Hukum Memanjangkan Pakaian Melebihi Mata Kaki atau Isbal

Islam mengatur hal-hal detil hingga ke urusan pakaian, salah satunya adalah mengenai memanjangkan pakaian, sarung, atau celana hingga melebihi mata kaki yang mana pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sering digunakan sebagai alat untuk berlaku sombong. Istilah yang digunakan untuk menyebut kelebihan pakaian yang melebihi mata kaki itu adalah isbal.

Isbal secara bahasa adalah masdar dari “asbala”, “yusbilu-isbaalan”, yang bermakna “irkhaa-an”, yang artinya; menurunkan, melabuhkan atau memanjangkan. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnu Al ‘Arabi rahimahullah dan selainnya adalah memanjangkan, melabuhkan dan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak. (Lisanul ‘Arab)

Penulis pernah membaca bahwa ada orang-orang yang berlebihan dalam memahami persoalan isbal ini hingga menghukumi seseorang yang pakaiannya isbal maka ia bukan termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Demikian ekstrim sikap orang-orang yang pengetahuannya setengah saja, hingga persoalan isbal dijadikan tolok ukur aqidah.

Sebenarnya, para ulama Salafush Shalih sejak dahulu hingga kini telah berselisih pendapat mengenai perincian hukum isbal.

Hadits-hadits tentang Isbal

  • Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda: “Apa saja yang melebihi dua mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari No. 5787, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 9705, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Umal No. 41158)
  • Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Allah tidak melihat pada hari kiamat nanti kepada orang yang menjulurkan kainnya (hingga melewati mata kaki) dengan sombong.” (HR. Bukhari No. 5788. Muslim No. 2087)
  • Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim No. 2085. Ibnu Majah No.3569, 3570, An Nasa’i No. 5327, Ahmad No. 4489)
  • Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ketika seorang laki-laki memanjangkan kainnya dengan sombong, dia akan ditenggelamkan dengannya dibumi dan menjerit-jerit sampai hari kiamat.” (HR. Bukhari No. 3485. Muslim No. 2088, Ahmad No. 5340)
  • Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku salah seorang yang celaka, kainku turun, sehingga aku selalu memeganginya.” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena kesombongan.” (HR. Bukhari No. 3665, An Nasa’i No. 5335, Ahmad No. 5351)
  • Dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku melewati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan kain sarungku menjulur ke bawah. Beiau bersabda: “Wahai Abdullah, naikan kain sarungmu.” Maka aku pun menaikannya. Lalu Beliau bersabda lagi: “Tambahkan.” Maka aku naikkan lagi, dan aku senantiasa menjaganya setelah itu. Ada sebagian orang yang bertanya: “Sampai mana batasan?” Beliau bersabda: “Setengah betis.” (HR. Muslim No. 2086, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3134)
  • Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tempatnya izar (kain sarung) adalah sampai setengah betis, jika kamu tidak mau maka dibawahnya, jika kamu tidak mau maka di bawah betis dan tidak ada hak bagi kain itu atas kedua mata kaki.” (HR. At Tirmidzi No. 1783. Katanya: hasan shahih, An Nasa’i No. 5329, Ibnu Majah No. 3572)
  • Dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, beliau bersabda, ” Barang siapa yang menyeret pakaiannya (di tanah) karena sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat.”, Abu Bakar mengeluh “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu sisi sarung (pakaian bawah)ku (melorot) turun (melebihi batas mata kaki) kecuali kalau aku (senantiasa) menjaga sarungku dari isbal”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mengatakan :”Engkau bukan termasuk yang melakukannya karena sombong.” (HR Al-Bukhari no 5784)
  • Dari Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud bahwasanya ia menjulurkan sarungnya. Lalu ditanyakan kepadanya perihal Isbalnya, ia pun menjawab, “Aku adalah seorang yang kecil kedua betisnya.” (HR Ibnu Abi Syaibah)
  • Dari Abu Ishaq, ia berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas pada hari Mina beliau berambut panjang, mengenakan sarung yang mencapai sebagian isbal, dan mengenakan mantel berwarna kuning.” (HR Ath Thabrani)
  • Dari budak ibnu Abbas, bahwasanya ibnu Abbas jika mengenakan sarung beliau menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya. (HR An Nasai)
  • Dari Amr bin Muhajir, ia berkata, “Jubah-jubah Umar bin Abdul Aziz, serta pakaian-pakaiannya menjulur hingga antara mata kaki dan tali sandalnya.” (HR Ibnu Abi Syaibah)

