Darah manusia yang berada di luar tubuh termasuk najis, lantas bagaimana hukum donor darah dan memasukkannya ke tubuh orang lain?
Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, ada tiga perkara yang harus dibicarakan untuk menjelaskan hukum donor darah.
Masalah Pertama: Penerima Donor Darah
Yang boleh menerima darah yang didonorkan adalah orang yang berada dalam keadaan kritis karena sakit ataupun terluka dan sangat memerlukan tambahan darah. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. 2:173)
Dalam ayat lain Allah berfirman: “Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 5:3)
Dalam ayat lain Allah juga berfirman: “Dan sungguh telah dijelaskan kepadamu apa-apa yang diharamkan atasmu kecuali yang terpaksa kamu memakannya.”
Bentuk pengambilan dalil dari ayat di atas bahwasanya jikalau keselamatan jiwa pasien karena sakit atau luka sangat tergantung kepada darah yang didonorkan oleh orang lain dan tidak ada zat makanan atau obat-obatan yang dapat menggantikannya untuk menyelamatkan jiwanya maka dibolehkan mendonorkan darah kepadanya. Dan hal itu dianggap sebagai pemberian zat makanan bagi si pasien bukan sebagai pemberian obat. Dan memakan makanan yang haram dalam kondisi darurat boleh hukumnya, seperti memakan bangkai bagi orang yang terpaksa memakannya.
Masalah Kedua: Pendonor Darah
Boleh mendonorkan darah jika tidak menimbulkan bahaya dan akibat buruk terhadap si pendonor darah, berdasarkan hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam : “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan jiwa dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.”
Boleh transfusi darah dari orang kafir walaupun kafir harbi (yaitu orang kafir yang memerangi/sedang perang orang muslim) kepada orang muslim. Dan boleh transfusi darah dari orang muslim ke orang kafir yang non-harbi. Karena kafir harbi darahnya (nyawanya) tidak terjaga/terjamin, maka tidak boleh membantunya, bahkan harus memerangi mereka. Kecuali jika mereka menjadi tawanan.
Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz mengatakan bahwa tidak masalah melakukan donor darah jika memang dibutuhkan, setelah dokter memutuskan pasien butuh donor darah. Sementara asal darah, ini darah si Fulan, ini darah si Fulan, tidak ada masalah. Baik darah istri untuk suaminya atau darah suami untuk istrinya, atau darah orang kafir untuk orang muslim atau darah muslim untuk orang kafir, tidak ada masalah.
Kecuali jika orang kafirnya adalah kafir harbi yang diperintahkan oleh syariat untuk membunuhnya. Untuk kafir semacam ini tidak boleh diberi donor darah. Adapun kafir dzimmi atau mu’ahad (keduanya adalah orang kafir yang mendapat jaminan dan ada perjanjian damai dengan kaum muslimin) atau kafir yang bekerja di tempat kita, tidak masalah saling donor.
Masalah Ketiga: Instruksi yang Jadi Pegangan
Instruksi yang dipegang dalam pendonoran darah itu adalah instruksi seorang dokter muslim. Jika tidak ada, makakelihatannya tidak ada larangan mengikuti instruksi dokter non muslim, baik dokter itu Yahudi, Nasrani ataupun selainnya.
Dengan catatan ia adalah seorang yang ahli dalam bidang kedokteran dan dipercaya banyak orang. Dasarnya adalah sebuah riwayat dalam kitab Ash-Shahih bahwasanya Rasulullah menyewa seorang lelaki dari Bani Ad-Diel sebagai khirrit (penunjuk jalan) sementara ia masih memeluk agama kaum kafir Quraisy. Khirrit adalah penunjuk jalan (guide) yang mahir dan mengenal medan. (H.R Al-Bukhari No:2104)
Lembaga tertinggi Majelis Ulama juga mengeluarkan fatwa berkenaan dengan masalah ini sebagai berikut:
Pertama: Boleh hukumnya mendonorkan darah selama tidak membahayakan jiwanya dalam kondisi yang memang dibutuhkan untuk menolong kaum muslimin yang benar-benar membutuhkannya.
Kedua: Boleh hukumnya mendirikan Bank donor darah Islami untuk menerima orang-orang yang bersedia mendonorkan darahnya guna menolong kaum muslimin yang membutuhkannya. Dan hendaknya bank tersebut tidak menerima imbalan harta dari si sakit ataupun ahli waris dan walinya sebagai ganti darah yang di donorkan. Dan tidak dibolehkan menjadikan hal itu sebagai lahan bisnis untuk mencari keuntungan, karena hal itu berkaitan dengan kemaslahatan umum kaum muslimin.