Perihal meninggikan kuburan dengan memplesternya dengan semen kemudian membuatnya menjadi permanen, atau membangun sebuah bangunan, entah itu sebuah kamar, atau kubah diatasnya adalah perkara yang telah disepakati ke-Makruh-annya oleh ulama 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali).[1]
Tidak ada satu madzhab pun yang mengatakan bahwa itu sebuah keharaman, 4 madzhab fiqih menghukumi sebagai perkara yang makruh. Dalil kemakruhan yang dipakai oleh 4 madzhab tersebut ialah hadits riwayat Imam Muslim dan juga Imam Tirmidzi dari sahabat Jabir bin Abdullah:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang untuk meninggikan/memplester kuburan dan memabangun diatasnya sebuah bangunan” (HR Muslim)
Dalam riwayat Imam Tirmidzi ada tambahan [أن يكتب عليع] “dan juga (dilarang) utuk menuliskan sesuatu diatasnya” (HR Tirmidzi)
Mungkin menjadi pertanyaan, dalam redaksi haditsnya itu ada pelarangan, dan pelarangan dalam teks syar’i itu mengandung sebuah keharaman. Kenapa para ulama tidak mengharamkan itu?
Alasannya bahwa memang ada pelarangan untuk itu, akan tetapi ummat ini telah ber-Ijma’ atas kebolehannya menguburkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah kamar, yaitu kamar ‘Aisyah, dan tidak ada satu pun ulama yang menyanggahnya. Kalaupun ini dilarang pastilah akan ada yang menyanggahnya.
Jadi pelarangn yang ada dalam redaksi hadits itu telah dipalingkan menjadi sebuah ke-makruh-an saja. Namun dalam penerapannya, walaupun memang semua sepakat bahwa itu makruh, masing-masing madzhab punya pendapat kadar makruh yang berbeda-beda.
Dalam Hasyiyah-nya, Imam Ibnu Abdin dari kalangan Hanafiyah menyatakan kebolehan dan tidak Makruh, terlebih jika itu adalah kuburan para syuhada’, orang shaleh dan para guru yang khawatir akan ada pencurian atau pengrusakan, atau bahkan hilang. Sebagaimana juga disampaikan oleh Imam Al Dimyathi dari kalangan Syafiiyah dalam kitabnya Hasyiyah I’anah Al Thalibin.[2]
Dan itu adalah upaya yang baik (Hasan), dan semua orang melihatnya sebagai sebuah kebaikan. Dan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melalui sahabat Ibnu Mas’ud mengatakan:
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
“Apa yang manusia nilai sebagai sebuah kebaikan, maka itu juga baik menurut pandangan Allah saw” [3]
Haram Jika di Pemakaman Umum
Setelah bersepakat bahwa meninggikan atau mendirikan bangunan adalah sebuah ke-Makruh-an, ulama 4 madzhab pun bersepakat atas keharaman meninggikan dan membangun di atas kuburan sebuah bangunan baik itu kamar, kubah atau pun tenda, jika itu berada di tanah Musabbalah [مسبلة].
Tanah Musabbalah [مسبلة] ialah tanah atau kawasan yang memang orang biasa menguburkan mayyit disitu, artinya ialah pemakaman umum.[4]
Konklusinya bahwa ulama sepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya sebuah bangunan itu hukumnya makruh jika makam itu berada di tanah milik sendiri. Dan menjadi haram hukumnya jika makam itu berada di pemakaman umum yang di kiri serta kanannya banyak kuburan saudara muslim lainnya.[5]
Imam Al Mardawi mengutip perkataan Abu Al Ma’ali dari kalangan Hanbali bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan yang ada di pemakaman umum itu mengagngu dan membuat penyempitan yang sama sekali tidak berguna.
Karena sejatinya pemakaman umum itu disediakan untuk memakamkan mayit, dan bukan untuk dibangun yang akhirnya membuat sempit. Imam Taqiyudin dari kalangan hanbali juga mengatakan bahwa yang mendirikan bangunan di makam yang berada di pemakaman umum itu adalah Ghosib (tukang rampas) hak orang lain.[6]
Harus Dihancurkan
Madzhab Syafi’i dan Maliki, selain mengharamkan pendirian bangunan di atas makam yang berada di pemakaman umum, kedua madzhab ini juga menambahkan sebuah ketentuan lain, yaitu wajib dihancurkan.[7]
Jadi, kalau memang ada yang mendirikan bangunan entah itu kubah, kamar atau tenda di atas makam yang berada di pemakaman umum, maka wajib dihancurkan bangunan tersebut sampai tak tersisa.
Imam Syafi’i mengatakan sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawi dalam Al Majmu’:
ورأيت من الولاة من يهدم ما بني فيها قال ولم ار الفقهاء يعيبون عليه ذلك ولان في ذلك تضييقا علي الناس
“Dan aku melihat para imam (pemimpin) menghancurkan bangunan-bangunan di pemakaman umum, dan aku tidak melihat para ahli fiqih mencela perbuatan imam itu. Itu karena bangunan tersebut membuat sempit bagi yang lain”[8]
Pandangan Masing-Masing Madzhab
Secara umum sebagaimana dikatakan diatas bahwa meninggikan atau mendirikan bangunan di atas kuburan itu hukumnya haram jika berada di pemakaman umum. Dan makruh jika di tanah selain pemakaman umum, namun kadar ke-makruh-an setiap madzhab berbeda. Berikut penjelasannya:
1. Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah memandang bahwa mkaruh hukumnya meninggikan atau juga membangun sebuah bangunan diatas kuburan, entah itu sebuah kamar atau juga kubah. Menjadi haram kalau diniatkan sebagai penghiasan, atau juga sebagai pamer atau kesombongan.
