Kadang-kala kedudukan atau jabatan yang kita pegang menyebabkan kita terpaksa mengizinkan perkara yang bertentangan dengan aqidah dan pegangan agama kita seperti pemerintah mengizinkan pembangunan rumah ibadah agama lain ataupun polisi menjaga upacara agama lain.
Apakah itu bisa menjadi kufur?
Perkara ini penting untuk kita fahami karena kadang kala ada pihak terlibat dengan pengurusan pemerintah dan selainnya yang terpaksa mengizinkan perkara-perkara yang bertentangan dengan agamanya.
Apakah pemberian izin itu merusakkan aqidah? Untuk memahami hal ini, beberapa perkara berikut mesti diteliti;
Antara perkara yang penting untuk dibedakan ialah ungkapan ‘izin’ dan ‘ridha’. Kedua perkataan ini berasal dari bahasa Arab. Ada perbedaan antara kedua perkataan ini. Apa yang kita izinkan bukan semestinya kita ridha. Juga apa yang kita ridha bukan semestinya kita izinkan. Juga mungkin apa yang kita izinkan itu kita ridha, atau sebaliknya juga mungkin apa yang kita ridha maka kita izinkan. Mengizinkan bermaksud membisakan sesuatu itu terjadi (lihat: Al Kafawi, Al Kulliyyat, 72, Beirut: Muassasah Al Risalah). Sementara ridha bermaksud suka atau kasih kepada sesuatu. Disebut al mahabbah wa al ridha atau cinta dan ridha (ibid 76).
Kita mungkin memberikan kebenaran atau membolehkan sesuatu yang di bawah penguasaan kita terjadi dalam keadaan ridha ataupun tidak ridha. Apa yang kita izinkan bukanlah semestinya tanda kita ridha atau suka. Mungkin kita izinkan karena itu hak mereka yang telah dipersetujui. Hal ini mungkin terjadi umpamanya jika seseorang pemerintah Muslim mengizinkan bukan Muslim membangun rumah ibadah mereka, bukanlah semestinya berarti pemerintah tersebut meridhai kekufuran atau penyembahan selain dari Allah. Demikian juga apabila pemerintah tertentu mengizinkan mereka melakukan perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti minum arak atau berjudi dalam ajaran mereka, bukanlah berarti pemerintah tersebut telah menghalalkan arak atau judi.
Pemberian izin itu diberikan mungkin disebabkan karena hak-hak mereka sebagai bukan Muslim dalam mengamalkan agama dan cara hidup mereka. Pemerintah mengatur urusan rakyat dengan adil dan saksama. Pemberian izin atau kebolehan yang diberikan oleh pemerintah bukan menunjukkan aqidahnya telah rusak atau dia telah menghalalkan yang haram. Kecuali jika perasaan dia itu memang ridha atau dia sendiri melakukan perkara-perkara yang menunjukkan dia ridha. Ketika itu barulah datang penilaian di sudut aqidah.
Apa yang ingin dijelaskan ialah bukan semestinya setiap yang diizinkan itu diridhai oleh seseorang. Saya misalkan, seorang anak yang mendesak ayahnya memberikannya kunci mobil karena ingin keluar bersama dengan rekan-rekannya. Si ayah enggan memberi karena bimbang anaknya tidak tahu menjaga diri apabila keluar bersama temannya. Namun si anak terus mendesak dan bersitegang dengan ayahnya sehingga menyebabkan si ayah akhirnya memberikan kunci kepada si anak. Anak ini pun keluar berjumpa dengan rekan-rekannya sambil berkata, “Ayahku izinkan aku pakai mobilnya malam ini.” Sementara si ayah apabila ditanya berkata, “Memang saya izinkan, tapi saya tidak ridha, sebab dia mendesak dan saya malas ribut.” Keadaan ini menggambarkan bagaimana kadang-kala pemberian izin diberikan tanpa keridhaan atau kerelaan. Betapa banyak wanita zaman dahuhu yang mengizinkan bapak mereka mengawinkan mereka, sedangkan jantung hati mereka tidak ridha.
Di samping ada keadaan di mana kita izinkan sesuatu dengan penuh ridha. Juga ada keadaan di mana kita meridhai sesuatu tetapi tidak dapat mengizinkannya. Kita tidak mengizinkan mungkin disebabkan faktor-faktor tertentu seperti kita ridha jika anak kita belajar di tempat tertentu tapi kita tidak dapat mengizinkan dia pergi disebabkan keadaan tertentu seperti kewangan, kesehatan, keselamatan dan seumpamanya.
Sebab itu dalam Al Quran Allah menggunakan perkataan masyiah atau kehendak dan dalam masa yang sama ada perkataan ridha. Manusia menjadi beriman dan kufur adalah dengan kehendak atau izin Allah. Jika Allah tidak izin atau kehendak, maka tiada satu perkara pun yang bisa terjadi di alam ini. Namun bukan semestinya apa yang Allah izinkan terjadi itu, Allah meridhainya. Firman Allah:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Maka (fikirkanlah) adakah orang yang dihiaskan kepadanya amalan buruknya (oleh syaitan) lalu dia memandangnya baik, karena sesungguhnya Allah menyesatkan ssiapa yang dikehendakiNya, dan dia juga memberi hidayah petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya. Oleh itu, janganlah kamu membangunsakan dirimu (Wahai Muhammad) karena menanggung dukacita terhadap kesesatan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui akan apa yang mereka kerjakan.” ( Surah Al Fatir, ayat 8).
