Hukum Bersuci dengan Air yang Dipanaskan oleh Matahari atau Api

Selain keadaan air yang wajar ada juga beberapa keadaan lain dari air yang mengandung hukum. Di antaranya adalah air musakhkhan (panas) baik karena dipanaskan oleh matahari (musyammasy) atau pun yang tidak.

  1. Air Musakhkhan Musyammasy

Air musakhkhan ( مسخّن ) artinya adalah air yang dipanaskan. Sedangkan musyammas ( مشمّس ) diambil dari kata syams yang artinya matahari.

Jadi air musakhkhan musyammas artinya adalah air yang berubah suhunya menjadi panas akibat sinar matahari. Sedangkan air yang dipanaskan dengan kompor atau dengan pemanas listrik tidak termasuk ke dalam pembahasan disini. Hukum air ini untuk digunakan berthaharah menjadi khilaf di kalangan ulama.

Pendapat Yang Membolehkan Mutlak

Pendapat ini mengatakan tidak ada bedanya antara air yang dipanaskan oleh matahari atau air putih biasa. Keduanya sama-sama suci dan mensucikan dan boleh digunakan tanpa ada kemakruhan. Yang berpendapat seperti ini adalah umumnya jumhur mazhab Al Hanafiyah dan Al Hanabilah. Bahkan sebagian ulama di kalangan Asy Syafi’iyah seperti Ar-Ruyani dan Al Imam An-Nawawi sekali pun juga berpendapat sama.[1]

Pendapat Yang Memakruhkan

Pendapat ini cenderung memakruhkan air yang dipanaskan oleh sinar matahari. Di antara mereka yang memakruhkannya adalah mazhab Al Malikiyah dalam pendapat yang muktamad sebagian ulama di kalangan mazhab dan sebagian Al Hanafiyah.

Pendapat yang kedua ini umumnya mengacu kepada atsar dari shahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Umar bin Al Khattab radhiyallahu anhu yang memakruhkan mandi dengan air yang dipanaskan oleh sinar matahari.

Bahwa beliau memakruhkan mandi dengan menggunakan air musyammas (HR. Asy-Syafi’i)[2]

Larangan ini disinyalir berdasarkan kenyataan bahwa air yang dipanaskan lewat sinar matahari langsung akan berdampak negatif kepada kesehatan sebagaimana dikatakan oleh para pendukungnya sebagai ( یورث البرص ) yakni mengakibatkan penyakit belang.

Jangan lakukan itu wahai Humaira’ karena dia akan membawa penyakit belang. (HR. Ad-Daruquthuny)[3]

Kemakruhan yang mereka kemukakan sesungguhnya hanya berada pada wilayah kesehatan bukan pada wilayah syariah.

Namun mereka yang mendukung pendapat ini seperti Ad-Dardir menyatakan air musyammas musakhkhan ini menjadi makruh digunakan untuk berthaharah manakala dilakukan di negeri yang panasnya sangat menyengat seperti di Hijaz (Saudi Arabia).

Sedangkan negeri yang tidak mengalami panas yang ekstrim seperti di Mesir atau Rum hukum makruhnya tidak berlaku.[4]

  1. Air Musakhkhan Ghairu Musyammasy

Musakhkhan ghairu musyammasy artinya adalah air yang menjadi panas tapi tidak karena terkena sinar matahari langsung.

Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa air yang ini tidak makruh untuk digunakan wudhu atau mandi janabah lantaran tidak ada dalil yang memakruhkan. Bahkan Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan meski air itu menjadi panas lantaran panasnya benda najis tetap saja air itu boleh digunakan untuk berthaharah.

Namun bila air itu bersuhu sangat tinggi sehingga sulit untuk menyempurnakan wudhu dengan betul-betul meratakan anggota wudhu dan air secara benar-benar (isbagh) hukumnya menjadi makruh bukan karena panasnya tetapi karena tidak bisa isbagh.[5]

______________________

[1] Al Majmu’ 1 187 dan Al Mughni 1 18-20

[2] Dalil ini bukan hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melainkan atsar dari Umar bin Al Khattab. Al Imam Asy-Syafi’i menyebutkan hadits ini dalam kitab Al Umm jilid 1 halaman 3. Namun Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani dalam At-Talkhish jilid 1 halaman 22 menyebutkan bahwa sanad periwayatan atsar ini sangat lemah.

[3] Hadits ini pun disinyalir oleh sebagian muhaqqiq sebagai hadits yang lemah sekali dari segi periwayatannya.

[4] Asy-Syarhush-shaghir 1 16 dan Hasyiyatu Ad-Dasuqi 1 44

[5] Asy-Syarhul Kabir 1 45