Mukadimah
Isu ini hangat diperbincangkan oleh semua pihak. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Facebook kami, kami mau membincangkannya secara khusus seperti yang telah dijanjikan. Bersama dengan isu ini, banyak tajuk berkaitan yang lain dan kami tidaklah membincangkannya kecuali tajuk ini saja supaya ia lebih terfokus dan sampai kepada sasaran. Justru, Bayan Linnas pada kali ini kami namakan dengan Penjelasan Berhubung Hukum dzikir Menari. Pada masa ini, isu ini begitu hangat dibahas.
Maka, kami kemukakan di sini berbagai pandangan dan hujahan berdasarkan nash atau fatwa yang dikemukakan. Semoga pencerahan ini memberi pemahaman yang baik kepada kita. Amin.
Definisi Dzikir
Berbagaii maksud dan definisi dapat diberikan kepada pengertian Dzikir. Dari segi bahasa dzikir bermaksud mengingat. Sementara dari segi istilah, dzikir merupakan mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala kapan dan di mana saja berada dengan cara-cara yang dibolehkan oleh syara’ seperti dengan ucapan, perbuatan, atau dengan hati.
Selain itu, dzikir juga dapat diartikan sebagai sebagian dari rangkaian iman yang diperintahkan agar kita melakukannya setiap saat. Mengingat Allah mendorongkan seseorang melakukan perintah-Nya dan meninggalkan laranganNya. Mengingat Allah adalah usaha yang berkesan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah
Dzikir terbagi dua: qalbi (dalam hati) atau lisani (yaitu pada lafaz lidah).
Dzikir orang-orang soleh adalah dengan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil sementara dzikir orang yang berpaling dari Allah yaitu dengan nyanyian yang melalaikan, ghibah (mengumpat orang lain), namimah (mengadu domba), dan kekejian.
Definisi Menari
Definisi menari dalam Kamus, menari bermaksud melakukan tari (gerakan badan serta tangan dan kaki berirama) mengikut rentak music, sedangkan berdansa bermaksud menari cara Barat. Ini bermakna menari lebih luas konsepnya dan contoh-contoh ayat boleh dilihat dalam kamus, buku, majalah dan artikel yang berkaitan.
Hukum Gerakan Dalam Dzikir
Sebelum dibincangkan tajuk utama yaitu dzikir dalam keadaan menari, suka dinyatakan bahwa dzikir dalam keadaan bergerak adalah perkara yang dibolehkan karena ia menyebabkan badan menjadi lebih bersemangat untuk melaksanakan ibadat Dzikir. Mereka berdalilkan kepada nash al-Qur’an dan hadits antaranya:
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
“…(Yaitu) orang-orang yang menyebut dan mengingat Allah semasa mereka berdiri dan duduk dan sambil mereka berbaring …”(Surah Ali Imran: 191)
Al-Maghari berkata: “Sepanjang menjalani kehidupan, mereka tidak pernah lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala malahan mereka sering mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hati yang terang dan menyedari sepenuhnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sentiasa mengawasi dirinya.”
Adapun dari segi hadits Ummu al-Mukminin Aisyah Radhiyallahu Anha pernah melaporkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berzikrullah (berDzikir kepada Allah) dalam semua keadaan. Sedang berjalan, menaiki kenderaan, di atas kendaraan, berbaring, duduk dan bermacam lagi pernah dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Hukum Dzikir Dalam Keadaan Menari
Setelah melihat kepada isu yang begitu hangat ini, kami mendapati terdapat dua pandangan dengan masing-masing berhujah. Secara ringkasnya seperti berikut.
Pertama: Haram
Antaranya firman Allah Subahanahu wa Ta’ala:
Antara hujah golongan ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melakukannya begitu juga secara umumnya para Sahabat tidak melakukannya kecuali sebagian kecil saja di kalangan mereka.
اللَّـهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّـهِ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allâh…” (Surah al-Zumar: 23)
Ayat ini juga membantah tarian-tarian atas nama ibadah karena ia telah menjelaskan keadaan orang Mukmin saat mendengar dzikir yang disyariatkan. Keadaan orang Mukmin yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang takut kepada hukuman-Nya, ketika mendengarkan firman-Nya, janji dan ancaman-Nya, hati mereka melunak, air mata bertetesan, bergemetar kulit, tampak khusyuk dan penuh ketenangan.
