dengan air kencingpun dibolehkan. [11]
Kelima : Kaidah Fiqh yang berbunyi:
الحَاجَةُ تُنزلُ مَنزلة الضّرُورَة
“ Kebutuhan itu dianggap sebagai sesuatu yang darurat “ [12]
- Dalam kasus berobat dengan air kencing manusia, barangkali dia sudah berobat kemana-mana tapi belum juga sembuh, jika berobat dengan air kencing manusia ini bisa dijadikan alternatif, maka hal itu dibolehkan.
Kesimpulan :
Setelah menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang hukum berobat dengan kencing manusia, kita mengetahui bahwa hal tersebut masih dalam katagori masalah khilafiyah. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim diharapkan tidak menggampangkan masalah seperti ini, kalau tidak benar-benar dalam keadaan darurat, maka lebih baik, tidak berobat dengan air kencing. Kita harus yakin bahwa yang menyembuhkan penyakit itu adalah Allah, maka carilah obat yang halal dan baik, Insya Allah, kesembuhan itu akan datang.
[1] Nawawi, Al Majmu : 2/ 548
[2] Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Qur’an : 7/191
[3] Imam Daruquthni mengatakan bahwa yang benar dari hadist ini adalah Mursal, tetapi dalam riwayat Abu Hurairah dan Ibnu Abbas sanadnya shohih ( Ibnu Hajar, at-Talkhis : 1/ 160, Abu Bakar Dinwari, al Mujalasah wa jawahir al Ilmi, 1/ 323 )
[4] Mawardi, al Hawi al Kabir, 15/ 170, Nawawi, al Majmu’, 9/ 41
[5] Ibnu Abidin, Raddu al Muhtar, Beirut, Dar al Fikr, 2000 : 5/ 228
[6] Mawardi, al Hawi al Kabir, 15/ 170, Nawawi, al Majmu’, 9/ 41
[7] Ibnu Nujaim, al Bahru ar Raiq, Beirut, Dar al Ma’rifah : 1/ 42
[8] Ibnu Rusydi, al Bayan wa at Tahshil, Beirut, Dar al Gharb, 1988, cet-2 : 18/428
[9] Nawawi, al Majmu’, 9/ 54
[10] Mawardi, al Hawi al Kabir, 15/ 170.
[11] Mawardi, al Hawi al Kabir, 15/ 171
[12] Abdul Aziz Muhammad Azzam, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Kairo, Dar al-Hadist, 2005, hlm 164