Hukum Mengkonsumsi Bawang atau Makanan Berbau Sebelum Shalat Jamaah

Kadangkala jamaah shalat terganggu oleh jamaah lain yang baru saja mengkonsumsi bawang mentah, petai, durian, atau jengkol. Gangguan berupa bau tidak sedap itu tentu saja mengganggu kekhusyukan sebagian besar jamaah shalat. Bagaimana Islam memandang hal ini?

Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, maka janganlah ia mendekati masjid kami dan hendaklah ia shalat di rumahnya, karena sesungguhnya para malaikat itu juga terganggu dengan apa-apa yang mengganggu manusia.” (HR Al-Bukhari, kitab Adzan 854, Muslim, kitab Al Masajid 564)

Hadits ini dan hadits-hadits lainnya yang semakna menunjukkan makruhnya seorang Muslim mengikuti shalat berjama’ah selama masih ada bau barang-barang tersebut, karena akan mengganggu orang yang di dekatnya, baik itu karena memakan kuras (bawang daun), bawang merah atau bawang putih atau barang lainnya yang menyebabkan bau tidak sedap, seperti mengisap rokok, sampai baunya hilang. Perlu diketahui, bahwa rokok itu, selain baunya yang busuk, hukumnya juga haram, karena bahayanya banyak dan keburukannya sudah jelas. Demikian dijelaskan Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz.

Yang wajib baginya ialah melakukan hal itu (meghilangkan baunya) semaksimal mungkin, agar ia dapat melakukan shalat berjama’ah sesuai yang diperintahkan oleh Allah.

Dalam hadits lain, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata (di dalam riwayat yang disampaikan Harmalah, ‘Dan ia mengklaim’) bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang memakan bawang putih atau bawang merah, maka hendaklah ia meninggalkan kami, atau hendaklah ia meninggalkan masjid kami dan hendaklah ia duduk di rumahnya.”

Sesungguhnya beliau disuguhi panci berisi biji-bijian hijau lantas mencium bau darinya, lalu beliau diberitahu mengenai biji-bijian apa itu. Lantas beliau bersabda, “Dekatkanlah kemari” -beliau mengatakannya kepada sebagian para shahabat yang bersamanya-, tatkala melihatnya, beliau tidak suka untuk memakannya seraya bersabda, “Makan saja, sesungguhnya aku sedang bermunajat kepada Yang tidak kalian munajati.” (HR.Muslim)

Tatkala dihadirkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam panci berisi sayur-sayuran dan biji-bijian hijau tersebut, beliau mendapati baunya yang tidak sedap, maka beliau memerintahkan agar didekatkan kepada para shahabat yang hadir di sisinya. Tatkala orang yang hadir di situ melihat ketidaksukaan beliau, mereka mengira hal itu diharamkan lantas ragu untuk memakannya. Lantas beliau memberitahukan kepada mereka bahwa makanan itu tidaklah diharamkan dan ketidaksukaannya bukan berarti karena ia haram dimakan.

Lalu beliau memerintahkannya agar memakannya dan memberitahukan kepadanya bahwa yang mencegahnya memakannya hanyalah karena beliau sedang mengadakan kontak dengan Rabbnya dan bermunajat dimana tidak seorang pun yang dapat sampai kepada tingkatan itu. Karenanya, wajib bagi beliau untuk berada dalam kondisi yang paling baik di kala melakukan ibadah dan pendekatan kepada Rabb Subhanahu wa Ta’ala.

Dapat digolongkan pula kepada benda-benda tersebut, tembakau yang digunakan oleh para perokok. Siapa saja yang memiliki kebiasaan merokok, maka hendaknya tidak menghisapnya ketika pergi ke masjid. Hendaknya ia membersihkan gigi dan mulutnya sehingga baunya hilang atau dapat meminimalisir baunya. Dalam hal ini hukum mengenai keharaman rokok lebih kuat.

Dari sini dapat disimpulkan, sebagaimana disebutkan dalam Taysir Al Allam Syarh ‘Umdatul Ahkam, bahwa dimakruhkan memakan benda-benda tersebut bagi siapa saja yang ingin menghadiri shalat di masjid agar tidak kehilangan kesempatan melakukan shalat berjama’ah di masjid, alias selama ia memakannya tersebut bukan dimaksudkan sebagai rekayasa agar kehadirannya di masjid menjadi gugur dengan dalih hal itu diharamkan. Hikmah dilarangnya mendatangi masjid-masjid adalah agar malaikat dan juga para jama’ah shalat yang lain tidak terganggu dengan bau-bauan yang tidak enak tersebut.

Selain itu, larangan mengganggu orang lain dengan segala jenis sarananya. Di dalam hadits di atas, terdapat sarana yang telah dinyatakan berdasarkan nash, maka menggolongkan yang lain kepadanya adalah benar dan sesuai dengan qiyas.

Pelarangan memakan bawang putih dan semisalnya bukan karena keharamannya. Hal ini berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang memerintahkan agar memakannya. Jadi, berpantangnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakannya tidak menunjukkan kepada pengharaman.

Mengenai pelakunya, terdapat 4 rincian niat berkaitan dengan mengkonsumsi makanan-makanan tersebut:

  1. Jika memakan bawang merah atau bawang putih dengan maksud meninggalkan shalat jama’ah di masjid maka ini diharamkan.
  2. Jika memakannya sekedar karena ingin menikmatinya atau karena menyukainya, ini tidaklah diharamkan (Lihatlah Syarhul Mumthi ala Zaadil Mustaqna: 4/454).
  3. Bagi yang memakannya diharamkan untuk masuk masjid bila masih tersisa baunya, ini pendapatnya Al Hanabilah, ibnu Jarir, dan yang lainnya, berkata Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim: “Berkata para Ulama: di dalam hadits tersebut dalil akan terlarangnya bagi yang memakan bawang putih dan sejenisnya dari masuk masjid, walaupun masjid dalam keadaan kosong.”
  4. Terlarangnya masuk masjid bagi yang memakannya bukan karena keringanan untuk tidak ikut shalat jama’ah, akan tetapi mencegah agar tidak menimbulkan gangguan, sebab malaikat akan terganggu demikian pula halnya dengan sesama bani Adam, seperti dalam hadits Jabir riwayat Muslim.