Seterusnya mereka bersandarkan kepada ijma’ ulama’ yang melarang serta menganggap perbuatan tarian seperti itu adalah bid’ah yang ditegah. Antara tokoh yang tegas dengan pendapat ini adalah:
- Imam Abu Bakar al-Turtusi
• Imam Taqiyuddin al-Subki
• Imam Ibn Hajar al-Haitami
• Imam al-Qurtubi
• Imam Ibn Katsir
• Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Hanafi dan lain-lain lagi.
Antara kaedah yang masyhur digunakan ialah:
الأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ الْحَظَرُ أَوِ التَّوَقُّفُ
“Asal pada ibadat adalah haram atau tawaqquf”
Maksud tawaqquf adalah terhenti kepada dalil. Jika terdapat dalil hukumnya dibolehkan. Sebaliknya jika tiada dalil, hukumnya adalah haram. Kaidah ini telah digunakan oleh ramai tokoh ulama’ antaranya :
- al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fats al-Bari
• Imam al-Zurqani dalam mensyarahkan kitab al-Muwatta’
• Imam Ibn Muflih dalam al-Adab al-Syar’iyyah
• Imam al-Syaukani dalam Nail al-Autsar dan ramai lagi.
Antara tokoh ulama’ terdahulu yang memfatwakan ketidakbolehan berDzikir dalam keadaan menari ialah:
- Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi ketika ditanya dalam isu ini beliau menyatakan: “Sesungguhnya pelaku perbuatan ini bersalah, kehormatan dirinya jatuh. Orang-orang yang mengamalkan perbuatan ini secara terus-menerus kesaksiannya ditolak disisi syara’, perkataannya tidak diterima, rentetan dari ini, tidak diterima periwayatannya dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak diterima juga kesaksiannya dalam melihat anak bulan Ramadhan, dan tidak diterima berita-berita agama yang dibawa. Manakala keyakinan bahwa dirinya cinta pada Allah, sesungguhnya kecintaan dan ketaatan tersebut mungkin terjadi selain dari amalan ini, dan mungkin dia mempunyai hubungan dan amalan yang baik dengan Allah selain dari situasi yang disebutkan ini.
Sedangkan amalan ini merupakan satu maksiat dan permainan senda gurau, yang dikeji oleh Allah dan Rasul-Nya, dibenci pula oleh ahli ilmu dan mereka menamakan berbuatan ini sebagai bid’ah dan melarang dari berlakunya. Tidak boleh bertaqarrub dengan Allah dengan melakukan maksiat kepada-Nya, tidak boleh juga ketaatan kepada Allah terjadi dengan melakukan larangan-Nya. Barangsiapa yang menjadikan wasilah kepada Allah dengan maksiat dia patut dipulau dan dijauhkan, dan barangsiapa menjadikan permainan dan persendaan sebagai agama, mereka adalah seperti orang yang berusaha menyebarkan kerosakan diatas muka bumi, dan orang-orang yang ingin sampai kepada Allah bukan dengan cara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sunnahnya, maka dia sangat jauh untuk mencapai apa yang diidamkannya.”
(Sebagian fatwa yang mengutuk penggunaan seruling, tarian dan pendengaran muzik oleh Imam Ibnu Qudamah. Rujuk http://majles.alukah.net/t36981/)
- Sultan al-Ulama’ Izzuddin Abd al-Salam melalui kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam 2/349-350 antara lain menyebut: ” …Tentang tarian dan tepukan : ianya adalah keringanan (akal) dan kebodohan menyerupai gerakan perempuan, tidak ada yang melakukan demikian itu kecuali orang yang cacat akalnya, atau berpura-pura lagi pembohong, bagaimana dia boleh menari mengikuti dengan irama nyanyian dari orang yang telah hilang jiwanya, dan telah tiada hatinya! Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah pun bersabda, “Sebaik-baik kurun adalah kurunku, kemudian kurun yang selepasnya, kemudian yang selepasnya.”