Perbedaan Pendapat dalam Mengambil Hukum

Para ulama berbeda pendapat dalam mengambil hukum (istinbath) atas hadits-hadits tersebut. Adapun sebab perbedaan ulama dalam teks yang bersifat dhanni (lawan dari qathi) atau yang lafadhnya mengandung kemungkinan makna lebih dari satu adalah sebagai berikut:

1. Perbedaan makna lafadh teks Arab.

Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadh tersebut umum (mujmal) atau lafadh yang memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadh memiliki arti umum dan khusus, atau lafadh yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat kebiasaan, dan lain-lain.

Contohnya, lafadh al quru’ memiliki dua arti; haid dan suci (Al Baqarah:228). Atau lafadh perintah (amr) bisa bermakna wajib atau anjuran. Lafadh nahy; memiliki makna larangan yang haram atau makruh.

Contoh lainnya adalah lafaz yang memiliki kemungkinan dua makna antara umum atau khusus adalah Al Baqarah: 206 “Tidak ada paksaan dalam agama” apakah ini informasi memiliki arti larangan atau informasi tentang hal sebenarnya?

2. Perbedaan riwayat.

Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadits. Faktor perbedaan riwayat ada beberapa, diantaranya:

  • hadits itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai kepada perawi lainya
  • atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada lainnya dengan jalan perawi yang kuat
  • atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang ahli hadits melihat satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan itu kuat
  • atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadits. Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi sebagai pembawa hadits.
  • atau sebuah hadits sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam beramal dengan hadits itu. Seperti hadits mursal.

3. Perbedaan sumber-sumber pengambilan hukum.

Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat, istishab, saddu dzarai’ dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber tersebut.

4. Perbedaan kaidah ushul fiqh.

Seperti kaidah usul fiqh yang berbunyi “Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi hujjah (pegangan)”, “mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak dijadikan dasar”, “tambahan terhadap nash Quran dalam hukum adalah nasakh (penghapusan)”. Kaidah- kaidah ini menjadi perbedaan ulama.

5. Ijtihad dengan qiyas.

Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal (masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa diterima. Di sinilah muncul banyak perbedaan hasil qiyas disamping juga ada kesepakatan antara ulama.

6. Pertentangan (kontradiksi) dan tarjih antar dalil-dalil.

Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab ini ada yang berpegang dengan takwil, ta’lil, kompromi antara dalil yang bertentangan, penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan. Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara qiyas, atau antar sunnah baik dalam perkataan N abi dengan perbuatannya, atau dalam penetapan-penetapannya. Perbedaan sunnah juga bisa disebabkan oleh penyifatan tindakan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam berpolitik atau memberi fatwa.

Dari sini bisa diketahui bahwa ijtihad ulama – semoga Allah membalas mereka dengan balasan kebaikan – tidak mungkin semuanya merepresentasikan sebagai syariat Allah yang turun kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Meski demikian kita memiliki kewajiban untuk beramal dengan salah satu dari perbedaan ulama. Yang benar, kebanyakan masalah ijtihadiah dan pendapat yang bersifat zhanniyah (pretensi) dihormati dan disikapi sama.[1]

Disepakati Isbal dengan Kesombongan adalah Terlarang

Para ulama di sepanjang masa telah menyepakati bahwa isbal dengan tujuan riya’ dan sombong adalah hal yang diharamkan berdasarkan hadits-hadits tersebut.

Selain itu dalam Al Quran disebutkan:

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah.” (QS Al Anfal 47)

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. Al Israa’ 37)

“ Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al Hijr 88)

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman 18)

Pendapat yang Melarang Isbal Meski Tanpa Kesombongan

Kelompok ini berpendapat bahwa isbal adalah haram baik dengan sombong atau tidak, dan dengan sombong keharamannya lebih kuat dengan ancaman neraka, jika tidak sombong maka tetap haram dan Allah Ta’ala tidak mau melihat di akhirat nanti kepada pelakunya (musbil). Kelompok ini memahaminya sesuai zahirnya hadits. Demikian penjelasan Ustadz Farid Nu’man Hasan.

Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan, “Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa menjulurkan kain sarung dengan sombong adalah dosa besar, sedangkan jika tidak dengan sombong menurut zhahir hadits adalah haram juga. Tetapi hadits-hadits yang ada menunjukkan harus dibatasi dengan khuyala (kesombongan) lantaran hadits-hadits yang menyebutkan ancaman dan celaan isbal masih bersifat mutlak (umum), maka dari itu yang umum harus dibatasi di sini. Maka, tidak haram menjulurkan pakaian jika selamat dari rasa sombong.”

Kemudian beliau berkata, “Kesimpulannya, isbal itu melazimkan terjadinya menjulurnya pakaian, dan menjulurkan pakaian melazimkan terjadinya kesombongan, walau pun pemakainya tidak bermaksud sombong.”

Ibnul ‘Arabi dari kalangan madzhab Malikiyah berkata: “Tidak boleh bagi seorang laki-laki membiarkan pakaiannya hingga mata kakinya lalu berkata: “Saya menjulurkannya dengan tidak sombong.” Karena secara lafaz, sesungguhnya larangan tersebut telah mencukupi, dan tidak boleh juga lafaz yang telah memadai itu ada yang menyelisihinya secara hukum, lalu berkata: “Tidak ada perintahnya,” karena ‘illat (alasannya) itu tidak ada. Sesungguhnya itu adalah klaim yang tidak benar, bahkan memanjangkan ujung pakaian justru itu menunjukkan kesombongan sendiri.

Dalam Adab Asy Syari’ah, disebutkan dalam riwayat lain bahwa Imam Ahmad juga mengharamkan isbal. Dan dalam riwayat lain membolehkannya.

Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz berkata, “Banyak hadits-hadits yang semakna dengan ini, yang menunjukkan haramnya isbal secara mutlak, walaupun pemakainya mengira bahwa dia tidak bermaksud untuk sombong, karena hal itu menjadi sarana menuju kepada kesombongan, selain memang hal itu merupakan israf (berlebihan), dapat mengantarkan pakaian kepada najis dan kotoran. Ada pun jika memakainya dengan maksud sombong perkaranya lebih berat lagi dan dosanya lebih besar.”

Pendapat yang Membolehkan Isbal Tanpa Kesombongan

Ustadz Farid Nu’man Hasan mengatakan, “Kelompok ini mengatakan bahwa dalil-dalil larangan isbal adalah global (muthlaq), sedangkan dalil global harus dibatasi oleh dalil yang spesifik (muqayyad). Jadi, secara global isbal memang dilarang yaitu haram, tetapi ada sebab (‘illat) yang men-taqyid-nya yaitu karena sombong (khuyala’). Kaidahnya adalah Hamlul muthlaq ilal muqayyad (dalil yang global mesti dibawa/dipahami kepada dalil yang mengikatnya/mengkhususkannya).”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid  berkata, “Dan Jumhur (mayoritas) Ulama dari kalangan empat madzhab tidak mengharamkannya.”

Dalam Al Adab Asy Syari’ah disebutkan pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?”

Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.”

Masih dari Al Adab Asy Syari’ah disebutkan kalangan madzhab Hanabilah mengatakan, “Menjulurnya kain sarung, jika tidak dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Demikian ini merupakan zhahir perkataan lebih dari satu sahabat-sahabatnya (Imam Ahmad) rahimahumullah.”

Dalam Kasyful Qina’, Imam Ahmad dalam riwayat Hambali mengatakan, “Menjulurkan kain sarung, dan memanjangkan selendang (sorban) di dalam shalat, jika tidak ada maksud sombong, maka tidak mengapa (selama tidak menyerupai wanita), jika demikian maka itu berbuatan keji.”

Masih dalam Al Adab Asy Syar’iyah disebutkan, “Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan tidak pula mengingkarinya.”

Dalam Syarhu Umdah, Ibnu Taimiyah berkata, “Ada pun jika memakainya tidak dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab atau hajat (kebutuhan), atau tidak bermaksud sombong dan menghias dengan cara memanjangkan pakaian, dan tidak pula selain itu, maka itu tidak apa-apa. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Al Qadhi dan selainnya.”

Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar berkata, “Pembatasan yang jelas dengan perkataan “kesombongan” menunjukkan bahwa pemahamannya adalah menyeret pakaian tanpa disertai kesombongan tidak termasuk dalam ancaman ini.”

Beliau juga berkata, “Dan dengan inilah telah terjadi pengkompromian antara hadits-hadits tanpa perlu menyia-nyiakan Qaid sombong yang dinyatakan dengan jelas dalam Shahih Bukhari dan Muslim.”

Abu Hatim berkata, “Perintah untuk meninggalkan menganggap remeh hal yang ma’ruf adalah perintah yang bermaksud untuk mendidik. Dan larangan untuk tidak mengIsbalkan sarung adalah larangan yang pasti karena sebab yang telah diketahui, yakni kesombongan. Oleh karena itu, jika kesombongan itu tidak ada, maka tidaklah mengapa Isbal sarung.” (Shahih Ibnu Hibban)

Imam As Suyuthi berkata, “Orang yang isbal sarung adalah yang menjulurkannya dan menyeret kedua ujungnya dalam rangka kesombongan. Dan ini dikhususkan oleh hadits yang lain “Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya karena sombong” dan Rasulullah memberikan keringanan dalam hal itu untuk Abu Bakr karena ia menyeretnya bukan karena kesombongan.”

Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah Al Bassam berkata, “Sesungguhnya kaidah ushul “hamlul Muthlaq ‘alal muqayyad” adalah kaidah umum yang terdapat pada nash-nash syara’. Asy Syari’ (Allah) yang Maha Bijak tidak membatasi pengharaman isbal dengan kesombongan kecuali karena hikmah yang dikehendaki. Andaikan tidak ada hikmah yang dikehendaki, tentu Dia tidak akan membatasinya. Hukum asal pakaian adalah mubah. Tidak ada yang haram darinya kecuali bila Allah dan RasulNya mengharamkannya. Asy Syari’ memaksudkan pengharaman cara berpakaian khusus ini adalah pada kesombongan pada isbal. Jika tidak, maka cara berpakaian yang disebutkan seharusnya tetap dalam kemubahannya. Dan jika kita melihat pada umumnya pakaian serta model dan bentuknya, kita tidak menemukan adanya sesuatu yang diharamkan kecuali pengharamannya karena sebab tertentu. Jika tidak, maka apalah artinya pengharamannya dan apa tujuan pengharamannya. Oleh sebab itu, maka pemahaman terhadap hadits ini adalah barangsiapa yang Isbal dan tidak dalam rangka sombong dan angkuh, maka ia tidak masuk dalam ancaman.” (Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram)

Kelompok yang Memakruhkan Isbal Tanpa Kesombongan

Ustadz Farid Nu’man Hasan mengatakan, “Kelompok ini adalah kelompok mayoritas, mereka menggunakan kaidah yang sama dengan kelompok yang membolehkan, yakni larangan isbal mesti dibatasi oleh khuyala (sombong). Hanya saja kelompok ini tidak mengatakan boleh jika tanpa sombong, mereka menilainya sebagai makruh tanzih, tapi tidak pula sampai haram.”

Imam An Nawawi mengatakan, “Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika sombong, jika tidak sombong maka makruh (dibenci). Secara zhahir hadits-hadits yang ada memiliki pembatasan (taqyid) jika menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan bahwa pengharaman hanya khusus bagi yang sombong.”

Ibu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari mengutip Imam An Nawawi yang berkata, “Isbal dibawah mata kaki dengan sombong (haram hukumnya, pen), jika tidak sombong maka makruh. Demikian itu merupakan pendapat Asy Syafi’i tentang perbedaan antara menjulurkan pakaian dengan sombong dan tidak dengan sombong. Dia berkata: Disukai memakai kain sarung sampai setengah betis, dan boleh saja tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki adalah dilarang dengan pelarangan haram jika karena sombong, jika tidak sombong maka itu tanzih. Karena hadits-hadits yang ada yang menyebutkan dosa besar bagi pelaku isbal adalah hadits mutlak (umum), maka wajib mentaqyidkan (mengkhususkan/membatasinya) hadits itu adalah karena isbal yang dimaksud jika disertai khuyala (sombong).”

