Belakangan ini sering muncul berbagai fenomena alam di sekitar kita, seperti fenomena astronomis seperti hujan meteror, melintasnya komet, gerhana matahari, dan gerhana bulan. Selain itu banyak muncul juga fenomena bencana alam seperti gempa bumi, taufan, badai, tsunami, banjir bandang, dan sebagainya.
Islam, sebagai agama yang sempurna telah mengatur bagaimana seorang Muslim harus menghadapi hal ini, salah satunya adalah dengan mendirikan shalat. Sebagian orang menyebut shalat sunnah ini dengan nama Shalat Sunnah Ayat. Namun, perlu dibahas terlebih dulu mengenai hukum ibadah ini.
Pembahasan mengenai shalat gerhana matahari dan bulan sudah kami bahas di artikel berjudul Tatacara Shalat Gerhana. Sedangkan untuk fenomena alam lain, kami bahas pada kesempatan kali ini.
Shalat sunnah selain gerhana matahari dan bulan adalah permasalahan fiqih yang diperselisihkan. Sebabnya adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah melaksanakan shalat sunnah lain selain shalat gerhana atas fenomena tanda-tanda alam kekuasaan Allah. Akan tetapi shahabat Abdullah bin Abbas dan Hudzaifah bin Al Yaman Radhiyallahu ‘Anhumma melaksanakan shalat sunnah ketika terjadi gempa bumi dan beliau menganjurkan orang lain agar melaksanakannya.
Berikut ini 3 kelompok yang memberikan pendapatnya mengenai shalat sunnah untuk berbagai fenomena alam yang memberikan rasa takut pada manusia.
1. Sunnah Shalat untuk Seluruh Fenomena Alam
Dasarnya adalah qiyas terhadap shalat gerhana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam dan shalat gempa bumi yang dilakukan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘Anhu.
Kelompok ini pertama kali menyandarkan pensyariatan shalat sunnah dalam seluruh fenomena alam ini pada ayat Al Quran.
“Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu.” (QS Al Isra’: 59)
Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah itu adalah gerhana matahari dan gerhana bulan.
Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat (tanda) di antara ayat-ayat Allah. Tidaklah terjadi gerhana matahari dan bulan karena kematian seseorang atau karena hidup (lahirnya) seseorang. Apabila kalian melihat (gerhana) matahari dan bulan, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga tersingkap kembali.” (HR. Al Bukhari no. 1043, dan Muslim no. 915)
Diriwayatkan dalam riwayat shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu bahwa ia shalat ketika gempa bumi melanda Basrah, ia melaksanakan shalat seperti shalat gerhana. Lalu ia berkata, “Ini adalah bagaimana shalat harus dilaksanakan pada saat terjadi tanda-tanda (kekuasaan Allah).”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shaibah, 2/472; ‘Abdur Razzaq, 3/101; Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, 3/343. Dan dia berkata: “Ini shahih dari Ibnu Abbas.” Dishahihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 2/521.
Al Mardawi mengatakan, “Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya dia mengerjakan shalat karena gempa dan dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu (riwayat Baihaqi III/343). Bahkan diriwayatkan dari Ali Radhiyallahu ‘Anhu bahwa dia melakukan shalat untuk setiap tanda kebesaran Allah.”
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajid mengatakan, “Adalah dianjurkan untuk mendirikan shalat ketika salah satu dari tanda-tanda ini terjadi, seperti gerhana, gempa bumi, badai yang keras, angin taufan yang menakutkan, dan banjir yang merusak.”
Al Kasani dalam Bada’i Shana’i dari kalangan Hanafiyah berkata, “Hal ini dianjurkan untuk shalat setiap terjadi tanda-tanda (kebesaran Allah), seperti ketika ada angin kencang, gempa bumi, kegelapan di siang hari, dan hujan terus-menerus, karena mereka adalah tanda-tanda (kebesaran Allah) dan ketakutan.”
Dalam Manahul Jalil Syarah Mukhtashar Al Khalil disebutkan, “Dianjurkan untuk shalat ketika ada gempa bumi atau tanda-tanda yang sama menakutkan seperti epidemi dan wabah penyakit, baik secara individu atau secara jama’ah, dua rakaat atau lebih.”
Al Amidi berkata, “Dilakukan shalat karena hal-hal tersebut, sebagaimana ketika meteor jatuh, petir menggelegar, dan banyaknya hujan.”
Ibnu Taimiyah berkata, “Shalat kusuf dapat dilaksanakan pada semua kesempatan ketika ada tanda-tanda (kebesaran Allah), seperti gempa bumi dan lainnya. Ini adalah pandangan Abu Hanifah dan diriwayatkan dari Ahmad. Itu juga merupakan pandangan diantara sahabat kami dan lain-lain.”
