Pertama. Allah telah memberikan kita nikmat dengan menciptakan wanita dari jenis kita sendiri, yaitu manusia. Sehingga seorang laki-laki datang tenang hidup dengannya dan terwujud kasih sayang di antara mereka berdua dan agar bumi ini dapat dikelola dengan keturunan mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً (سورة النحل: 72)
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu” (QS. An-Nahl: 72)
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (سورة الروم: 21)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Syekh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata; ‘Firman Allah Ta’aa; “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu” (QS. An-Nahl: 72)
Dalam ayat tersebut Allah memberikan nikmat kepada anak Adam dengan menjadikan bagi mereka isteri-isteri dari jenis mereka sendiri. Seandainya pasangannya terdiri dari jenis lain, tidak akan terjadi kesatuan, cinta dan kasih saying. Akan tetapi dengan rahmat-Nya, Dia menjadikan di antara anak Adam laki-laki dan wanita. Lalu menjadikan kaum wanita isteri bagi kaum laki-laki. Ini merupakan nikmat yang paling besar, sebagaimana dia merupakan tanda paling agung yang menunjukkan bahwa hanya Allah Jalla wa Alaa saja yang berhak disembah.
Dia juga menjelaskan di tempat lain bahwa hal ini merupakan nikmat yang sangat agung dan bahwa dia merupakan tanda kebesaran Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (سورة الروم: 21)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Allah Ta’ala juga berfirman,
أَيَحْسَبُ الأِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدىً أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأُنْثَى
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? Bukankah Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan.” (QS. Al-Qiyamah: 36-39)
Firman Allah Ta’ala;
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا (سورة الأعراف: 189)
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya.” (QS. Al-A’raf: 189) (Adhwa’ul Bayan, 2/412)
Adapun tentang hukum pernikahan antara jin dan manusia, para ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat.
Pendapat pertama: Haram.
Ini adalah pendapat Imam Ahmad.
Pendapat kedua. Makruh.
Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malik, Hakam bin Utaibah, Qatadah, Hasan, Uqbah Al-Asham, Hajjab bin Arthah, Ishaq bin Rahawaih. Boleh jadi makna makruh menurut sebagian ulama adalah mengharamkan. Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, rahimahullah berkata, “Mayoritas ulama menyatakan makruh pernikahan manusia dengan jin.” (Majmu’ Fatawa, 19/40).
Pendapat ketiga, boleh.
Ini adalah pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i.
Syekh Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullah berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan pernikahan antara anak adam dan jin. Sejumlah ulama melarangnya, namun sebagian lainnya membolehkannya.
Al-Manawy dalam kitab Syarh Al-Jami Ash-Shagir berkata, “Disebutkan dalam kitab Al-Fatawa As-Sirajiah dari kalangan Hanafi, ‘Tidak boleh terjadi pernikahan antara manusia dengan jin, atau dengan manusia air. Karena perbedaan jenis’. Sedangkan dalam Fatawa Al-Barizi dari kalangan Syafi’I dikatakan, ‘Tidak boleh terjadi pernikahan antara keduanya, namun Ibnu Ammad menguatkan pendapat yang membolehkannya.’ Al-Mawardi berkata, ‘Perkara ini tertolak secara logika, karena berbedanya kedua jenis dan tabiat. Anak adam adalah dunia fisik, sedangkan jin adalah dunia ruhani. Yang satu terbuat dari tanah, sedang yang satunya terbuat dari api. Perpaduan dengan perbedaan seperti itu pasti tertolak, dan tidak mungkin terjadi keturunan dengan perbedaan tersebut.”
Ibnu Al-Araby, dari mazhab Maliki berkata, “Pernikahan mereka dibolehkan secara logika, jika ternyata disahkan berdasarkan syariat, maka dia lebih baik.”
Pencatatnya berkata, “Tidak aku ketahui dalam Kitabullah dan juga dalam sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam nash yang menunjukkan dibolehkannya pernikahan antara manusia dengan jin. Bahkan yang tampak dari zahir ayat-ayat yang ada adalah tidak dibolehkan. Firman Allah Ta’ala dalam ayat ini,
والله جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً (سورة النحل: 72)
Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri” (QS. An-Nahl: 72)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia telah memberi nikmat kepada Bani Adam berupa isteri-isteri yang terdiri dari jenis mereka sendiri. Maka dipahami dari ayat tersebut bahwa Dia tidak memberikan isteri dari jenis yang berbeda, seperti perbedaan antara manusia dengan jin. Itu sangat tampak.
Hal ini dikuatkan dengan firman Allah Ta’ala,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)
Firman Allah Ta’ala “Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri.” itu dalam konteks memberikan nikmat. Hal ini menunjukkan bahwa Dia tidak menciptakan isteri-isterinya dari selain jenis mereka.” (Adhwa’ul Bayan, 3/43)
Syekh Wali Zar bin Syahiz Ad-Din hafizahullah berkata, “Adapun masalah ini dari segi realitas, maka semuanya menyatakan kemungkinan terjadinya. Karen nash yang ada tidak menyatakan secara jelas, apakah dibolehkan atau dilarang, maka kami condong kepada pelarangan secara syariat. Sebab membolehkannya akan menyebabkan beberapa hal yang membahayakan, di antaranya;
- Tersebarnya perbuatan zina, lalu mereka kaitkan hal tersebut dengan dunia jin. Karena dunia jin adalah perkara gaib, tidak mungkin dilakukan penyidikan atasnya. Sedangkan Islam sangat memperhatikan dalam masalah menjaga kehormatan. Mencegah kerusakan didahulukan dari mendatangkan kebaikan, demikian sebagaimana telah ditetapkan dalam syariat Islam.
- Akibat dari pernikahan seperti itu terhadap keturunan dan kehidupan keluarga. Anak-anak, kepada siapa nasab mereka disandangkan? Bagaimana bentuknya? Apakah seorang isteri dari jin tidak boleh berbentuk?”
- Interaksi dengan jin dengan cara seperti ini membuat manusia tidak selamat dari gangguan. Padahal Islam sangat memperhatiakan keselamatan manusia dari gangguan.
Dengan kenyataan ini, tampaklah bahwa membolehkan hal ini akan menyeret orang ke berbagai permasalahan yang tiada ujung dan sulit mencari solusinya. Ditambah lagi dampak buruknya terhadap keyakinan dalam jiwa, akal dan kehormatan. Padahal itu semua adalah perkara yang sangat dilindungi dalam Islam. Begitu pula pernikahan antara kedua jenis tersebut tidak mendapatkan manfaat sedikit pun.
Karena itu, kami condong kepada pendapat yang melarang tindakan itu secara syariat, meskipun kemungkinan terjadi diterima. Jika terjadi hal seperti itu, atau muncul salah satu probelmnya, maka hal itu dianggap sebagai kondisi unik yang diatasi secukupnya dan tidak menjadi alasan membolehkannya.” (Al-Jin Fil Quran, hal. 206.)
Syaikh Dr. Muhammad Shalih Al Munajjid