Kajian ini adalah tanggapan atas opini syabab Hizbut Tahrir Indonesia, Azizi Fathoni, yang berjudul Benarkah Penerapan Hukum Qishosh di Arab Saudi?
Dengan kedangkalan ilmu tapi over confident untuk berfatwa atau menyalahkan orang di luar kelompoknya seorang kawan menulis bahwa hukum qisas dan hudud di Arab Saudi tidak sah dgn alasan harus dilakukan oleh khalifah.
Ini sungguh sesat dan menyesatkan, bila kita buka lembaran-lembaran kitab para ulama sejak dulu kala maka akan kita dapati bahasan khusus penegakan hudud dalam kondisi KETIADAAN IMAM.
Ambil contoh adalah kitab Ghiyats Al-Umam karya Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini Asy-Syafi’i yang mengatakan,
أَمَّا مَا يَسُوغُ اسْتِقْلَالُ النَّاسِ [فِيهِ] بِأَنْفُسِهِمْ وَلَكِنَّ الْأَدَبَ يَقْتَضِي فِيهِ مُطَالَعَةَ ذَوِي الْأَمْرِ، وَمُرَاجَعَةَ مَرْمُوقِ الْعَصْرِ، كَعَقْدِ الْجُمَعِ، وَجَرِّ الْعَسَاكِرِ إِلَى الْجِهَادِ، وَاسْتِيفَاءِ الْقِصَاصِ فِي النَّفْسِ وَالطَّرْفِ، فَيَتَوَلَّاهُ النَّاسُ عِنْدَ خُلُوِّ الدَّهْرِ.
“Adapun yg diperbolehkan manusia mengambil peran sendiri…. (di sini sepertinya ada kalimat yang terpotong dari manuskrip asli -pent) akan tetapi adab mengharuskan perhatian pemegang urusan (ulama atau umara) dan tinjauan dari tokoh yg masih tersisa dari masa yg ada, misalnya pelaksanaan shalat Jum’at, menggiring tentara untuk jihad, MELAKSANAKAN QISAS UNTUK JIWA MAUPUN ANGGOTA BADAN, itu bisa dilakukan manusia ketika tak ada lagi masa (kepemimpinan). (Al-Ghiyatsi hal. 386).
Al-Juwaini juga menyatakan,
وَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: لَوْ خَلَا الزَّمَانُ عَنِ السُّلْطَانِ فَحَقٌّ عَلَى قُطَّانِ كُلِّ بَلْدَةٍ، وَسُكَّانِ كُلِّ قَرْيَةٍ، أَنْ يُقَدِّمُوا مِنْ ذَوِيالْأَحْلَامِ وَالنُّهَى، وَذَوِي الْعُقُولِ وَالْحِجَا مَنْ يَلْتَزِمُونَ امْتِثَالَ إِشَارَاتِهِ وَأَوَامِرِهِ، وَيَنْتَهُونَ عَنْ مَنَاهِيهِ وَمَزَاجِرِهِ ; فَإِنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَفْعَلُوا ذَلِكَ، تَرَدَّدُوا عِنْدَ إِلْمَامِ الْمُهِمَّاتِ، وَتَبَلَّدُوا عِنْدَ إِظْلَالِ الْوَاقِعَاتِ.
“Sebagian ulama mengatakan kalau zaman tak lagi punya sulthan maka menjadi kewajiban bagi penghuni tiap negeri dan penduduk tiap kampung untuk memajukan tokoh cendikia yang punya kapabilitas menujuk orang untuk menegakkan isyarat dan perintahnya dan mencegah apa yang dia larang. Kalau mereka tidak melakukan itu maka mereka akan berputar pada jarangnya hal-hal penting dan menjadi bodoh dalam naungan bencana.”
Lalu Ibnu Hajar Al-Haitami salah satu pembesar ulama Syafi’iyyah juga mengatakan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj jilid 7 hal. 261:
(فَرْعٌ) :
إذَا عُدِمَ السُّلْطَانُ لَزِمَ أَهْلَ الشَّوْكَةِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ ثَمَّ أَنْ يُنَصِّبُوا قَاضِيًا فَتَنْفُذَ حِينَئِذٍ أَحْكَامُهُ لِلضَّرُورَةِ الْمُلْجِئَةِ لِذَلِكَ
“Apabila sulthan (penguasa) tidak ada maka wajiblah bagi yang pnya kekuatan yang merupakan ahlul halli wal aqdi (pimpinan masyarakat) kemudian mengangkat seorang hakim yang menjalankan hukum-hukumnya lantaran keperluan mendesak untuk itu.”
Juga Ibnu Taimiyah yg mengatakan dalam Majmu’ Al-Fatawa jilid 34 hal. 175-176:
فلهذا: وجب إقامة الحدود على ذي السلطان ونوابه.والسنة أن يكون للمسلمين إمام واحد، والباقون نوابه، فإذا فُرِضَ أن الأمة خرجت عن ذلك لمعصية من بعضها، وعجز من الباقين، أو غير ذلك فكان لها عدة أئمة. لكان يجب على كل إمام أن يقيم الحدود، ويستوفي الحقوق،
“Maka dari itu wajib menegakkan hudud oleh sulthan atau wakilnya. sunnahnya kaum muslimin hanya punya satu imam dan yg lain adalah wakilnya. Tapi kalau ummat tak melaksanakan itu karena membangkang dari sebagiannya atau tak mampu melakukan sisanya atau hal lain sehingga terjadi perbilangan kepemimpinan maka wajiblah bagi TIAP IMAM untuk menegakkan hudud dan menunaikan hak……….”
Selanjutnya Ibnu Taimiyah berkata,
والأصل أن هذه الواجبات تُقام على أحسن الوجوه. فمتى أمكن إقامتها مع أمير لم يحتج إلى اثنين، ومتى لم يقم إلا بعدد ومن غير سلطان أقيمت إذا لم يكن في إقامتها فساد يزيد على إضاعتها
“Pada dasarnya kewajiban ini (penegakan hudud) dilakukan dgn cara terbaik. Kalau memungkinkan untuk dilakukan oleh seorang amir maka tak perlu dua orang. Tapi kalau tak dilakukan kecuali dengan beberapa amir dan TANPA SULTHAN maka tetap harus dilakukan asalkan pelaksanaannya tidak menyebabkan kerusakan yang lebih besar daripada meninggalkannya….”
Maka perhatikanlah wahai kaum muslimin yang rindu khilafah dan syariah, pernyataan para ulama di atas berlaku kala tak ada imam suatu negeri, nah bagaimana lagi kalau ternyata imam itu ada hanya saja belum berkuasa seluas khilafah tapi sudah dalam negara berdaulat dgn sistem hukumnya tersendiri??
Jadi, pendapat bahwa tidak sahnya hudud dan qishash kecuali kalau ada satu khalifah saja adalah pernyataan yang sesat dan menyesatkan.