Tidak pernah seorang pun yang boleh diikuti amalan mereka melakukan sembarang perbuatan demikian, sesungguhnya demikian itu hanyalah penguasaan syaitan keatas suatu kaum yang menyangka lenggokan mereka ketika mendengar (nyanyian yang dianggap Dzikir) adalah bentuk pergantungan dengan Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya mereka telah tertipu dengan apa yang mereka kata, dan menipu dalam apa yang mereka dakwa. Mereka mendakwa bahwa mereka mendapat dua kelazatan ketika mendengar apa yang didendangkan,
Pertama. kelezatan ma’rifah dan keadaan bergantung pada Allah. Kedua, kelazatan suara, lenggokan nada, kata-kata yang tersusun yang membawa kepada kelazatan nafsu yang bukan dari agama dan tiada kaitan dengannya. Tatkala makin besar dua kelazatan ini yang mereka rasa, mereka tersilap dan menyangka bahwa terkumpulnya kelazatan itu berlaku dengan ilmu ma’rifat dan keadaan, akan tetapi tidak begitu, bahkan yang sering berlaku hanyalah kelazatan nafsu semata yang tiada kaitan dengan agama.
Sebagian ulama mengharamkan tepukan tangan, karena hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (Sesungguhnya tepukan hanya untuk perempuan) dan Rasulullah melaknat perempuan yang menyerupai lelaki, begitu juga lelaki yang menyerupai perempuan. Barangsiapa yang merasai kehebatan Allah, dan menyedari kebesarannya, tidak dapat dibayangkan akan timbul dari dirinya tarian dan tepukan, dan tidak timbul tarian dan tepukan kecuali dari orang yang dungu lagi jahil, tidak akan berlaku pada yang berakal dan mulia. Bukti kejahilan pelaku kedua perbuatan ini ialah bahwasanya syari’at tidak mengajarkannya tidak dari Al-Quran, juga tidak dari Al-Sunnah, juga tidak dilakukan walau seorang dari nabi-nabi, dan tidak diendahkan oleh pengikut-pengikut para nabi, bahkan ianya hanya dilakukan oleh golongan jahil lagi bodoh yang terkeliru hakikat sesuatu dengan nafsu mereka.
Sesungguhnya Allah telah berfirman: “…Dan kami telah turunkan padamu sebuah kitab yang menerangkan segala perkara…” Ulama salaf terdahulu telah pergi, begitu juga dengan golongan terhormat dari golongan khalaf kemudian, tiada sembarang perkara yang mengelirukan mereka. Barangsiapa yang melakukan yang demikian, dan yakin bahwa itu merupakan suatu tujuan dirinya, demikian itu bukanlah suatu yang mendekatkan dirinya pada tuhannya, dan sekiranya dia meyakini bahwa demikian itu tidak dilakukan kecuali ingin bertaqarrub dengan Allah, sangat kejinya apa yang telah dilakukan, karena dia menyangka perbuatan ini sebagian dari ketaatan, sedangkan ianya hanya suatu bentuk kebodohan”
Kedua: Boleh
Mereka berhujahkan kepada umum ayat dan beberapa dalil dari hadits antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
“…(Yaitu) orang-orang yang menyebut dan mengingat Allah semasa mereka berdiri dan duduk dan semasa mereka berbaring mengiring…” (Surah Ali Imran: 191)
Imam al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani menyatakan bahwa sebagaimana yang diceritakan dari Ibn Umar Radhiyallahu ‘Anh dan Urwah bin al-Zubair Radhiyallahu ‘Anh serta jamaah dari sahabat RA, mereka telah keluar untuk menyambut hari raya di musolla dan berdzikir kepada Allah. Tatkala dibacakan ayat di atas, mereka bangun berdzikir dalam keadaan berdiri sebagai tabarruk muwaffiqh ayat tersebut.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ
“Kemudian apabila kamu telah selesai mengerjakan sembahyang, maka hendaklah kamu menyebut dan mengingat Allah semasa kamu berdiri atau duduk, dan semasa kamu berbaring.” (Surah Al-Nisa’: 103)
Imam al-Qurtubi dalam al-Jami’ al-Ahkam menyebut: Dalam ayat di atas, Allah menyatakan anak Adam melakukan urusan mereka dalam tiga keadaan. Ianya seolah-olah membataskan mengikuti masa.
Antara hadits yang digunakan oleh golongan ini adalah
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata:
جَاءَ حَبَشٌ يَزْفِنُونَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَضَعْتُ رَأْسِي عَلَى مَنْكِبِهِ، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ، حَتَّى كُنْتُ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِمْ
“Telah datang orang Habsyah menari pada hari raya di masjid. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggilku dan aku meletakkan kepalaku di atas bahu Baginda. Aku menonton tarian mereka sehingga aku mengalihkan pandanganku dari mereka.”
