Dalam konsultasi Ustadz Menjawab yang diasuh Ustadz Sigit Pranowo disebutkan sebagai berikut:
Hukum Menggunakan Simbol Salib dan Syiar Agama Lainnya
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,’Barangsiapa meniru-niru suatu kaum maka dia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Daud)
Al Munawi dan Al Alqami mengatakan bahwa makna dari “barangsiapa meniru-niru suatu kaum” adalah orang yang secara lahiriyah mengenakan pakaian dengan pakaian mereka, menggunakan jalan hidup dan arahan mereka didalam berpakaian dan sebagian perbuatan lainnya.
Al Qari berkata bahwa maknanya adalah barangsiapa yang dirinya menyerupai orang-orang kafir didalam berpakaian dan sebagainya atau menyerupai orang-orang fasiq, fajir, ahli tashawwuf, orang-orang shaleh atau orang-orang baik.
Sedangkan makna “ia adalah termasuk dari mereka” adalah didalam dosa dan kebaikan, demikian menurut Al Qari. Sedangkan menurut al Qomiy bahwa maknanya adalah barangsiapa yang meniru orang-orang shaleh maka ia akan mulia sebagaimana kemuliaan mereka dan barangsiapa yang meniru orang-orang fasiq maka ia tidaklah dimuliakan dan barangsiapa didalam dirinya terdapat tanda-tanda kemuliaan maka dia mulia walaupun kemuliaan itu belum terealisasi. (Aunul Ma’bud, juz XI hal 56)
Demikian halnya penggunaan simbol-simbol agama lain, seperti salib dan lain sebagainya adalah dilarang didalam agama karena termasuk didalam meniru-niru suatu kaum, sebagaimana hadits diatas.
Didalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan di rumahnya sesuatu pun yang berbentuk salib kecuali dia akan mematahkannya.” (HR. Abu Daud)
Imam Asy Syaukani mengatakan bahwa makna “tidak meninggalkan di rumahnya sesuatu pun” mencakup didalamnya adalah segala sesuatu yang dikenakan, tertulis, dibentangkan, alat-alat dan lain sebagainya. (Nailul Authar, juz II hal 102)
Tidak diperbolehkan baginya mengambil salib baik untuk digantungkan atau tidak digantungkan, dipasang atau tidak dipasang. Tidak diperbolehkan baginya menampakkan syiar itu dijalan-jalan kaum Muslimin, tempat-tempat umum atau khusus dan tidak menempelkannya di bajunya, sebagaimana diriwayatkan dari adi bin Hatim berkata,”Aku mendatangi Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sementara di leherku terdapat salib dari emas. Maka beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,’Buanglah berhala itu darimu.” (Al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 4244)
Dalam Seri Fiqih dan Kehidupan karangan Ustadz Ahmad Sarwat disebutkan sebagai berikut:
Hukum (Bagi Orang yang Memakai Pakaian Khas Agama Lain)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang muslim yang mengenakan pakaian khas milik agama lain.
1. Kafir
Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah sepakat bahwa seorang muslim yang sudah tahu aturan ini dan secara sengaja mengenakan kostum khas pemeluk agama lain tanpa alasan yang syar’i hukumnya kafir.
Dasarnya adalah hadits di atas yang secara tegas menyebutkan kekafiran dengan kalimat : dia adalah bagian dari mereka.
Selain itu karena Pakaian khas orang kafir adalah tanda kekufuran. Dan tidak ada orang yang mengenakannya kecuali memang dia tahu resiko akan dianggap sebagai orang kafir. Seorang yang secara sengaja mengenakan topi khas pemeluk agama Majusi di atas kepalanya, hukumnya kafir secara zhahir.
Kecuali bila dia mengenakannya karena ada unsur kedharuratan, atau karena terpaksa dimana saat itu tidak ada lagi pakaian selain pakaian khas orang kafir, sementara keadaan sangat dingin, atau sangat panas. Dan juga bukan karena sebuah strategi dalam peperangan, dimana prinsipnya perang itu adalah tipu daya, maka hukumnya boleh.
Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,”Sesungguhnya perang itu adalah tipu daya.”
2. Haram
Sedangkan mazhab Al-Hanabilah tidak mengkafirkan seorang Muslim yang mengenakan pakaian khas orang kafir, mereka hanya mengharamkan saja. Al-Buhuty berkata bahwa bila seorang Muslim mengenakan pakaian yang menjadi ciri khas agama tertentu, misalnya dia mengenakan kalung salib, maka hukumnya haram, namun dia sendiri tidak bisa dikatakan kafir.