Ibnu Taimiyah berkata, “Dengan demikian, maka disyariatkan shalat (sebagaimana shalat gerhana) ketika ada tanda-tanda kebesaran Allah secara umum. Sebagaimana ketika terjadi gempa, hujan meteor/komet, dan lain sebagainya.” Pendapat ini didukung Syaikh Utsaimin.
Ibnu Hazm dari madzhab Azh Zhahiri juga berpendapat bahwa shalat sunnah ini berlaku untuk seluruh tanda-tanda alam kekuasaan Allah.
2. Sunnah Shalat untuk Gempa Bumi Saja
Madzhab Hanbali membatasi anjuran shalat terhadap gempa, karena yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas hanyalah gempa bumi saja. Adapun tanda-tanda lain, itu tidak dianjurkan untuk melaksanakan shalat sunnah pada waktu tersebut. Demikian disebutkan dalam Kasyful Qina’.
Ibnu Qudamah Al Maqdisyi berkata, “Ulama madzhab kami berkata: Dilaksanakan shalat karena adanya gempa, seperti halnya shalat gerhana. Pendapat ini tertera secara tertulis. Inilah madzhab Ishaq dan Abu Tsaur….”
3. Bid’ah Shalat Ayat Selain Gerhana
Tidak ada shalat untuk tanda kebesaran Allah apa pun, kecuali gerhana. Sebab Nabi tidak mengerjakan shalat selain ketika terjadi gerhana, tidak pula para khalifahnya. Padahal pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terjadi beberapa tanda kebesaran Allah. Namun beliau tidak melakukan shalat untuknya, kecuali pada peristiwa gerhana.
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan, “Madzhab Maliki mengatakan: Seseorangtidak diperintahkan untuk melaksanakan shalat ketika adanya gempa bumi, rasa takut, dan tanda-tanda yang memut pelajaran, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah melakukan shalat untuk selain gerhana. Padahal pada zaman beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam muncul beberapa tanda-tanda kebesaran Allah, begitu juga halnya dengan para khalifah setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka tidak melakukan shalat tersebut.”
Disebutkan dalam Al Mughni, Al Qadhi berkata, “Tidak ada shalat karena gempa dahsyat, angin ribut, gelap, dan lain-lain.”
Dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Baz disebutkan,
“Aku tidak mengetahui ada dalil yang bisa dijadikan sandaran dalam disyariatkannya shalat untuk gempa bumi dan yang semisalnya. Sunnah yang shahih hanyalah menerangkan untuk shalat, berdzikir, doa, dan shadaqah ketika terjadi gerhana. Sebagian ulama memang ada yang berpendapat disyariatkannya shalat kusuf untuk gempa bumi, namun aku tidak mengetahui satu nash dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang hal itu. Hal itu hanyalah diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma.
Dan telah diketahui dengan dalil-dalil syar’i bahwa ibadah-ibadah itu tauqifiyah (sesuai dengan dalil), tidak disyariatkan dari ibadah itu kecuali yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As Sunnah yang shahih, karena sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami yang tidak berasal darinya, maka itu tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Disepakati keshahihannya dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.
Dan Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan lafazh: “Barangsiapa melakukan satu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka ia tertolak.”
Maknanya, dia dikembalikan kepada orang yang mengada-adakannya. Tidak boleh mengamalkannya dan menisbatkannya kepada syariat yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Tatacara Melaksanakan Shalat Sunnah Ayat
Tatacara shalat ini, bagi yang menyatakan kemasyru’annya, adalah seperti tatacara shalat gerhana (kusuf dan khusuf). Namun, ulama berbeda pandangan mengenai apakah shalat ini dikerjakan sendiri-sendiri ataukah berjama’ah.
Imam An Nawawi menyebutkan, “Asy Syafi’i (rahimahullah) berpandangan bahwa dianjurkan untuk berdoa pada waktu terjadi tanda-tanda (kebesaran Allah) secara individual, tetapi tidak dianjurkan untuk shalat berjamaah pada kesempatan tersebut.”
Ini adalah sesuai dengan yang dilakukan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu saat melaksanakan shalat ini atas gempa di Basrah, Iraq.
Sedangkan yang berpandangan bahwa shalat ini dilaksanakan secara berjama’ah adalah mengiyaskannya pada shalat sunnah kusuf dan khusuf yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Selain itu, sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘Anhu bersama sahabat-sahabatnya di Madain melaksanakan shalat selain shalat gerhana ini secara berjamaah sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abdur Razaq no. 4390.