Riwayat Muslim (892)
Dari Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘Anh berkata:
زرت النبي صلى الله عليه وسلم مع جعفر وزيد بن حارثة ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم لزيد : ( أنت مولاي ) فبدأ زيد يحجل ويقفز على رجل واحدة حول النبي صلى الله عليه وسلم ، ثم قال لجعفر : ( أما أنت فتشبهني في خَلقي وخُلقي ) فحجل جعفر كذلك ، ثم قال لي : ( أنت مني وأنا منك ) فحجل خلف جعفر
“Aku telah menziarahi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama Ja’far dan Zaid bin Haritsah. Maka bersabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Zaid: “Engkau adalah bekas hambaku.” Zaid kemudiannya merasa amat suka dan menggerakkan badan karena kegirangan atas sebelah kaki di hadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian Nabi berkata kepada Ja’afar: “Engkau pula sama sepertiku dari segi rupa bentuk dan akhlak.’ Maka Ja’far menggerakkan badan karena kegirangan kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadaku pula: “Engkau dariku dan aku darimu.’. Lantas Sayyidina Ali menggerakkan badan karena kegirangan di belakang Ja’far.” (Riwayat Ahmad (2/213))
Al-Allamah al-Kattani menafsirkan perkataan (حجل) dengan menari dalam keadaan tertentu. Sama seperti pendapat Ibn Hajar al-Asqalani.
Selain itu, diriwayatkan oleh Abu Naim, dari al-Fudhail bin ‘Iyadh RH berkata:
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا ذكروا الله تعالى تمايلوا يمينا وشـمالا كما يتـمايل الشـجر في يوم الريح العاصف إلى إمام ثم إلى وراء.
“Bahwa sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika berDzikir bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri seperti mana pokok bergoyang ditiup angin kencang ke hadapan kemudian ke belakang.” (al-Tartib al-Idariyah, Abd al-Hayy al-Kattani, 2/134)
Adapun pendapat ulama’ yang mengbolehkannya pula antaranya ialah
- Al-Allamah Ahmad Zaini Dahlan tatkala disebut hadits dan nash berkenaan dengan Ja’far, mengambil hukum bahwa Rasulullah tidak mengingkari perbuatannya dan atas dasar inilah ia dijadikan sumber hujah bagi golongan sufi menari ketika merasai keseronokan dalam majlis Dzikir.
- Syeikh ‘Attiyyah Saqar dalam kitabnya yang terkenal Fatawa min Ahsanil Kalam menyebut:
وقد قال المحققون ان الكذر كأية عبادة لا يقبل الا اذا كان خالصا لوجه الله لا رياء فيه ولا سمعة
“Sungguh telah berkata oleh segala ulama’ Muhaqqiq akan bahwasa dzikir itu seperti ayat ibadat, tak diterima melainkan apabila ia ialah bersih semata – mata karena Zat Allah, tiada jenis riak padanya dan tiada sum’ah.”
وكذلك اذا صحب الذكر أصوات صاخبة أو حركات خاصة تذهب الخشوع كان عبادة ظاهرية جوفاء خالية من الروح ومثل ذلك اذا كانت المجالس تؤذي الغير كالمرضى المحتاجين الى الراحة أو المشتغلين بمذاكرة علم أو عبادة أخرى اهـــ
“Demikian itu juga apabila bersama dzikir ini suara-suara yang berisik atau gerakan-gerakan yang tertentu yang menghilangkan akan khusyuk nescaya adalah ia ialah ibadat zahir serta sunyi dari ruh ibadat, dan seumpama demikian itu ialah apabila majlis-majlis ini ialah menyakiti orang lain seperti orang-orang sakit yang mmerlukan rehat atau orang-orang yang sibuk dgn muzakarah ilmu atau ibadat yang lain.”