Allah menyesatkan siapa saja yang Dia Kehendaki karena mereka memilih kesesatan, demikian memberikan petunjukNya kepada siapa saja yang ingin memilih petunjuk. Itulah peraturan alam yang Dia Maha Pencipta lagi Maha Adil tetapkan. Dia tidak menzalimi hamba-hambaNya.
Apabila kekufuran atau kemaksiatan atau kesesatan itu terjadi bukanlah Allah ridha atau sukakan kekufuran sekalipun terjadi dengan izin atau kehendakNya. FirmanNya:
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“Kalaulah kamu kufur akan nikmat-nikmatNya itu, maka ketahuilah bahawa sesungguhnya Allah tidak memerlukan kamu; dan Dia tidak ridha untuk hamba-hambaNya kekufuran; dan jika kamu bersyukur, Dia meridhainya untuk kamu..(Surah Al Zumar, ayat 7).
Maha Suci Allah untuk dibandingkan dengan makhluk. Namun untuk mendekatkan faham, demikian insan dalam hidup ini mestilah dibedakan antara pemberian izin dan keridhaan. Dalam perjanjian Hudaibiyyah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Musyrikin Quraisy Mekah, baginda ingin agar kepala surat perjanjian itu ditulis dengan Bismillah Ar Rahman Ar Rahim. Namun wakil Quraisy, Suhail bin ‘Amr tidak bersetuju. Dia mau supaya ditulis seperti kebiasaan Quraisy dalam menulis perjanjian iaitu BismikaAllahumma (Dengan NamaMu Ya Allah). Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersetuju dan mengizinkannya, walaupun hakikatnya baginda tidak ridha demikian. Al Imam Muslim dalam sahihnya meriwayatkan hadis mengenai perjanjian Hudaibiah antara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Quraisy Mekah, seperti berikut:
أَنَّ قُرَيْشًا صَالَحُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِمْ سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَلِيٍّ اكْتُبْ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَقَالَ سُهَيْلٌ أَمَّا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَلَا نَدْرِي مَا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَلَكِنْ اكْتُبْ مَا نَعْرِفُ بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ
“Sesungguhnya Quraisy membuat perjanjian damai dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Antara wakil Quraisy ialah Suhail bin ‘Amr. Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: barangkali aku bisa tulis Bismillahirrahmanirrahim. Kata Suhail: Adapun Bismillah (dengan nama Allah), maka kami tidak tahu apa itu Bismillahirrahmanirrahim. Maka tulislah apa yang kami tahu iaitu BismikalLahumma (dengan namaMu Ya Allah!).”
Dalam riwayat Al Bukhari, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerima bantahan tersebut.
Isi kandungan perjanjian juga tidak mengembirakan kaum Muslimin tetapi mereka menerima karena keadaan ketika itu. Mayoritas sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat perjanjian itu tidak selaras dengan semangat juang mereka. Mereka terpaksa membatalkan hasrat mereka yang datang untuk menunai umrah ke Mekah dan menerima isi perjanjian yang sepintas lalu tidak selaras dengan jiwa mereka yang bersedia untuk mati membela kebenaran.
Paling tegas membantah ialah ‘Umar bin Al Khattab sendiri. Umar berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَسْنَا عَلَى الحَقِّ وَهُمْ عَلَى البَاطِلِ؟ فَقَالَ: «بَلَى». فَقَالَ: أَلَيْسَ قَتْلاَنَا فِي الجَنَّةِ وَقَتْلاَهُمْ فِي النَّارِ؟ قَالَ: «بَلَى»، قَالَ: فَعَلاَمَ نُعْطِي الدَّنِيَّةَ فِي دِينِنَا، أَنَرْجِعُ وَلَمَّا يَحْكُمِ اللَّهُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ؟ فَقَالَ: «يَا ابْنَ الخَطَّابِ، إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ، وَلَنْ يُضَيِّعَنِي اللَّهُ أَبَدًا»، فَانْطَلَقَ عُمَرُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ مَا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ، وَلَنْ يُضَيِّعَهُ اللَّهُ أَبَدًا
“Wahai Rasulullah! Tidakkah kita di atas kebenaran dan mereka atas kebatilan?!”
Jawab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: ‘Ya’.
Kata ‘Umar, “Tidakah orang yang mati dalam kalangan kita di syurga, sedangkan yang mati dalam kalangan mereka dalam neraka?!”
Jawab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: ‘Ya’.
Kata ‘Umar, “Maka atas alasan apa kita mengurangkan agama kita dan pulang (ke Madinah) sedangkan Allah belum lagi menurunkan hukumanNYA antara kita (siapa yang menang ataupun kalah).”
Jawab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai anak Al Khattab! Aku ini Rasulullah, Allah tidak akan mensia-siakan aku sama sekali.”
Lalu Umar pergi kepada Abu Bakar dan berkata seperti yang beliau kata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Abu Bakar menjawab: “Dia Rasulullah, Allah tidak akan mensia-siakannya sama sekali.” (Riwayat Al Bukhari dan Muslim.)
Artinya kaum Muslimin menerima keadaan itu tanpa ridha namun membenarkan perjanjian itu terjadi.
Bagaimanapun, siapa saja mengizinkan perkara dosa terjadi padahal tiada keperluan untuk dia mengizinkannya seperti pemimpin pejabat yang mengizinkan perkara munkar di bawah kekuasaannya tanpa alasan administrasi yang dapat diterima maka dia berdosa karena menjadi kewajiban Muslim mencegah kemungkaran.
Siapa saja yang mengizinkan kekufuran dan perasaannya juga suka dan ridha dengan kekufuran itu maka dia menjadi kufur.
Ustadz Prof. Madya Dr. Muhammad Asri Zainul Abidin