Karena itu sama saja seperti menghias kuburan, dan menghias kuburan adalah perbuatan menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak syari’i.
Akan tetapi dalam hasyiyah-nya, Imam Ibnu Abdin membolehkan jika tidak ada unsur itu semua, terlebih jika itu adalah kuburan orang shaleh dan para guru yang khawatir akan ada pencurian atau pengrusakan, atau bahkan hilang.
Dan itu adalah upaya yang baik (Hasan), dan semua orang melihatnya sebagai sebuah kebaikan. Dan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melalui sahabat Ibnu Mas’ud mengatakan:
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
“Apa yang manusia nilai sebagai sebuah kebaikan, maka itu juga baik menurut pandangan Allah saw” [9]
2. Madzhab Maliki
Sama seperti pendahulunya, Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki juga menghukumi haram jika memang pembangunan itu diniatkan sebagai ajang pamer dan menyombongkan mayit atau keluarga si mayit. Imam Al Dasuqi mengatakan:
الْبِنَاءُ عَلَى الْقَبْرِ أَوْ حَوْلَهُ فِي الأَرَاضِي الثَّلاثَةِ – وَهِيَ الْمَمْلُوكَةُ لَهُ وَلِغَيْرِهِ بِإِذْنِ وَالْمَوَاتُ – حَرَامٌ عِنْدَ قَصْدِ الْمُبَاهَاةِ وَجَائِزٌ عِنْدَ قَصْدِ التَّمْيِيزِ وَإِنْ خَلا عَنْ ذَلِكَ كُرِهَ
“memagari atau mendirikan bangunan di atas kuburan atau sekitarnya di 3 tanah (milik sendiri / milik orang lain dengan izin / pemakaman umum) adalah haram jika diniatkan untuk ajang pamer dan kesombongan. Dan boleh jika sebagai penanda (agar tidak hilang), dan kalu tidak ada unsur itu semua, maka hukumnya makruh”[10]
3. Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’i dalam hal ini mempunyai 2 riwayat perihal hukum meninggikan kuburan atau mendirikan bangunan di atasnya, yaitu Mubah (boleh) dan juga makruh. Namun pendapat yang mengatakan makruh lebih kuat sebagai pendapat madzhab. Imam Nawawi mengatakan:
قال اصحابنا رحمهم الله ولا فرق في البناء بين ان يبنى قبة أو بيتا أو غيرهما ثم ينظر فان كانت مقبرة مسبلة حرم عليه ذلك قال اصحابنا ويهدم هذا البناء بلا خلاف
“Para sahabat kami –rahimahumullah- (ulama syafiiyah) berkata: tidak ada bedanya dalam hal bangunan di atas kuburan, baik itu kubah atau rumah atau selain keduanya (hukumnya tetap makruh), namun ditinjau. Kalau itu di pemakaman umum, maka hukumnya haram. Para sahabat kami berkata: wajib dihancurkan tanpa (ada) perbedaan”[11]
4. Madzhab Hanbali
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ : فَمَكْرُوهٌ , عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ , سَوَاءٌ لاصَقَ الْبِنَاءُ الأَرْضَ أَمْ لا , وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الأَصْحَابِ
Imam Al Mardawi dalam Al Inshaf: “Adapun mendirikan bangunan, makruh hukumnya. Dan ini pendapat madzhab yang sah. Baik itu bangunan menempel dengan tanah atau tidak sama saja”[12]
Beberapa ulama dari kalangan Hanabilah mengatakan bahwa yang dilarang membuat bangunan itu ialah larangan membuat sebuah masjid atau semisalnya yang mempunyai untuk menjadi tempat shalat. Bukan larangan membuat kamar atau tenda atau juga kubah.
Larangan ini sejalan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjelaskan tentang pelaknatan orang-orang Yahudi karena menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai tempat sesembahan,
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat orang-orang Yahudi (karena) mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud” (HR Muslim)
Wallahu A’lam
_______________________________
[1] Hasyiyah Ibnu ‘Abdin 1/601, Hasyiayh Al Dasuqi 1/424-425, Al Majmu’ 5/296, Al Inshaf 2/549-550, Kasysyaful Qina’ 2/139
[2] Hasyiyah Ibnu ‘Abdin 1/601, Hasyiyah I’anah Al Thalibin 2/120
[3] Hasyiyah Ibnu ‘Abdin 1/601
[4] Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umairoh 1/350
[5] Hasyiyah Ibnu ‘Abdin 1/601, Hasyiayh Al Dasuqi 1/424-425, Al Majmu’ 5/296, Al Inshaf 2/549-550,
[6] Al Inshaf 2/549-550
[7] Hasyiayh Al Dasuqi 1/424-425, Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umairoh 1/350, Hasyiyah I’anah Al Thalibin 2/120
[8] Al Majmu’ 5/298
[9] Hasyiyah Ibnu ‘Abdin 1/601
[10] Hasyiayh Al Dasuqi 1/424-425
[11] Al Majmu’ 5/298
[12] Al Inshaf 2/549-550
____________________________