- Syeikh Mutawalli al-Sya’rawi menyatakan di dalam Majalah al-Tasawwuf al-Islami:
إذا لم تجد فيه نصاً فالأمر على الإباحة لأن النهى على التحريم افعل ولا تفعل فهو على مطلق الإباحة وإذا كان التمايل صناعيا كان نفاقا وإذا كان التمايل طبيعيا كان وجداً لا سيطرة للإنسان عليه والذكر راحة نفسية وعلى كل حال فالذاكرون وإن تمايلوا فهم خير من الذين يتمايلون فى حانات الرقص
“Apabila tak dijumpai satu nash pun pada masalah ini maka perkara ini adalah boleh karena larangan atas mengharamkan itu ialah sighah if’al dan la taf’al, maka ia semata – mata boleh, dan apabila condong badan (bergerak) badan dibuat-buat nescaya adalah ia nifaq dan apabila condong tubuh itu dengan alami, maka ia adalah rasa batin, tidak boleh dibuat-buat perasaan tersebut, dan dzikir itu ialah kerehatan diri dan pada setiap kelakuan. Maka orang yang berdzikir itu sekalipun bergerak badan mereka itu, lebih baik dari mereka yang bergerak yakni bergerak – gerak mereka dalam tarian di kedai arak.”
Tarjih
Selepas meneliti beberapa hujah dari dua aliran yang mengharamkan dan yang membenarkannya, kami berpendapat:
- Pengharaman dzikir dalam keadaan menari adalah lebih kuat karena kaedah yang digunakan amat jelas.
- Hadits yang digunakan untuk mengbolehkan dzikir dalam keadaan menari lebih bersifat menggambarkan berita gembira yang diperolehi dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukannya mereka berdzikir saat itu. Ini adalah dua keadaan yang berbeda.
- Begitu juga perlakuan itu adalah hanya beberapa orang sahabat saja, bukan keseluruhan dan ia tidak ada kena mengena dengan Dzikir.
- Seterusnya mereka menggunakan perkataan tamayul yang memberi maksud menggoyangkan atau melenggokkan sedikit badan. Ia bukanlah seperti menari.
- Kami juga berpendapat, maksud gerakan yang dibolehkan itu hanya gerakan yang kecil atau sedikit seperti kepala dihayun ke hadapan dan ke belakang atau ke kiri dan ke kanan sepertimana yang dilakukan oleh seseorang ketika asyik berdzikir. Maka, ini tidak menjadi masalah dan dibolehkan.
- Hujah yang mengbolehkan itu telah dijawab oleh ramai ulama seperti nash-nash yang dikemukakan lebih bersifat umum dan bukan dimaksudkan secara khusus berdasarkan wajah istidlal yang digunakan.
- Begitu juga kedudukan hadits seperti hadits Sayyidina Ali. Terdapat padanya dua illah. • Hani’ bin Hani’ dianggap jahalah dari segi halnya tau keadaannya. • Tadlis Ibn Ishaq al-Sabi’i. Justru hadits ini dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’ hadits.
- Fatwa Sultan al-Ulama’ Izzuddin Abd al-Salam dan Ibn Qudamah al-Maqdisi begitu kukuh untuk menjadi penguat dan sandaran pengharaman dzikir dalam keadaan menari.
Pernyataan Majelis Ulama Malaysia
Jabatan Kemajuan Islam Malaysia menegaskan supaya orang Islam tidak meniru amalan berdzikir ke atas Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sambil menari karena perbuatan itu disifatkan sebagai ajaran yang menyeleweng.
Datuk Otsman Mustapha berkata, pihaknya telah mengeluarkan larangan tersebut dalam laman web e-fatwa menerusi keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam Kali Ke-48 pada 3 April 2000.
“Beberapa tahun lalu budaya berdzikir sambil menari ini tersebar di Malaysia dan ketika itu Jakim telah pun mengeluarkan larangan kepada umat Islam supaya tidak terpengaruh atau mengikut cara tersebut.
“Bagaimanapun kejadian yang sama berlaku lagi, justeru Jakim menegaskan sekali lagi bahwa budaya berDzikir sambil menari itu merupakan ajaran yang menyeleweng dan bertentangan dengan budaya masyarakat Islam di negara ini,” katanya.
Pernyataan Mufti
Dalam isu seperti ini, amatlah perlu kita memahami hakikat tasawwuf sebenarnya dan juga tareqat supaya apa yang kita amalkan benar-benar mengikut yang diredhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syeikh Dahlan al-Qadiri dalam kitabnya Siraj al-Talibin telah menyebut bahwa hukum belajar tasawwuf adalah wajib aini bagi setiap mukallaf. Ini karena sebagaimana wajib mengislahkan yang zahir, begitu juga wajib mengislahkan yang batin. Benarlah kata Imam Malik
Siapa yang bertasawwuf tanpa faqih dia mungkin membawa kafir zindiq.
