Sebagian manusia menyangka bahwa i’tikaf yang disunnahkan oleh Islam hanya berlaku bagi kaum laki-laki saja, dan tidak berlaku bagi perempuan. Sementara itu, sebagian manusia yang lain menyatakan sebaliknya, bahwa perempuan juga diperbolehkan melakukan i’tikaf seperti halnya laki-laki tanpa dibeda-bedakan. Sebenarnya, bagaimana pandangan Islam mengenai i’tikaf bagi wanita?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Dimakruhkan Wanita I’tikaf di Masjid
Mereka berdalil sebagai berikut,
Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya ketika mereka hendak beri’tikaf bersama beliau. (HR Ibnu Khuzaimah, no. 2224)
Hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhu yang lainnya, beliau mengatakan,
لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِى إِسْرَائِيلَ
“Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.” (HR. Bukhari: 831 dan Muslim: 445)
2. Disunnahkan Wanita I’tikaf di Masjid
Dalil pendapat ini adalah
Firman Allah ta’ala,
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ
“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…” (Ali ‘Imran: 37).
dan firman-Nya,
فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا
“Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka…” (Maryam: 17).
Dalam hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anh:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ الله تَعَالَى، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه
Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau (HR Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, dan Ahmad)
Dalam Shahih Al Bukhari (2033) dan Muslim (1173) dari jalur Yahya bin Sa’id bin Amrah, dari Aisyah,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلَمَّا انْصَرَفَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ إِذَا أَخْبِيَةٌ خِبَاءُ عَائِشَةَ وَخِبَاءُ حَفْصَةَ وَخِبَاءُ زَيْنَبَ
“Bahwasanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam hendak beri’tikaf. Maka ketika beliau beranjak ke tempat yang hendak dijadikan beri’tikaf, di sana sudah ada beberapa kemah, yaitu kemah Aisyah, kemah Hafshah, dan kemah Zainab.”
Pendapat yang Rajih
Berdasarkan dalil-dalil yang dipaparkan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa hukum i’tikaf bagi wanita adalah sunnah adalah pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran.
Hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah para istri beliau ketika mereka beri’tikaf bukanlah menunjukkan ketidaksukaan beliau apabila para pemudi turut beri’tikaf. Namun, motif beliau memerintahkan hal tersebut adalah kekhawatiran jika para istri beliau saling cemburu dan berebut untuk melayani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dalam hadits tersebut beliau mengatakan, “Apakah kebaikan yang dikehendaki oleh mereka dengan melakukan tindakan ini?”
Akhirnya beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun baru beri’tikaf di bulan Syawal.
Sedangkan berdasarkan hadits tentang kemah ‘Aisyah, Hafshah, dan Zainab dalam Shahih Bukhari dan Muslim menunjukkan bahwa i’tikaf di masjid tidak menjamin keamanan seorang wanita, oleh karena itu perlu dibuat kemah sebagai tabir atau hijab bagi para wanita dari pandangan para lelaki.
I’tikaf bagi wanita di masjid ini tentunya dengan syarat tidak melalaikannya dari kewajibannya mengurus kewajibannya sebagai isteri dan ibu. Hal ini diukur dengan pemberian izin dari suami untuknya beri’tikaf di masjid.
I’tikaf Wanita di Masjid Rumahnya
DR Rajab Abu Malih mengatakan, ada perbedaan pandangan tentang hal itu. Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpandangan bahwa seorang perempuan tidak diizinkan beri’tikaf di kamar atau mushalanya sendiri di dalam rumah.
Ketiga mazhab itu merujuk pada Al Quran Surat Al Baqarah ayat 187.
” … Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid ….”
Maliki, Syafi’i, dan Hambali juga merujuk pada peristiwa ketika Abdullah bin Abbas ditanya tentang seorang perempuan yang bersumpah untuk beri’tikaf di mushala di rumahnya. Abdullah bin Abbas lalu mengatakan, “Itu adalah bid’ah, dan tindakan yang paling dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah melakukan bid’ah. Tidak ada i’tikaf selain di masjid di mana shalat lima waktu dilaksanakan.”
Berdasarkan pandangan itu, kamar atau mushala di rumah tidak bisa dianggap sebagai masjid, dan jika i’tikaf dalam kamar atau mushala di rumah dibolehkan, maka para istri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam seharusnya sudah melakukannya, meski cuma sekali.
Sebaliknya, para ulama penganut mazhab Hanafi membolehkan kaum perempuan beri’tikaf di ruangan khusus atau mushala di rumahnya. Mereka berpendapat bahwa tempat i’tikaf bagi perempuan adalah tempat yang mereka sukai dan tempat mereka melakukan salat lima waktu sehari-hari, karena tidak seperti laki-laki, lebih baik bagi kaum perempuan untuk salat dirumah dibandingkan di masjid. Berdasarkan pendapat itu, tempat i’tikaf perempuan selayaknya di sebuah ruangan khusus atau mushala di rumahnya sendiri.
Abu Hanifah dan Ats Tsauri menyatakan, “Seorang perempun boleh melakukan i’tikaf di rumah. Itu lebih baik bagi mereka, karena salat mereka di rumah lebih baik daripada di masjid.”
Disampaikan pula oleh Abu Hanifah bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan i’tikafnya di masjid ketika Beliau melihat tenda-tenda istrinya berada masjid. Rasullah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu berkata, “Apakah kebenaran yang dimaksudkan dengan melakukan hal yang demikian?” (HR Ibnu Khuzaimah)
Pendapat yang membolehkan perempuan i’tikaf di drumah juga mengatakan bahwa mushala di rumah adalah tempat terbaik bagi kaum perempuan menunaikan salat, maka tempat mereka i’tikaf adalah seperti masjid bagi kaum lelaki dimana mereka mereka melaksanakan i’tikaf.
Demikian perbedaan pendapat mengenai i’tikaf bagi wanita di masjid rumahnya.
Dalam hal ini, kami lebih cenderung pada pendapat jumhur, bahwa tidak sah seorang perempuan i’tikaf di masjid dalam rumahnya.