Dan sebagian dari mazhab Al-Hanafiyah dalam salah satu qaul juga tidak mengkafirkan orang yang mengenakan pakaian khas orang kafir, tetapi hatinya masih tetap bertauhid dan lisannya masih tetap mengaku Muslim. Al-Imam Abu Hanifah sendiri mengatakan bahwa seseorang tidak akan keluar dari agama Islam kecuali melalui pintu masuknya. Ketika seorang masuk Islam harus melewati pintu mengucapkan dua kalimat syahadat, maka untuk bisa dikatakan kafir dia harus mencabut pernyataannya itu. Kalau baru sekedar memakai pakaian khas orang kafir, belum sampai mengeluarkannya dari agama Islam.
Hukum Memproduksi dan Menjualnya
Ustadz Sigit Pranowo menyatakan, tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim memproduksi atau membuat sebuah salib (atau yang sejenisnya, pen) dan tidak boleh baginya memerintahkan orang lain membuatnya, maksudnya adalah membuat segala simbol yang menunjukkan bentuk-bentuk salib. (Al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 4244)
Tidak sah menurut syariat jual beli salib dan tidak juga menyewakannya dan seandainya ia disewa untuk mebuatnya maka tidak dibenarkan bagi pembuatnya mengambil bayarannya karena hal itu menjadi tuntutan dari kaidah syariah yang sudah umum yaitu larangan memperjualbelikan barang-barang yang diharamkan, menyewakannya atau menyewa seseorang untuk membuatnya.
Al Qalyuni mengatakan bahwa tidak sah jual beli gambar-gambar (salib) dan salibnya walaupun terbuat dari emas, perak atau perhiasan.
Tidak diperbolehkan menjual kayu bagi orang yang mengetahui apabila kayu itu akan digunakan untuk membuat salib. Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang penjahit yang menjahitkan buat orang-orang Nasrani sutera yang diatasnya terdapat salib dari emas maka apakah ia berdosa dalam menjahitnya? Apakah penghasilannya halal? Dia menjawab,”Apabila dia membantu orang itu untuk maksiat terhadap Allah maka ia berdosa.” Kemudian dia melanjutkan,”tidak diperbolehkan membuat salib baik dengan mendapat bayaran atau tidak mendapatkan bayaran, tidak diperbolehkan menjual salib sebagaimana tidak diperbolehkan menjual berhala dan membuatnya.”
Sebagaimana terdapat didalam hadits shahih dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan khamr, bangkai, babi dan berhala.” Dan juga terdapat didalam hadits lainnya,”dilaknatnya para pelukis.” (Al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 4248)
Fatwa Mufti Malaysia
Dewan Keagamaan Johor dan Mufti negara bagian Perak menjelaskan bahwa gambar salib, minuman beralkohol, dan setan di kaos-kaos klub sepakbola merupakan penghinaan terhadap Allah dan tidak seharusnya dipakai oleh umat Muslim.
Kaos sepakbola lain yang dinyatakan tidak bisa diterima dalam Islam adalah kaos tim Brazil, Portugal, Serbia, Barcelona, dan Norwegia karena semua kaos tersebut mengandung unsur salib.
Datuk Nooh Gadot, Mufti Johor mengatakan, “Tidak ada alasan apapun yang bisa digunakan untuk memakai pakaian seperti itu, karena itu berarti, sebagai seorang Muslim, kalian mengidolakan simbol agama lain.”
Simbol Palang Merah atau Bulan Sabit Merah?
Sebagaimana diketahui berdasarkan sejarah, simbol palang merah yang digunakan oleh organisasi kemanusiaan adalah representasi salib yang merupakan simbol dari agama Kristen. Bahkan dinyatakan bahwa simbol palang merah tersebut erat kaitannya dengan Knight Templar yang turut menjajah Al Aqsha pada masa Perang Salib. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa simbol palang merah tersebut merupakan salah satu syiar agama Kristen.
Oleh karena itu, umat Islam seyogyanya tidak menggunakan simbol tersebut dikarenakan hukumnya yang haram, dan mencari penggantinya yang lebih sesuai dengan syiar atau ciri umat Islam. Dalam hal ini, bulan sabit bisa dianggap salah satu simbol syiar Islam, meskipun sesungguhnya syariat tidak menetapkannya.