Siapa yang mempelajajari feqah tanpa tasawwuf, dia boleh membawa fasiq.
Siapa yang menghimpunkan kedua-duanya nescaya dia yang sebenarnya tahqiq.
Tatkala kita ingin mendekatkan diri kepada Allah samada melalui ilmu atau penghayatan amalan maka hendaklah ia benar-benar mengikut apa yang disyariatkan oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata dan mewasiatkan kepada anaknya: “Terbanglah kamu ketika kamu menuju kepada Allah dengan dua sayap yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul.” Hal ini amat penting karena sehebat mana manusia sekalipun, jika rujukannya bukan lagi Kitabullah dan Sunnah Rasul maka mudahlah terbelit dengan godaan syaitan.
Justeru, amat wajar kita melakukan sesuatu benar-benar dengan kefahaman dan sebaliknya tanpa ilmu, seseorang itu mudah terpedaya dan tergelincir dari hakikat Islam yang sebenar. Bacalah kitab-kitab tasawwuf seperti Minhaj al-Abidin oleh Imam al-Ghazali, Mukhtasar Minhaj al-Qasidin oleh Ibn Qudamah al-Maqdisi dan lain-lain ulama sufi yang muktabar.
Sekali lagi kami tegaskan hukum dzikir dalam bentuk tarian tidak dibolehkan sama sekali. Walaubagaimanapun, jika bentuk goyangan sebagian kepala atau badan dalam keadaan sedar, waras, tidak dibuat-buat, disamping menjaga adab tatasusila dan tidak berlebihan, maka adalah dibolehkan.
Kami menjawab persoalan berkaitan tasawwuf ini begitu banyak melalui buku kami, A – Z Tentang Tasawwuf dan juga kitab Ahasin al-Kalim Syarah al-Hikam. Semoga dengan sedikit pencerahan ini menjadikan kita benar-benar memahami akan hakikat Islam yang sebenar untuk kita amali yang akhirnya menuju kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala mengikut yang diredhai-Nya. Semoga kita semua menjadi hamba-hamba-Nya yang bernaung di bawah kehidupan Islam yang sebenar dan merasai kemanisan dalam hati ketika beramal. Amin.
Penutup
Alhamdulillah, selesailah sudah Bayan Lin Nas berkenaan dengan hukum dzikir dalam keadaan menari. Dengan menekuni kedua-dua pendapat dan hujah, alangkah baik kita melandasi bahtera kehidupan kita terutamanya pengamalan ibadat ‘ala basirah dan mengikut hadyun nabawi karena sudah barang tentu mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Pada saat yang sama juga hendaklah kita melazimi dan membanyakkan dzikir sebagaimana galakan Islam itu sendiri melalui nash al-Qur’an dan hadits supaya kita berdzikir dengan sebanyak-banyaknya.
Syariat Islam tidak menyebut secara jelas dan terang tentang kebolehan tarian ketika berdzikir, baik dalam al-Qur’ann maupun Hadits. Hal itu juga belum pernah dilakukan oleh mana-mana Rasul dan Nabi pun dan begitu juga mereka yang mengikut jejak langkah Rasulullah di kalangan sahabat. Atas asas inilah alangkah baiknya kita berpada dengan berDzikir bersungguh-sungguh sepertimana yang dilakukan di kalangan khalayak masyarakat kita ketika ini dengan menjaga adab dan tatasusilanya.
Tarian dzikir yang dilakukan oleh sebagian manusia penuh dengan keadaan yang kurang baik. Sementelahan lagi, ia membawa kepada tasyabbuh (penyerupaan) kepada penganut agama lain atau wanita dan kanak-kanak yang kecil begitu juga mencampur adukkan antara maksiat dan ibadat. Lebih dibimbangi lagi, sudah ada unsur muzik yang dimasukkan sama yang banyak melalaikan hati ketika berDzikir.
Akhir kalam, saya berdoa kepada Allah mudah-mudahan Allah menunjukkan kita kepada jalan keredhaan-Nya dan selamat dari sembarang maksiat. Amin.
Akhukum Fillah,
Ustadz DR. Zulkifli Muamad Al-Bakri