Ibnu Abdil Barr berkata: “Bisa difahami bahwa menjulurkan pakaian bukan karena sombong tidaklah termasuk dalam ancaman hadits tersebut, hanya saja memang menjulurkan gamis dan pakaian lainnya, adalah tercela di segala keadaan.”

Al Qadhi Iyadh berkata, “Berkata para ulama: Secara global (umumnya) dimakruhkan setiap hal yang melebihi dari kebutuhan dan berlebihan dalam pakaian, baik berupa panjangnya dan lebarnya.”

Jadi, kata Ustadz Farid Nu’man Hasan, makruhnya itu adalah jika ‘lebih’ dan ‘tambahan’ itu diluar kebiasaan yang terjadi lazimnya di masyarakat. Nah, zaman ini dan dibanyak negeri muslim, umat Islam terbiasa dengan isbal sebatas mata kaki lebih sedikit. Bisa jadi ini juga telah menjadi bagian dari kebiasan yang dimaksud, dan makruh jika melewati kebiasaan itu. Namun ada pula yang mengatakan bahwa standar kebiasaan tersebut hanyalah kebiasaan yang terjadi masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan selainnya.

Sementara itu, Ibnu Qudamah Al Maqdisyi berkata, “Dimakruhkan isbal (memanjangkan) gamis (baju kurung), kain sarung, dan celana panjang, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan menaikannya. Tetapi jika isbal dengan sombong maka haram.”

Untuk zaman ini, para ulama pun berbeda pendapat. Syaikh Yusuf Al Qaradhawi tidak mengharamkan isbal kecuali dengan sombong, begitu pula umumnya para ulama Mesir, Pakistan, India, dan lain-lain. Sementara yang mengharamkan seperti Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, para ulama Lajnah Da’imah, sebagian ulama Pakistan, Saudi Arabia, Yaman, dan lain-lain.

Isbal Bagi Wanita Muslimah

Dari Ibnu Umar, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersada:  Barang siapa menjulurkan pakaiannya (di tanah) Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Apa yang harus dilakukan para wanita dengan ujung-ujung baju mereka?” Rasulullah menjawab, “Mereka menurunkannya (di bawah mata kaki) hingga sejengkal.” Kalau begitu akan tersingkap kaki-kaki mereka”, jelas Ummu Slamah. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata (lagi):, “Mereka turunkan hingga sehasta dan jangan melebihi kadar tersebut.” (HR At Tirmidzi IV/223 no 1731 dan berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih.”)

Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam mengkhususkan para wanita dengan hukum yang berbeda dari hukum isbal bagi para lelaki serta mengkhususkan mereka dari keumuman nash. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Hal itu karena para wanita membutuhkan untuk memanjangkan pakaian guna menutupi aurat mereka karena seluruh bagian telapak kaki termasuk aurat.”

Hal ini berdasarkan ayat tentang jilbab, “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin:’Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Hikmah Meninggalkan Isbal

Meskipun masuk dalam hal yang diperselisihkan, apakah haram ataukah mubah, sesungguhnya meninggalkan isbal memiliki hikmah tersendiri.

  1. Mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdasarkan ayat “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. “ (Al Hasyr :7) “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (Al Ahzab : 21 )
  2. Lebih terhindar dari najis dan kotoran. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Naikkan sarungmu karena hal itu lebih menunjukkan ketakwaan.” Dalam lafazh yang lain “Lebih suci dan bersih.” (HR At Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364)
  3. Bersikap wara’. Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara syubhat (yang masih samar), termasuk pula meninggalkan hal yang tidak bermanfaat untukmu, yang dimaksud adalah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  bersabda, Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara’. (HR. Ath Thabrani dalam Al Awsath, Al Bazzar dengan sanad yang hasan).
  4. Keluar dari perselisihan hukum fiqih. Ulama fiqih menyebutkan suatu kaidah yang penting yang seyogyanya dijadikan pegangan yaitu, “Yustahabbul khuruj minal khilaf, dianjurkan untuk keluar dari perselisihan.”

______________________________

[1] Ahmad Sarwat Lc, MA, Seri Fiqih dan Kehidupan: Ilmu Fiqih